Parlemen Hadang Pungutan BBM
JAKARTA, BE - Sudah tak disubsidi, dipungut biaya pula. Itulah yang mesti dialami konsumen premium dan solar per 5 Januari 2016. Namun parlemen siap menghadang kebijakan anyar tersebut. Penurunan harga premium dan solar yang disampaikan Menteri ESDM Sudirman Said didampingi Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Seskab Pramono Anung di Kantor Presiden pada Rabu (23/12) itu mulanya seperti laiknya pengumuman biasa. Harga minyak dunia memang tengah jeblok. Di Desember, harga acuan WTI (West Texas Intermediate) bahkan sempat menyentuh USD 34,7 per barel, atau terendah sejak sebelas tahun terakhir. Dengan demikian, memang wajar jika harga premium dan solar dipangkas. Namun yang akhirnya menyulut kontroversi adalah dimasukkannya komponen pungutan berbalut dana ketahanan energi (DKE) pada harga BBM. Dalam harga premium Rp 7.250 (Jawa, Madura, Bali) ada pungutan Rp 300 per liter. Sedangkan solar (harga Rp 5.950) terdapat pungutan Rp 300 per liter. Karena pungutan itu, harga premium hanya turun Rp 150 per liter. Sedangkan harga solar hanya turun Rp 750 per liter. Parlemen pun siap menghadang pungutan tersebut. Ketua Komisi VII (membidangi energy) DPR Kardaya Warnika, upaya pemerintah untuk meningkatkan ketahanan energi memang cukup bagus. Namun, upaya pengumpulan dana itu bermasalah karena dasar hukum yang dipakai pemerintah amat lemah. ’’Landasan hukum pasal 30 UU 30/2007 tentang Energi itu isinya menyangkut litbang (penelitian dan pengembangan) energi. Itu berbeda dengan ketahanan energi,’’ jelas Wardaya kepada Jawa Pos kemarin (27/12). Legislator Fraksi Partai Gerindra yang pernah menjabat sebagai Kepala BP MIgas itu khawatir pemerintah justru akan menjadi bulan-bulanan protes publik jika memaksakan pasal itu sebagai dasar hukum pemungutan DKE. Kalau masih ingin mengadakan DKE, dia menyarankan dibentuk aturan yang jelas terlebih dahulu. ’’Kalau dipermasalahkan landasan hukumnya nanti repot lagi. Buang-buang waktu dan tenaga lagi,’’ tegasnya. Sebenarnya pungutan atas BBM tersebut juga dilakukan oleh sejumlah negara. Di negara dengan pengembangan energi alternatif cukup apik seperti Norwegia, Italia, dan Belanda, pajak BBM diterapkan agar harganya tidak terlampau murah. Namun di Indonesia, pengenaan pajak baru sulit dilakukan karena Indonesia menganut rezim pajak tertutup yang mensyaratkan pemungutan pajak mesti dimaktubkan di undang-undang. Wakil Ketua Komisi VII DPR Syaikhul Islam Ali tidak menangkap logika yang benar soal mengumpulkan DKE melalui pungutan. Apalagi, dasar aturannya belum jelas. Dia menekankan, kebijakan pemungutan tersebut justru berpotensi diselewengkan. ’’Kami akan meminta menteri ESDM memberi klarifikasi. Kalaupun idenya bagus, dasar hukum dan pengelolaannya harus jelas,’’ ujarnya. Politikus PKB tersebut juga mengatakan bahwa DKE masih belum jelas peruntukannya. Bahkan, pemerintah sendiri belum pernah membicarakan secara serius soal dana itu. Oleh sebab itu, pihaknya menyatakan menolak tegas pemberlakuan pemungutan dana tersebut. ’’Yang penting pemerintah jelaskan dulu untuk apa dana ini. Ini kan masih samar, katanya untuk pengembangan energi baru terbarukan, ada juga yang bilang untuk menstabilkan harga BBM. Ini semua belum jelas,’’ tegasnya. Dalam hitungannya, total DKE selama lima tahun diprediksi sekitar Rp 77,5 triliun dengan asumsi dana terkumpul sekitar Rp 15,5 Triliun per tahunnya. Jumlah tersebut tentunya cukup besar sehingga perlu lebih dahulu diperjelas peruntukannya. ’’Posisi kami jelas, kami pasti menolak jika dasar hukumnya dipaksakan dan pengelolaannya tidak jelas,” ujarnya. Syaikhul mengakui, pemerintah berniat baik dengan adanya dana tersebut. Salah satu tujuan utama dari keberadaan dana ketahanan energi adalah untuk menstabilkan harga BBM jika suatu saat harga minyak dunia kembali melambung. Namun menurut dia, ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menjaga kestabilan harga BBM. ’’Caranya dengan efisiensi pertamina. Selama ini, semua kilang Pertamina sudah tidak efisien. Akibatnya BBM yang diproduksi mereka harganya lebih mahal dibanding yang impor,” katanya. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan, pungutan DKE adalah ilegal. ”Sebetulnya, kalau mau dianggarkan itu bagus. Tapi, niat baik harus diikuti dengan payung hukum yang jelas,’’ ujarnya. Aturan yang ada, yakni UU No. 30/2007 tentang Energi disebutnya belum sesuai. Dia lantas mengorek aturan yang juga mengamanatkan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi diutamakan untuk energi baru dan terbarukan itu. Disebutkan dengan jelas kalau pendanaan kegiatan itu difasilitasi pemerintah dan pemerintah daerah. Sumber dananya dari APBN, APBD, dan swasta. Syaratnya, diambil dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan. ’’Di APBN 2016 belum ada soal itu. Jadi bisa dibilang ilegal,’’ jelasnya. Meski demikian, dia tetap mengapresiasi niat baik pemerintah yang ingin melakukan pengembangan EBT dengan berbagai terobosan. Namun, tetap saja harus mengedepankan tata kelola yang jelas. ”Kalau administrasinya tidak jelas, nanti saat dilakukan evaluasi juga tidak akan ada kejelasan,” tambahnya. Komaidi mengatakan, solusi yang semestinya diambil oleh pemerintah untuk pengembangan EBT adalah memberikan kesempatan lebih besar bagi swasta untuk melakukan inovasi. Langkah itu, lanjutnya, merupakan upaya paling rasional tanpa membebani masyarakat luas dengan pungutan.’’Pemerintah seharusnya mengganggarkan porsi pengembangan core bisnis EBT kepada swasta. Mengingat energi terbarukan adalah bisnis baru, perlu kemudahan bagi swasta untuk diberikan porsi lebih besar untuk mengembangkannya,’’ tuturnya. Semangat itu tidak terlihat karena ada beberapa kendala yang dikeluhkan swasta. Yakni, minimnya alokasi anggaran yang diberikan pemerintah. Padahal, EBT merupakan prospek bisnis baru yang cukup mahal dan memang butuh alokasi dana sangat besar. (dee/sof)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: