Teror Batas Wilayah, Bom Waktu Sengketa Bengkulu Utara – Lebong

Teror Batas Wilayah, Bom Waktu Sengketa Bengkulu Utara – Lebong

Permendagri No 20 Tahun 2015 tak cukup jitu menyelesaikan sengketa perbatasan Bengkulu Utara (BU)-Lebong. Sengketa batas wilayah ini bisa menjadi bom waktu. Terlebih, teros batas wilayah semakin menjadi-jadi. JULIAN SYAFRI, Giri Mulya PEMBANGUNAN Gapura perbatasan antara Kabupaten Bengkulu Utara, yakni di Bukit Resam Desa Rena Jaya Kecamatan Giri Mulya berbatasan langsung dengan Kabupaten Lebong terhenti. Material bangunan dibiarkan berserakan di tepi jalan. Bahkan, sisa pembakaran camp pekerja gapura seakan menggambarkan suasana mencekam di perbatasan kedua kabupaten ini. Wilayah Bukit Resam ini berada sekitar 20 Km dari titik nol Desa Rena Jaya Kecamatan Giri Mulya. Namun, sekitar 4 Km dari Kantor Bupati Lebong. Pembangunan Gapura perbatan di Bukit Resam sudah dimulai sejak Juli 2017 lalu. Sayangnya, sampai saat ini, atau tersisa kurang dari 2 bulan dari batas waktu berakhirnya kontrak pekerjaan, tidak ada progres apapun lantaran para pekerja takut melanjutkannya, karena adanya teror dari kelompok tertentu. Proyek dengan pagu anggaran Rp 746,9 juta ini, bersumber dari dana APBD Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2017. Sehingga Pemerintah Daerah (Pemda) Bengkulu Utara telah melaporkan kendala pembangunan itu, kepada kepada Pemerintah Provinsi Bengkulu. Bahkan, dalam waktu dekat ini, Polda Bengkulu akan menurunkan 1 Pleton Brimob guna memastikan kelanjutan pembangunan gapura tersebut. ‘’Kita sudah koordinasi dengan pak gubernur. Nanti pembangunan itu, akan dikawal Brimob dari Polda Bengkulu. Karena pekerjaan itu harus tetap jalan,’’ ujar Bupati BU, Ir Mian. Walau hingga saat ini belum muncul konflik antar warga di perbatasan. Namun, aksi teror dan tekanan dari sekelompok pihak terus berlangsung. Hanya saja, situasi warga di perbatasan masih cukup aman dan terkendali. Namun, jika tidak cepat ditangani pemerintah secara bersama-sama, bisa saja ini jadi bom waktu, konflik lebih meluas akan terjadi.

‘’Kalau situasi warga aman-aman saja. Tapi memang ada yang yang pro dan ada yang kontra mengenai titik tapal batas itu,’’ ungkap Hasbi warga Desa Rena Jaya.
Kades Rena Jaya, Mariuan menyampaikan jika saat ini sudah ada 93 Kepala Keluarga (KK) telah mengurusi KTP dari warga eks Padang Bano ke Kabupaten Bengkulu Utara. Karena, kendala ekonomi dan waktu, pihak Desa Rena Jaya membantu warga untuk mengurusinya. ‘’Kita sadari warga terbatas ekonomi untuk ke Lebong mengurus pindah KK dan KTP ini. Untuk itu, kita hanya meminta warga membuat surat pernyataan untu bersedia pindah dan mengurusi KTP ke Bengkulu Utara,’’ terangnya. Mariuan juga tidak membantah adanya pro dan kontra dari warga di Desa Rena Jaya terkait pembangunan gapura perbatasan tersebut. Hal ini lantaran adanya kepentingan dari pihak tertentu yang menginginkan kembali jabatan di pemerintahan desa eks Padang Bano. ‘’Yang kontra itukan rombongan perangkat desa eks Padang Bano yang diangkat oleh Lebong. Kalau warga lain, mudah-mudahan tidak ada kendala,’’ tuturnya. Awal Mula Konflik Berdasar data terhimpun, awal mula konflik terjadi semenjak pemekaran Desa Rena Jaya. Ketika itu, para tokoh masyarakat dan pemuda berkumpul membuat kesepakatan memilih nama Desa yang disebut Rejang Nasional Jaya (Rena Jaya). Kemudian, tim presidium pemekaran desa ini, mengajuan kepada Pemda Bengkulu Utara untuk dapat mendefinitifkan Rena Jaya menjadi sebuah desa tergabung dalam wilayah Kabupaten Bengkulu Utara. ‘’Dulu dibilang Rimbo Bano. Sedangkan Bano itu sendiri merupakan nama tumbuhan. Karena sangking lebatnya tumbuhan itu, maka dinamakan Padang Bano. Kemudian, ketika ingin membuat pemekaran desa, nama Padang Bano dirubah menjadi Rena Jaya oleh tokoh-tokoh masyarakat yang sekarang ini mempermasalahkan soal tapal batas,’’ ujarnya Mariuan. Usulan untuk mendefinitifkan Desa Rena Jaya, disambut baik oleh Pemda Bengkulu Utara. Namun, pada waktu itu, dibawah tahun 2006, luas desa yang diusulkan hingga kilometer 7. Akan tetapi, karena adanya kepentingan warga yang mempunyai lahan di kilometer 8, maka ditolak. Lantaran tidak diterima oleh Pemda Bengkulu Utara, sehingga proses definitif itu ditunda. Kemudian pada tahun berikutnya, usulan definitif Desa Rena Jaya itu kembali diwacanakan. Dan kembali mendapatkan tanggapan yang baik dari Pemda Bengkulu Utara dengan batas di kilometer 8. Tapi, tim presidium pemekaran meminta wilayah Desa Rena Jaya hingga ke kilometer 9. Akibatnya, proses definitif ini kembali ditunda. ‘’Usulan nama Rena Jaya itu, bukan asal buat. Tapi mempertimbangkan kemajemukan penduduk yang beragam-ragam. Sehingga untuk mempertimbangkan itu, dipilihlah nama Rejang Nasional Jaya. Karena ada 8 suku masyarakat disini,’’ ungkapnya. Pada tahun berikutnya, tim presidium kembali berkumpul untuk bermusyawarah mengenai tindaklanjut pemekaran desa. Sehingga, kembali diusulkan ke Pemda Bengkulu Utara, dengan ancaman jika tidak disetujui, maka tim presidium nekat mengajukan pemekaran ke Kabupaten Lebong. ‘’Dibuatlah semacan gertakan. Kalau, tidak juga didefinitifkan Desa Rena Jaya oleh Bengkulu Utara. Maka, pemekaran itu akan dipindahkan ke Lebong,’’ terangnya. Hanya saja, awalnya ancaman pindah ke Kabupaten Lebong itu hanya sebatas gertakan, menjadi kebablasan. Sehingga, sebagian tim presidium tetap meneruskan mengajukan pemekaran ke Kabupaten Lebong. ‘’Bengkulu Utara langsung mendefinitifkan Desa Rena Jaya. Namun, Lebong juga tidak kalah cepat menanggapi usulan itu dengan mendefinitifkan Desa Padang Bano,’’ tuturnyanya. Tak hanya itu, Kabupaten Lebong juga langsung membangun kantor pemerintahan, mulai dari Kantor Camat, Kantor Desa, Puskesmas, Pustu, Polsek dan sekolah. ‘’Kalau kantor camat dan desa, puskesmas serta pustu sejak awal tahun 2017 tidak lagi berfungsi. Tapi, kalau gedung Mapolsek memang sejak dibangun tidak pernah ditempati,’’ pungkasnya. Warga Lebong Tak Relakan Padang Bano Hingga saat ini, warga dari Kabupaten Lebong tidak merelakan Kecamatan Padang Bano masuk dalam wilayah Kabupaten Bengkulu Utara. Apalagi, pembangunan gapura perbatasan yang dinilai terlalu dekat dengan Kantor Bupati Lebong. Akibatnya, 93 desa di Kabupaten Lebong menolak dilaksanakannya pembangunan gapura perbatasan itu. ‘’Sekalian aja bangun gapura di kantor Bupati Lebong. Karena dari gapura yang mau dibangun, Cuma 4 Km lagi sampai ke kantor bupati,’’ ujar Erlan, warga Desa Atas Tebing, Kecamatan Lebong Atas, Kabupaten Lebong. Ia menambahkan wilayah Kabupaten Lebong bahkan hingga ke Desa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih. Hanya saja, wilayah itu tidak pernah dibuat secara tertulis. ‘’Intinya kami dari warga Lebong belum merelakan Kecamatan Padang Bano dan pembangunan gapura perbatasan di Bukit Resam,’’ ungkapnya. Terpisah warga lainnya, Roy juga menyampaikan hal senada. Namun, ia tidak pernah ikut demo bersama warga lainnya mengenai permasalahan itu. Karena menurutnya, persoalan itu harus diselesaikan oleh para pemimpin. Baik itu, Plt Gubernur Bengkulu, Bupati Lebong dan Bupati Bengkulu Utara. ‘’Kita tidak ikut demo. Cuma kami selaku masyarakat Lebong belum rela saja. tapi kita serahkan kepada pemimpin untuk menyelesaikannya. Yang jelas, ribut-ribut antar masyarakat, itu tidak ada,’’ pungkasnya.(816)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: