Presiden Jokowi (jangan) Hancurkan Reputasi Penegak Hukum

Presiden Jokowi (jangan) Hancurkan Reputasi  Penegak Hukum

  \"OLYMPUS

Oleh: Prof. Dr. Herlambang, SH, MH

BERITA penarikan kembali berkas perkara Novel Bawesdan oleh Kejaksaan Negeri Bengkulu dengan surat Kepala Kejaksaan Negeri Bengkulu pada tanggal 2 Februari 2016, yang kemudian diserahkan oleh Pengadilan Negeri tanggal 5 Februari 2016 setelah dilimpahkan beberapa hari sebelumnya yaitu pada tanggal 29 Januari 2016, perlu dicermati. Majelis hakim dan agenda sidang telah ditetapkan pada tanggal 16 Februari 2016 rencananya pembacaan dakwaan akan dilakukan. Kajati Bengkulu kepada wartawan lokal menyebutkan tidak ada penarikan berkas yang ada Kepala Kejaksaan Negeri Bengkulu meminta izin untuk memperbaiki surat dakwaan. Beberapa hari kemudian Jaksa Agung memberi pernyataan mengejutkan, bahwa sebagai penuntut umum utama berencana untuk menghentikan perkara. Pernyataan jaksa agung muncul setelah berita yang menyebutkan bahwa presiden berencana memanggil Jaksa agung untuk membicarakan kasus Novel Bawesdan, Bambang Wijoyanto dan Abraham Samad.

Fakta-fakta tersebut menimbulkan beberapa persoalan hukum. Pertanyaan akan timbul berkenaan dengan kewenangan Jaksa Agung untuk menarik perkara yang telah dilimpahkan ke pengadilan. Terlebih lagi jika penarikan perkara tersebut dilakukan atas perintah Jaksa Agung setelah bertemu dengan Presiden Jokowi. Persoalan kedua yang muncul adalah apakah dasar hukum penarikan kembali perkara yang telah dilimpahkan oleh Kejaksaan Negeri Bengkulu. Apakah konsekuensi yuridis atas perkara yang telah dilimpahkan ke Pengadilan namun tidak dihadiri Jaksa dan tanpa pembacaan berkas perkara. Dapatkah Jaksa Agung menghentikan perkara yang telah dilimpahkan ke pengadilan. Selain menimbulkan persoalan hukum hal ini juga akan menimbulkan friksi antar penegak hukum (Kepolisian sebagai penyidik dengan Jaksa dan hakim).

Perbaikan surat dakwaan Secara ideal maka Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai surat dakwaan. Ps 143 KUHAP. Dalam hal tertentu maka penuntut umum diberikan hak untuk mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk penyempurnaan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. (Ps 144 KUHAP (1)). Pada ayat 2 disebutkan pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan memberikan kewenangan kepada Jaksa penuntut umum hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai. Ketentuan ini memberi petunjuk bahwa jika penuntut umum berpendapat bahwa surat dakwaan belum lengkap maka dia dapat menarik surat dakwaan yang telah dilimpahkan ke pengadilan untuk diperbaiki. Adapun angka waktunya yaitu sebelum hari sidang ditentukan sampai dengan 7 hari sebelum sidang dimulai. Apabila tujuan penarikan adalah untuk tidak melanjutkan penuntutannya maka batas waktu yang diberikan adalah sebelum pengadilan menetapkan hari sidang.

Kemungkinan Perbaikan surat dakwaan yang diberikan oleh undang-undang di dasarkan alasan adanya kekilafan yang terjadi dalam penyusunan Surat dakwaan dan dapat berakibat pada dakwaan batal demi hukum seperti dimaksud oleh pasal 143 ayat 3. Agar hal tersebut tidak terjadi maka undang-undang memberikan hak kepada penuntut umum untuk memperbaiki surat dakwaan dengan melakukan penarikan terlebih dahulu. Hasil perbaikan tersebut harus disampaikan kepada tersangka, penyidik dan penasihat hukum. (Ps 144 ayat 4). Berkenaan dengan Kasus Novel Baswedan maka kebenaran pernyataan Kajati dan Humas PN Bengkulu akan terbukti apabila surat dakwaan telah diserahkan kembali ke pengadilan dan diberikan juga kepada Penyidik, Tersangka dan penasihat hukum, satu minggu sebelum hari sidang yang telah ditetapkan oleh majelis, yaitu tanggal 16 Februari 2016. Jika hal ini tidak terjadi maka kemungkinan penarikan berkas tersebut bukan untuk memperbaiki surat dakwaan, tetapi menarik seluruh berkas yang diserahkan ke pengadilan pada tanggal 29 Januari 2016.

Kewenangan Jaksa agung Menghentikan Perkara Memperhatikan struktur KUHAP maka Jaksa Agung diberikan kesempatan untuk menghentikan penuntutan karena perkara ditutup demi kepentingan hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. (Ps 140 ayat(2). Kapan Surat ketetapan penututpan perkara demi kepentingan hukum dilakukan, yaitu setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyelidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. (Ps 139 KUHAP). Jaksa Penuntut umum dapat menghentikan perkara apabila menurutnya setelah meneliti berkas perkara, terdapat kekurangan alat bukti untuk digunakan di sidang pengadilan.Hal ini berarti bahwa keputusan untuk menghentikan perkara tersebut diambil sebelum perkara dilimpahkan ke pangadilan atau selambat-lambatnya sebelum hari sidang ditetapkan. Pertanyaan yang timbul apakah JPU pada Kejaksaan Negeri Bengkulu dapat menghentikan perkara Novel Baswedan berdasarkan ketentuan ini?, jawabannya adalah tidak mungkin karena Jaksa peneleti yang memeriksa berkas perkara menyatakan bahwa perkara telah lengkap, kemudian Jaksa Penuntut Umum telah membuat Surat Dakwaan dan telah melimpahkan perkara kepengadian Negeri Bengkulu. Apabila hal ini tetap dilakukan maka Jaksa Penuntut Umum dapat di Praperadilan oleh Penyidik atau oleh Pihak ketiga yang berkepentingan dalam hal ini adalah Korban.

Kewenangan kejaksaan untuk menghentikan perkara dapat juga dilakukan berdasarkan alasan demi kepentingan umum berdasarkan asas opportunitas. H. Kotslesen yang dikutip oleh Djoko Prakoso, mengartikan oportunitas sebagai “Geschte Gelegheid ”.(Joko Prakoso.hlm 88). Jadi,pada umumnya oportunitas berarti kesempatan yang tepat. Kesemuanya mengandung pengertian dalam hukum pidana adalah pengenyampingan perkara (deponering).(Andi Hamzah.hlm 151). Asas tersebut memberikan wewenang kepada Jasa Agung sebagai penuntut umum untuk meniadakan penuntutan hukum terhadap seseorang yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana berdasarkan pertimbangan bahwa lebih menguntungkan kepentingan umum jikalau tidak diadakan penuntutan (Zainal Abidin, hlm 12). Selanjutnya menurut A. Zainal Abidin merumusan asas oportunitas sebagai :“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”.(Zainal Abidin hlm 89)

Asas oportunitas tercantum di dalam Pasal 35 huruf c Undang -Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Ketentuan tersebut sebenarnya tidak menjelaskan arti asas oportunitas, hanya dikatakan bahwa : “ Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan Umum. Apa artinya “kepentingan umum” dijelaskan dalam buku pedoman pelaksanaan KUHAP, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah sebagai berikut: “....dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara, dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat”(pedoman Pelaksanaan KUHAP.

Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu “Yang dimaksud dengan “kepentingan umum”adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung, setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”. Maksud dan tujuan undang-undang memberikan kewenangan pada Jaksa Agung tersebut, adalah untuk menghindarkan tidak timbulnya penyalagunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan asas oportunitas. Sehingga dengan demikian satu–satunya pejabat negara di negara kita yang diberi wewenang melaksanakan asas oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak pada setiap jaksa selaku penuntut umum (JPU) dan alasanya mengingat keadaan dan kedudukan Jaksa Agung selaku Penuntut Umum Tertinggi (Djoko Prakoso hlm.40).

Pertanyaan yang harus di jawab berkenaan dengan penggunaan kewenangan Jaksa Agung untuk medeponer perkara Novel Baswedan, adalah apakah syarat dem kepentingan umum terpenuhi dalam kasus ini. Menyimak perdebatan di acara Indonesia Lawyer Club yang diadakan oleh TV one beberapa hari yang lalu, dimana salah satu korban penembakan oeh Novel Baswedan atau oleh orang dibawah perintahnya, maka unsur kepentingan umum tidak mungkin dapat dipenuhi, karena terdapat fakta adanya korban yang meninggal, yang dianiaya dan ditembak. Perbuatan ini telah melanggar “nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab”, dan penulis percaya tidak ada seorang rakyat Indonesia yang menyukai perbuatan tersebut bahkan, sebaliknya membenci perbuatan yang tidak berperikemanusiaan tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka Jaksa Agung RI harus menjelaskan dan memberi nasihat kepada Presiden RI agar tidak meminta kepada Jaksa Agung untuk menggunakan kewenangan tersebut.

Daluarsa penuntutan Alternative lain yang mungkin di lakukan oleh jaksa penuntut umum dengan menarik kembali perkara Novel Baswedan dari pengadilan Negeri Bengkulu adalah dengan megulur-ulur perkara. Pada negara Italia ada kecenderungan Jaksa yang mengulur-ulur perkara sehingga menjadi lewat waktu (verjaard) sehingga tidak dapat dilakukan penuntutan oleh jaksa penuntut umum. (Syafrudin Kalo, hlm, 28)..

Seperti diketahui bahwa tempus delicti pada kasus Novel Baswedan adalah pada tahun 2004, hal itu berarti telah terjadi 12 Tahun yang lalu. Jika kita perbandingkan dengan ketentuan pasal 78 KUHP, yang merumuskan aturan sebgai berikut; (1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: 1. mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun; 2. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; 3. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; 4. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun. (2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.

Ketentuan mengenai daluarsa ini dapat terjadi di dalam perkara apabila Jaksa Penuntut mengajukan Novel Baswedan sebagai terdakwa berdasarkan dakwaan melanggar pasal 351 ayat 2 dan ayat 3, KUHP, yaitu; (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Jalan ini mungkin saja dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum, namun hal ini bertentangan dengan prinsip pradilan cepat dan biaya murah, prinsip persamaan dihadapan hukum dan prinsip peradilan terbuka untuk umum. Pertanyaan yang timbul adalah apakah ada upaya untuk mencegah terjadinya hal ini. Sekali lagi upaya pra peradilan dapat dicoba untuk dilakukan, karena adanya asumsi bahwa Jaksa penuntut umum telah menghentikan perkara secara tidak sah. Atau Jaksa Agung dapat memberikan pandangan kepada Presiden tentang kemungkinan terjadinya hal tersebut, sehingga mengizinkan Jaksa Agung Untuk tetap melanjutkan perkara tersebut ke pengadilan negeri Bengkulu.

Penutup Pentingya perkara ini tetap dilanjutkan ke pengadilan karena,pertama. substansi perkara tersebut adalah berkenaan dengan hilangnya nyawa seseorang yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan wajib bagi kita semua untuk melindungi hak hidup. Kedua, hal ini perlu dilakukan untuk membersihkan nama Novel Baswedan memberikan hak kepada Novel Baswedan untuk membela diri. Ketiga, hal ini perlu dilakukan untuk melindungi nama baik Presdiden Jokowi, agar tidak terkesan merusak reputasi penegak hukum dan melakukan intervensi terhadap proses peradilan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: