JAKARTA, BE – Presiden Joko Widodo meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadwalkan pelaksanaan pilkada serentak digelar September 2015 mendatang. Permintaan itu disampaikan saat Komisioner KPU memaparkan evaluasi hasil pemilu 2014 secara resmi kepada Presiden di Istana Negara, Selasa (10/2). “Tadi Presiden menyampaikan harapannya Pilkada bisa September, tapi beliau tidak menjelaskan alasannya apa. Menurut kami, kalau demikian (pilkada September 2015) itu mepet sekali waktunya,\" ujar Komisioner KPU, Arief Budiman di Gedung KPU. Menurut Arief, jika harus dilaksanakan September, maka setidaknya terdapat tiga tahapan yang harus direvisi untuk dipersingkat. Masing-masing pemangkasan waktu uji publik, percepatan penyelesaian sengketa, dan perlu dipastikan pilkada terselenggara satu atau dua putaran. “Kalau memang maunya seperti itu, harus ada pemangkasan tahapan. Misalnya uji publik, penyelesaian sengketa dan terkait putaran satu dan dua. Tapi soal ada atau tidaknya itu, semua keputusan ada di DPR,” katanya. Sayangnya, hingga saat ini masih belum ada kepastian mengenai kapan tepatnya tahapan pilkada akan mulai diselenggarakan. Pasalnya DPR dan Pemerintah masih memertimbangkan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. \"Kalau sekarang semua masih meraba-raba. Sepanjang semua mendukung, yakni UU, anggaran dan personil, bisa saja diselenggarakan (September 2015), tapi memang agak berat kalau semua tiba-tiba disuruh siap,” katanya.
Sepakati KPU Penyelenggara Sejumlah poin dalam Undang-Undang (UU) Pilkada belum disepakati seluruh fraksi di DPR. Namun, pada rapat paripurna Senin (9/2), para wakil rakyat itu tetap meloloskan UU tersebut menjadi usul inisiatif DPR. Selanjutnya, revisi itu akan dibahas pemerintah dan anggota dewan. Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Saan Mustopa mengakui ada empat poin yang masih menjadi perdebatan. Yakni, waktu pelaksanaan pilkada, ambang batas kemenangan, paket pimpinan kepala daerah, dan syarat pendidikan kepala daerah. Hanya ada satu poin yang disepakati, yakni terkait dengan penyelenggara pilkada. ”Tetap KPU yang menyelenggarakan,” ujarnya. Politikus Partai Demokrat itu mengungkapkan, silang sengketa tentang waktu pelaksanaan pilkada belum bisa disatukan. Ada fraksi yang menginginkan pilkada tetap berlangsung pada 2015, namun ada yang meminta diundur hingga 2016 dengan sejumlah analisis perhitungan. Fraksi yang memilih 2015 beralasan bahwa KPU dan pemerintah daerah sudah siap. Bahkan, sejumlah daerah sudah menganggarkan APBD untuk pilkada pada tahun ini. Sementara itu, fraksi yang memilih 2016 menganggap KPU akan lebih siap pada 2016. Selain itu, jabatan kepala daerah tidak boleh dikurangi karena menurut perhitungan, masih banyak kepala daerah yang menjabat sampai 2016. Soal ambang batas kemenangan, ada tiga alternatif yang muncul. Yakni, 25 persen dari perolehan suara, 30 persen dari perolehan suara, dan tanpa ambang batas. ”Sampai saat ini semuanya tetap pada keyakinan masing-masing,” paparnya. Syarat pendidikan kepala pun menjadi bahan pembicaraan. Dalam Perppu Pilkada diatur bahwa pendidikan gubernur minimal harus sarjana. Sementara itu, wali kota dan bupati lulusan diploma. Namun, beberapa fraksi, seperti PPP dan PDIP, meminta minimal pendidikan kepala daerah adalah SMA. ”Kalau Demokrat, gubernur harus sarjana, bupati/wali kota diploma,” terangnya. Yang tidak kalah alot adalah perdebatan terkait dengan paket pimpinan kepala daerah. Saan menyatakan, ada fraksi yang menginginkan kepala daerah dan wakilnya dipilih satu paket. Namun, ada juga yang berpendapat hanya kepala daerah yang dipilih. Wakilnya nanti dipilih langsung oleh kepala daerah. Demokrat dan PDIP sepakat dengan opsi kedua. Anggota baleg dari PDIP Arif Wibowo mengatakan, syarat pendidikan tidak penting untuk dibahas. Sebab, saat ini syarat pendidikan untuk menjadi presiden hanya SMA. Menurut dia, tidak ada korelasi antara pendidikan dan kemampuan seseorang. ”Itu poin yang tidak perlu diubah. Cukup SMA,” ujarnya. Untuk paket dan nonpaket, Arif menjelaskan PDIP memilih nonpaket. Alasannya, tidak sedikit wakil kepala daerah yang ingin menjatuhkan pimpinan daerah setelah dilantik. Konflik itu dipicu lantaran tidak ada kesamaan visi antara keduanya. Perdebatan di lingkup fraksi itu membuat banyak pihak menyangsikan revisi undang-undang bisa diselesaikan dengan cepat. Padahal, pada 19 Februari nanti, anggota DPR memulai masa reses. Otomatis waktu yang dibutuhkan tinggal satu minggu. Wakil Ketua Baleg DPR Firman Subagyo mengatakan, setelah disepakati pada paripurna, DPR akan mengirimkan rancangan tersebut kepada presiden. Setelah diteliti, presiden akan mengirimkan surat presiden (surpres) yang berisi wakil pemerintah dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pilkada itu. ”Jika presiden cepat mengeluarkan surpres, pembahasan akan berjalan cepat. Namun, jika lama, proses pembahasan pun akan lama,” ujarnya. (aph/c6/fat)