Inilah Sosok di Balik Logo HUT Ke-71 RI…Keren!

Inilah Sosok di Balik Logo HUT Ke-71 RI…Keren!

SIMPEL, tanpa hiasan bendera dan angka yang dihias mirip bulu Garuda. Bagi Adityayoga, desain tak boleh berhenti hanya sebagai karya visual. BAYU PUTRA, Jakarta KEPUTUSAN dari istana kepresidenan itu memang membuat Adityayoga bangga. Tapi sekaligus juga agak terkejut. ”Saya agak surprised karena karya simpel itu ternyata diterima,” katanya. Desain logo yang dibuat Aditya –sapaannya– memang telah disetujui istana untuk menjadi logo resmi HUT Ke-71 Republik Indonesia (RI). Logonya, seperti diakui pria 36 tahun tersebut, memang simpel. Tidak ada lagi hiasan bendera seperti logo HUT ke-60 sekian yang tiap tahun jumlah benderanya bertambah satu. Tidak ada angka yang dihias mirip bulu burung Garuda seperti logo tahun lalu. Kali ini bentuknya lebih tegas dan sederhana. Aditya mengaku bermain dengan shape (bentuk). ”Bidang lingkaran saya pecah, saya bagi dua, lalu saya ambil 71 dengan kemiringan yang sama,” ungkap sekretaris jenderal Asosiasi Desain Grafis Indonesia (ADGI) itu ketika ditemui Jawa Pos di Jakarta. Minggu siang lalu (10/7) itu, Aditya bekerja sendirian di ruangan berukuran 3 x 6 meter. Para stafnya masih libur Lebaran. Di seberang mejanya, menghadap kaca yang tembus ke jalan, ada instalasi desain tagline I Love RI berwarna putih berukuran besar. Lambang love diganti dengan Garuda merah. Ya, desain yang sempat menjadi viral di media sosial itu buah karyanya. ”Jarang memang ada desainer yang dikenal publik. Meski karyanya sebenarnya sangat dikenal,” katanya. Terpilihnya desain karya Aditya berawal dari penugasan oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang dipimpin Triawan Munaf. ADGI diminta membuat desain logo HUT Ke-71 RI. Tidak banyak yang diminta Bekraf. Yang penting, ada tagline ”Indonesia Kerja Nyata” dan desainnya tidak terlalu jauh dari tahun lalu. Beberapa anggota ADGI lantas diminta mengajukan karya. Beberapa di antaranya masih menggunakan ciri Garuda atau yang bisa menunjukkan ciri Indonesia. ”Saya kok agak capek ya, lihat secara visual kayak gitu. Kenapa tidak bikin yang simpel saja?” ucap putra pasangan (alm) Trijogo Gardjito dan Sriwidati itu. Akhirnya, diajukan sekitar enam karya yang tergolong nyaman untuk dilihat secara visual. Dari karya-karya yang diajukan, istana menyetujui karya Aditya tadi, salah satu yang terbilang cukup simpel. Desain tersebut menyisakan ruang cukup luas dalam lingkaran. Baik di depan angka 7 maupun di belakang angka 1. Itu memang sengaja dilakukan untuk memberi masyarakat ruang berkreasi mengisi ruang lingkaran. ”Batik bisa, motif lainnya bisa, foto Indonesia, Borobudur, dan sebagainya bisa,” lanjut pria kelahiran 30 April 1980 tersebut. ”Tawaran” itu pun seperti langsung disambut publik. Melalui mesin pencari yang dibukanya di salah satu iMac di meja kerjanya, Aditya menunjukkan kepada Jawa Pos beragam ”varian” karyanya tersebut. ”Bahkan, ada yang memodifikasinya menjadi bentuk palu arit hahaha,” ucapnya. Tapi, Aditya tak marah karyanya diperlakukan demikian. Bagi dia, itu bentuk candaan dari pihak-pihak yang mengapresiasi karyanya. Sikap legawa tersebut terbentuk dari pengalaman panjang menggeluti dunia desain. Berayah seorang arsitek, kecintaan Aditya pada dunia gambar dan visual diawali dari seringnya sang ayah mengajaknya berkenalan dengan dunia seni. Taman Ismail Marzuki termasuk yang paling sering dia kunjungi bersama sang ayah. Aditya pun jatuh cinta dengan dunia ”olah rasa” tersebut. Karena itulah, dia memilih Institut Kesenian Jakarta (IKJ) sebagai tempat menimba ilmu desain. Di IKJ Aditya mengambil studi desain grafis. Dia pun makin menikmati dunia desain dan berkomunikasi dengan masyarakat lewat desain yang dia hasilkan. Karya-karya Aditya sudah cukup banyak. Selain desain I -lambang Garuda- RI, ada desain-desain produk maupun logo perusahaan yang dia bikin. Termasuk desain bungkus salah satu merek makanan ringan yang dulu menjadi favoritnya, Chiki Balls. Desain I -lambang Garuda- RI dia tuangkan dalam kaus terinspirasi dari brand I -tanda love- NY yang merepresentasikan New York. Tidak terhitung pula karyanya yang dibajak. Pernah ada sebuah organisasi yang ingin membeli hak cipta desainnya secara resmi, tapi dia tolak. Ujung-ujungnya, desain tersebut dibajak. Aditya memang tidak menjadikan desain semata sebagai sebuah karya visual. Tapi juga problem solving atau solusi permasalahan. ”Ketika desain tidak bisa membuat orang bergerak, maka tidak bisa disebut desain,’’ ucapnya. Karena itu, pria yang kini juga menjadi dosen di IKJ tersebut selalu menekankan kepada mahasiswanya agar membuat desain dengan benar. Bukan desain yang bagus. Sebab, bagus tidaknya sebuah desain, akan sangat subjektif penilaiannya. Sedangkan membuat desain dengan benar akan mampu membawa perubahan di masyarakat. Apa kuncinya? Riset. Aditya bercerita pernah diminta Japan Foundation membantu promosi produk usaha kecil dan menengah (UKM) di sebuah daerah di Jepang yang baru terkena tsunami. Aditya dan salah seorang rekannya lalu diminta tinggal beberapa waktu di Jepang untuk melakukan riset. Keduanya diajak berinteraksi dengan produsen, melihat proses pembuatan, dan menyaksikan semua hal yang berkaitan dengan produk UKM yang akan dipasarkan. Desainer lantas diminta menganalisis persoalan yang ada untuk kemudian memberikan solusinya dalam bentuk desain. Hasilnya adalah sebuah desain yang mampu menjadi sebuah identitas. Untuk keperluan serupa pula kini ADGI diminta Bekraf membantu mendesain kemasan untuk produk-produk Indikasi Geografis. Yakni produk khas yang memang hanya ada dan tumbuh di daerah tersebut. ADGI pun sedari awal sudah menekankan akan membantu, tapi dengan cara ADGI. Yaitu dengan mengirimkan desainer ke daerah yang terdapat produk Indikasi Geografis. Lantas berinteraksi dengan semua stakeholder terkait. Tujuannya, sama seperti yang dilakukan Aditya di Jepang: menemukan permasalahan yang ada dan bisa mendesain solusinya. Desainer ADGI akan melakukan riset di daerah tersebut hingga tuntas persoalan yang dihadapi. Dengan cara seperti itu, desainer jadi punya keterikatan yang lebih dalam daripada sekadar brifing. Metode tersebut juga akan memunculkan trust dari pemilik produk. Tidak sebatas menerima desain yang dibuat entah oleh siapa. Hubungan emosional antara desainer dan pemilik produk akan memperkuat produk bersangkutan. Di antara hampir 40 produk Indikasi Geografis yang hak ciptanya terdaftar, ADGI pun mengusulkan sekitar 16 produk segera dibuatkan desain kemasan. Beberapa di antaranya adalah beras Krayan dan pala. Beras Krayan selama ini dijual di Malaysia dengan cara rebranding menggunakan merek Malaysia. Padahal, itu beras dari Kalimantan wilayah Indonesia yang memang ditanam di kawasan perbatasan. Begitu pula pala. Aditya mengingatkan, pala adalah alasan armada dari Eropa datang ke Nusantara ratusan tahun lalu. Artinya, pala adalah salah satu identitas Indonesia. Itu tidak boleh terlewat. Aditya mengaku punya pengalaman pahit terkait apa yang disebutnya sebagai identitas Indonesia itu. Belum lama ini, dia datang ke Bajawa, Nusa Tenggara Timur, dan menginap di sebuah hotel. Hotel tersebut menyediakan menu kopi. ”Tapi, kopi yang disajikan kopi instan dalam kemasan. Ini ironis sekali. Padahal, kopi Bajawa segitu terkenalnya,’’ ucap anak kedua di antara dua bersaudara itu. Begitu pula halnya saat menginap di hotel di Aceh. Yang disiapkan adalah kopi pabrikan, bukan produk lokal macam kopi Gayo. ”Seharusnya produk-produk lokal itu ’menyerang’ lebih dahulu dengan cara ditaruh di gerbang-gerbang pariwisata,” tuturnya. Di situlah, menurut Aditya, desain bisa mengambil peran. Tidak sekadar menjadi pemanis tampilan kemasan. ”Tapi harus mampu membuat produk menjadi sebuah identitas,” imbuhnya. (*/c9/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: