Menyusun Standardisasi Penanganan Karhutla

Selasa 23-08-2022,14:05 WIB
Editor : Rajman Azhar

Kasubdit Pencegahan Karhutla KLHK Anis Susanti Aliati mengatakan tahun 2014 luas areal terbakar mencapai 1,7 juta hektare, sedangkan tahun 2015 mencapai 2,6 juta hektare atau mengalami kenaikan 46,9 persen. 

Pada tiga tahun berikutnya terjadi penurunan signifikan dari angka acuan, yakni tahun 2016 yakni 438.363 ha atau menurun 75,3 persen, 2017 seluas 165.484 ha atau menurun 90,7 persen dan 2018 seluas 510.564 ha atau menurun 71,3 persen.

Namun pada 2019 luas areal karhutla kembali melejit melewati angka acuan sebesar 7,2 persen lantaran terbakarnya 1,6 juta hektare. 

Pada dua tahun berikutnya kembali mengalami penurunan yakni pada 2020 seluas 296.942 ha atau menurun 83,3 persen dan pada 2021 seluas 358.864 ha atau menurun 79,8 persen.

"Jika ingin mengamati tahun 2022 ini, maka data yang tersaji juga jauh lebih baik dibandingkan 2019," katanya.

Banyak hal yang sudah dilakukan para pemangku kepentingan untuk mencegah karhutla berkaca pada kejadian hebat pada 2015.

Indonesia membuat strategi penanggulangan karhutla dengan mengoptimalkan multi pihak, mulai dari penguatan koordinasi dari tingkat pemerintah pusat hingga daerah, pengendalian karhutla seperti melakukan Teknologi Modifikasi Cuaca dan upaya pemadaman dini, peningkatan kesiapsiagaan, peningkatan kapasitas, sarana prasarana dan pendanaan, serta kerja sama internasional.

Walau telah melakukan banyak hal, ia tak menyangkal bahwa intaian karhutla selalu mengancam Indonesia setiap musim kemarau lantaran adanya areal gambut seluas 22,2 juta hektare tersebar di lima provinsi.

Salah satu tantangan terbaru yang dijumpai kini terdapat beberapa provinsi, yakni Aceh, Lampung, Sumber dan Kalbar yang sudah terbakar sejak awal tahun dan di wilayah lahan mineral.

Oleh karena itu, pemerintah bermaksud membuat standardisasi mengenai penanganan karhutla di Indonesia yang dapat menjadi acuan para pihak demi mencapai target net zero emission tahun 2060.

Indonesia memiliki lahan gambut sekitar 22,5 juta ha yang sebagian besar tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua atau menjadi yang terluas di dunia.

Keberadaan puluhan juta hektare lahan gambut itu diyakini sama pentingnya dengan hutan Amazon yang membentang di delapan negara di Amerika Selatan. Hutan Amazon sebagai hutan hujan terluas di dunia atau sering kali disebut paru-paru dunia karena mampu menghasilkan 20 persen oksigen.

Lantas bagaimana pula dengan lahan gambut yang bisa terus menyerap karbon dalam jangka waktu lama. Adanya standardisasi penanganan karhutla ini diharapkan dapat menjaga kemampuan hebat gambut Indonesia itu.(adv)

Kategori :

Terkait