Agus Sabri, S.Sos
Indonesia sebagai negara penganut paham demokrasi selalu mengupayakan pelaksanaan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sila keempat Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Selanjutnya Pasal 1 ayat (2) Undang -U ndang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga memberikan penekanan Indonesia sebagai negara demokrasi, yaitu “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undangundang Dasar”. Kedua landasan tersebut secara implisit menghendaki bahwa kekusasaan tertinggi negara berada di tangan rakyat. Salah satu bentuk dari perwujudan Negara Demokrasi yaitu diadakannya pemilihan umum (Pemilu) . Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Republik Indonesia. Oleh sebab itu maka partisipasi politik masyarakat dalam proses kegiatan pemilu menjadi sangat penting sebab legitimasi hasil pemilu sangat ditentukan oleh partisipasi politik masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Pemilihan Umum di Indonesia diatur dalam aturan khusus yakni Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan diukung dengan aturan-aturan lain terkait Pemilihan Umum tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 15 Agustus 2017, terdiri atas 573 pasal, penjelasan, dan 4 lampiran. UU ini telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly pada 16 Agustus 2017 disebutkan yang dimaksud dengan Pemilihan Umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden dan untuk memilih Dewan Perwakilan Daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia, jujur dan adil dalam negara kesatuan repubik Indonesia berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaksanaan Pemilu sendiri diselenggarakan oleh Penyelenggara Pemilu yakni Komisi Pemlihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Kesuksesan penyelenggaran pemilu bukan hanya dilihat dari siapa yang terpilih atau siapa yang menjadi pemenang Pemilu, namun dari semua proses tahapan penyelenggaraan pemilu. Keterlibatan atau partisipasi politik masyarakat dalam proses kegiatan pemilu juga sangat menentukan. Apalagi Pemilihan Umum dimaknai sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk menggunakan hak pilihnya. Dimana seluruh rakyat Indonesia yang sudah memiliki Hak Pilih dapat diakomidir kepentingannya hingga dapat menggunakan sarana kedaulatan tersebut tanpa membeda-bedakan termasuk Kaum Disabilitas. Walau dalam pelaksanaan Pemilu maupun Pemilihan masih sangat belum maksimal penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan jajarannya mampu mengakomodir kepentingan atau hak pemilih disabilitas padahal negara sudah mengatur dengan jelas dan tegas terkait persamaan hak tersebut melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam Undang-Undang tersebut Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) disebutkan “Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual,, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasar kesamaan hak”. Selanjutnya di ayat (2) “Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang dan/atau menyediakan akases kepada penyandang disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat”. Tak hanya itu dipasal yang sama ayat (8) “Aksibilitas Adalah Kemudahan yang disediakan untuk penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan”. Terkait dengan hak bagi penyandang disabilitas dalam Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 2018 ada 22 hak seperti yang tertuang dalam BAB III Hak Penyandang Disabilitas Bagian Kesatu Pasal 5 (1) huruf h “Hak Politik”. Hak Politik untuk penyandang disablitas pada Pasal 13 meliputi : - Memilih dan dipilih dalam jabatan publik. - Menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan; - Memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum (pemilu); - membentuk, menjadi anggota dan atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau partai politik; - berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahapan dan/atau bagian penyelenggaraan; - memperoleh Aksibilitasi pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum , pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lainnya; - memperoleh pendidikan politik. Sementara dalam Pasal 75 diundang-undang yang sama disebutkan: 1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin agar Penyandang Disabilitas dapat berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik dan publik secara langsung atau melalui perwakilan. 2. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas untuk memilih dan dipilih. Kemudian dalam pasal 76 dijelaskan jika Penyandang Disabilitas berhak untuk menduduki jabatan publik. Diteruskan dalam Pasal 77 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak politik Penyandang Disabilitas dengan memperhatikan keragaman disabilitas dalam pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain, termasuk: a. berpartisipasi langsung untuk ikut dalam kegiatan dalam pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; b. mendapatkan hak untuk didata sebagai pemilih dalam pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; c. memastikan bahwa prosedur, fasilitas, dan Alat Bantu pemilihan bersifat layak, dapat diakses, serta mudah dipahami dan digunakan; d. melindungi hak Penyandang Disabilitas untuk memilih secara rahasia tanpa intimidasi; e. melindungi hak Penyandang Disabilitas untuk mencalonkan diri dalam pemilihan, untuk memegang jabatan, dan melaksanakan seluruh fungsi publik dalam semua tingkat pemerintahan; f. menjamin Penyandang Disabilitas agar dapat memanfaatkan penggunaan teknologi baru untuk membantu pelaksanaan tugas; g. menjamin kebebasan Penyandang Disabilitas untuk memilih pendamping sesuai dengan pilihannya sendiri; h. mendapatkan informasi, sosialisasi, dan simulasi dalam setiap tahapan dalam pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan i. menjamin terpenuhinya hak untuk terlibat sebagai penyelenggara dalam pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain. Keikut sertaan penyandang disabilitas dalam pemilu sudah pula diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, selain dalam undang-undang tersebut menegaskan mengenai hak politik disabilitas juga menjelaskan bahwa disabilitas berhak mendapatkan ketersediaan akses untuk menyalurkan pilihannya seperti penjelasan pada pasal 5 “Yang dimaksud dengan ‘kesempatan yang sama' adalah keadaan yang memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada penyandang disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat.” .Sehingga penyelenggara pemilu KPU, Bawaslu termasuk DKPP tidak ada alasan untuk tidak memberikan ruang dan kesempatan seluas-luas bagi penyandang disabilitas dalam menggukana hak Politiknya di Pemilu. Dalam pemenuhan hak memilih penyandang disabilitas pada pemilu, maka pihak penyelenggara harus menyediakan sarana serta prasarana yang dibutuhkan penyandang disabilitas, cara mengetahui kebutuhan mereka yaitu dengan cara menanyakan langsung kepada penyangdang disabilitas terkait fasilitas seperti apa yang dapat membuat mereka nyaman dalam berpartisipasi pada pemilu, sehingga tidak ada lagi yang merasa dibatasi haknya, serta mesti ada pendidikan politik yang diberikan kepada penyandang disabilitas yang difasilitasi oleh pihak penyelenggara (KPU) baik itu sifatnya formal maupun nonformal, demi terwujudnya kesamarataan dalam tatanan bermasyarakat. B agi penyandang disabilitas dalam Pemilu di Indonesia. M. Afifuddin (2014) dalam makalahnya “ Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Pemilu ” , mendefinisikan aksesibilitas sebagai suatu kondisi dimana setiap warga negara bisa menggunakan hak politiknya (memilih, dipilih, dan diangkat sebagai penyelenggara Pemilu) secara langsung, umum, bebas, rahasia, serta mandiri tanpa hambatan apapun. Adapun berkaitan difabel, aksesibilitas adalah fasilitas dan pelayanan yang bisa memudahkan mereka dalam memberikan hak politiknya dalam proses Pemilu. Beberapa pengabaian atas aksesabilitas pemenuhan hak politik penyandang disabilitas dalam Pemilu maupun pemilihan , antara laina) Hak untuk didaftar guna memberikan suara (DPT) ;
b) Hak atas akses ke TPS;
c) Hak atas pemberian suara yang rahasia;
d) Hak untuk dipilih menjadi anggota legislatif;
e) Hak atas informasi termasuk informasi tentang Pemilu; dan
f) Hak untuk ikut menjadi penyelenggara dalam Pemilu.
Dalam konstitusi kita juga diatur mengenai hak pilih yang wajib dilindungi dan diakui keberadaannya seperti termuat dalam ketentuan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan pasal 28E Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Demikian halnya dengan ketentuan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, dan ketentuan teknis yang diatur dalam Undang-Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Dari seluruh peraturan perundang-undangan yang ada, baik pada tingkat konstitusi dan undang-undang yang bersifat sectoral mengenai hak politik, tidak ada satupun ketentuan yang bersifat diskriminatif. Perlindungan atas hak pilih bagi kelompok penyandang disabilitas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terdapat pada Pasal 350 ayat (2) mengisyaratkan agar TPS ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang disabilitas, tidak menggabungkan desa, dan memperhatikan aspek geografis serta menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas dan rahasia. Hal tersebut untuk memenuhi hak kelompok penyandang disabilitas dalam aksesibilitas yang merupakan kemudahan yang disediakan untuk Penyandang Disabilitas guna mewujudkan Kesamaan Kesempatan. Serta Akomodasi yang Layak yang merupakan modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk Penyandang Disabilitas berdasarkan kesetaraan. Kemudian Pasal 356 ayat (1) menjelaskan bahwa Pemilih disabilitas netra, disabilitas fisik, dan yang mempunyai halangan fisik lainnya pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan Pemilih. Orang lain yang membantu Pemilih dalam memberikan suara wajib merahasiakan pilihannya. Sayangnya segala ketentuan yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum maupun turunannya serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas belum cukup mampu untuk menjadi dasar utama penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) Rejang Lebong melibatkan dan mengakomodir kepentingan politik serta hak-hak kaum disabilitas baik dalam pelaksanaan Pemilu maupun Pemilihan. Berdasar pengalaman Pemilu serentak tahun 2019 lalu, dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditetapkan oleh KPU Rejang Lebong sebanyak 203.336 orang dengan rincian Pemilih laki-laki sebanyak 102.245 dan pemilih perempuan sebanyak 101.091 hanya ada 441 pemilih Disabilitas yang terdaftar dalam DPT. Dimana Penyandang Disabilitas tersebut terdiri dari Disabilitas Fisik, Sensorik, sementara untuk disabilitas mental belum terdaftar. Jumlah tersebut masih cukup jauh jika dibanding dengan data yang sempat dirilis Dinas Sosial Rejang Lebong pada bulan November 2022 lalu, dimana Penyandang Disabilitas di Kabupaten Rejang Lebong sudah lebih dari 1.300 orang. Sehingga Petugas Pemutahiran Data Pemilih (Pantarlih) dalam pemilu serentak tahun 2024 haru bisa lebih maksimal dalam melakukan pendataan hingga hak-hak politik penyandang disabilitas di Rejang Lebong dapat terakomodir. Selain persoalan DPT, Persoalan partisipasi penyandang disabilitas dalam pemilu maupun pemilihan tidak bisa dilepaskan dengan persoalan fasilitas dan aksesibilitas pemilu bagi penyandang disabilitas . A ksesibilitas dalam pemilu? Menurut M Afifuddin dalam bukunya berjudul Membumikan Pengawasan Pemilu adalah suatu kondisi takala setiap warga negara bisa menggunakan hak politiknya (memilih, dipilih, diangkat menjadi penyelenggara pemilu) secara langsung, umum, bebas, rahasia, serta mandiri tanpa hambatan apapun. Aksesibilitas dalam pemilu yang dimaksudkan di sini adalah fasilitas dan pelayanan yang bisa memudahkan penyandang disabilitas dalam memberikan hak politiknya dalam pemilu. Aksesibilitas merupakan kebutuhan universal, bukan bentuk pengistimewaan bagi penyandang disabilitas. Kebutuhan akan aksesibilitas dalam pemilu harus terpenuhi di setiap tahapan pemilu termasuk aksesibilitas dalam menggunakan hak pilih. B eberapa permasalahan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas baik dari sarana maupun prasarana dalam proses pelaksanaan pemilu maupun Pemilihan di Rejang Lebong diketahui antaranya adanya kebutuhan logistik penunjang seperti alat bantu pencoblosan, desain lokasi, dan akses lainnya seperti informasi pada saat proses pencoblosan belum ramah terhadap penyandang disabilitas. C ontoh nyata tidak terdapat informasi tertulis atau berupa bahasa isyarat bagi pemilih disabilitas rungu/wicara. kelengkapan logistik pemilu seperti surat suara, penempatan TPS, kelengkapan persyaratan pemilih seperti KTP dan identitas, belum lagi tidak maksimalnya koordinasi penyelenggara pemilu dengan organisasi atau kelompok disabilitas, serta sosialisasi kepada kelompok rentan s ehingga penyandang disabilitas di Indonesia tidak memenuhi hak pilihnya dalam pemilu. Aksesibilitas adalah fasilitas dan pelayanan yang bisa memudahkan mereka dalam memberikan hak politiknya dalam proses pemilu. Beberapa pengabaian atas aksesabilitas pemenuhan hak politik penyandang disabilitas dalam pemilu, antara lain; hak untuk didaftar guna memberikan suara, hak atas akses ke TPS, hak atas pemberian suara yang rahasia, hak untuk dipilih menjadi anggota legislatif, hak atas informasi termasuk informasi tentang pemilu, dan hak untuk ikut menjadi penyelenggara dalam pemilu. Para penyandang disabilitas sebagai bagian dari warga negara Indonesia berhak terlibat aktif dalam berkehidupan politik. Pemilih penyandang disabilitas menjadi bagian penting dalam mengukur sukses tidaknya pelaksanaan pemilu. Agar pelaksanaan Pemilu ramah disabilitas serta hak-hak politik Disabilitas tidak dilanggar lagi, maka pihak penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus sudah men desain TPS Ramah Penyandang Disabilitas . menyediakan sarana penunjang khusus untuk mengakomidir kaum disabilitas, menyediakan akses informasi Pemilu yang mudah difahami oleh Disabilitas, melakukan sosialisasi tentang pemilu yang ramah Disabilitas termasuk kampanye pemilu. KPU mengajak pihak-pihak yang peduli disabilitas, kemudian kelompok-kelompok atau organisasi yang konsen ke Disabilitas berdiskusi guna menyusun instrumen teknis pemilu yang dapat menjangkau pemilih disabilitas , melakukan pendataan secara maksimal dengan melibatkan sejumlah pihak untuk mendapatkan data potensial pemilih disabilitas. Tak hanya itu penyelenggara pemilu lainnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus pula melakukan fokus pengawasan kepada potensi-potensi pelanggaran terhadap hak-hak penyandang disabilitas. Sementara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dapat bertindak tegas kepada penyelenggara yang masih menganggap keterlibatan penyadang disabilitas dalam pemilu tidak begitu penting. Dalam artikel riset berjudul Tata Kelola Pemilu dalam Pemenuhan Hak-Hak Pemilih Penyandang Disabilitas (Jurnal Aristo, 2019), Ade Rio Saputra menjelaskan hak-hak ini secara terperinci :1. Disabilitas Berhak Atas Pendataan Khusus
Agar hak pilih penyandang disabilitas dapat terpenuhi, KPU dan Komisi Pemlihan Umum Daerah (KPUD) perlu melakukan pendataan khusus bagi para penyandang disabilitas. Di samping mencatat identitas, pendataan ini juga perlu menyoroti kebutuhan khusus mereka agar penyelenggara Pemilu bisa menyiapkan pelayanan dan fasilitas yang sesuai.2. Disabilitas Berhak Mendapat Sosialisasi Pemilu
KPU dan KPUD perlu memberikan sosialisasi untuk disabilitas sesuai kebutuhannya masing-masing, semisal dengan bahasa isyarat tangan, tulisan huruf braile, ataupun berbagai cara lain yang dibutuhkan.3. Disabilitas Berhak Mendapat TPS yang Sesuai
KPU dan KPUD perlu membuat Tempat Pemungutan Suara (TPS) khusus yang memudahkan para penyandang disabilitas. Kriteria TPS yang aksesibel ini telah dijelaskan dalam buku panduan Komisi Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) 2015, yakni:- TPS tidak didirikan di lahan yang berbatu-batu, berbukit, dikelilingi selokan atau parit, ataupun tempat yang ada anak tangganya.
- Tinggi meja bilik setidaknya 75 – 100 cm dari lantai dan setidaknya berjarak 1 meter antara meja dengan dinding/pembatas TPS.
- Tinggi meja kotak suara adalah setidaknya 35 cm dari lantai.
- Pastikan tidak ada benda-benda yang tergantung di langit-langit yang dapat membuat penyandang tuna netra terbentur.
- Peralatan TPS harus diatur sedemikian rupa sehingga ada jarak yang cukup bagi pengguna kursi roda untuk bergerak secara leluasa di TPS.
4. Disabilitas Berhak Mendapat Surat Suara Khusus
KPU dan KPUD juga wajib mengadakan surat suara khusus dengan huruf braile untuk penyandang tunanetra.