Lima Parpol Dilarang Kampanye
BENGKULU, BE - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bengkulu melarang 5 partai politik ikut berkempanye menggunakan aribut partai untuk memenangkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Bengkulu pada Pilgub 2015 ini. Kelima partai politik tersebut yakni, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Untuk Partai Gerindra, Partai Golkar dan PAN dilarang ikut kampanye karena keempat partai itu tidak mengusung salah satu dari dua pasang calon gubernur dan wakil gubernur. Keempatnya hanya sebagai partai pendukung, sedangkan dalam Peraturan KPU nomor 7 dan 9 Tahun 2015 tidak mengenal kata pendukung, yang ada adalah pengusung atau tidak mengusung sama sekali. Sedangkan untuk PPP juga tidak dibolehkan ikut kampanye karena secara administrasi dan prosedur pendaftaran tidak diakui, mengingat partai tersebut masih terjadi dualisme kepemimpinan di Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Syaratnya kedua kepengurusan harus mengusung calon yang sama, namun PPP versi Djan Faridz memberikan dukungannya kepada Sultan-Mujino, sedangkan PPP versi Romahurmuziy mendukung Ridwan Mukti-Rohidin Mersyah. Sedangkan PKS memang sama sekali belum menyatakan dukungan. Kelimanya boleh ikut kampanye asalkan tidak menggunakan atribut partai tersebut. \"KPU hanya hanya mengakui 6 partai politik dalam Pilgub Bengkulu, keenamnya adalah Nasdem, PKB, Hanura dan PKPI yang mengusung pasangan Ridwan Mukti dan Rohidin Mersyah. Sedangkan dua partai lainnya adalah PDI Perjuangan dan Demokrat yang mengusung pasangan Sultan B Najamudin dan Mujiono,\" kata Anggota KPU Provinsi Bengkulu Divisi Hukum, Zainan Sagiman SH, kemarin (11/8). Selain 6 Parpol itu tidak diakui. Sebagai konsekuensinya maka dilarang untuk ikut berkampanye dan memasang atribut saat berkampanye nanti. \"Larangannya sangat jelas berdasarkan PKPU, jika tidak mengindahkan larangan itu, maka kami minta Bawaslu menindak dan mengambil sikap tegas,” ungkap Zainan. Tidak diakuinya partai Gerindra dan PAN yang merupakan partai besar dan sedang konflik kepengurusan DPP tersebut dikarenakan keduanya terlambat menyampaikan dukungannya. Sehingga dokumen yang disampaikan Ridwan Mukti dan Rodihin saat mendaftar ke KPU hanya diusung oleh Nasdem, PKB, Hanura dan PKPI. Sedangkan Gerindra dan PAN baru disampaikan hari terakhir pendaftaran, namun sudah tidak diterima karena dokumen pendaftaran sudah tidak bisa diubah lagi. \"Sejak awal sudah kami sampaikan kepada Pak Ridwan Mukti, kalau memang masih ada partai ditunggu, maka lebih baik pendaftaran ditunda saja pada hari terakhir tepatnya tanggal 28 Juli lalu. Namun Pak Ridwan Mukti sendiri bersikukuh tetap ingin mendaftar dihari pertama dan menyerahkan dukungan dari 4 partai. Dokumen pendaftarannya tidak bisa diubah lagi, karena dokumen itu termasuk rahasia negara, akibatnya SK rekomendasi partai yang diserahkan belakangan tidak bisa masuk lagi,\" paparnya. Dikonfirmnasi, Juru Bicara Tim Pemenangan Ridwan Mukti dan Rohidin Mersyah, Miftahul Jazim mengungkapkan kekecewaannya atas keputusan KPU yang melarang partai pendukung ikut berkampanye dengan menggunakan atribut partai tersebut. Namun demikian, ia tetap mematuhi aturan KPU karena tidak ingin menciderai pelaksanaan Pilgub Bengkulu ini. \"Ya kalau memang tidak boleh sebenarnya tidak fair juga, karena partai tersebut benar-benar memberikan dukungannya. Tapi kalau tidak boleh, ya kita akan berkampanye yang dibolehkan KPU, mungkin yang tidak boleh itu menampilkan atribut partai tersebut, tapi pengurusnya tentu tidak ada larangan untuk berkampanye,\" singkatnya. Pasang Tarif Rp 200-300 Ribu Prediksi praktik money politik atau politik uang pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Bengkulu tahun ini bakal meningkat, kemungkinan besar akan terbukti. Pasalnya dari penelusuran yang dilakukan BE, masyarakat Bengkulu khususnya kalangan bawah memang mengharapkan adanya money politik, bahkan mereka sudah memasang tarif antara Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu jika minta dicoblos saat pemungutan suara nanti. Alasannya cukup logis, yakni hanya saat momen Pilkada mereka bisa mencicipi uang para kandidat, karena pengalaman sebelumnya setelah terpilih para pejabat pun menutup diri. \"Kalau saya terang-terangan saja, kalau mau bayar minimal Rp 200 ribu saya siap memilih, kalau dibawah itu masih pikir-pikir,\" kata Nurli (41), salah seorang petugas cleaning servis di Gedung DPRD Provinsi Bengkulu, kemarin. Menurutnya, tarif Rp 200 ribu terbilang kecil dan tidak sebanding dengan jabatan dan pendapatan yang akan diperoleh kandidat tersebut setelah duduk menjadi gubernur atau wakil gubernur. Sedangkan kerugian lainnya tidak dipikirkan, seperti kandidat akan menempuh jalur yang kurang baik untuk mengembalikan modalnya. \"Setelah dia duduk tidak ada lagi urusan dengan kami. Kehidupan kami tetap seperti inilah hanya dapat makan dari hari ke hari,\" ucapnya. Senada juga disampaikan Siregar (52) salah seorang pedagang buah-buahan di Pasar Panorama, Kota Bengkulu. Ia mengaku, untuk mencoblos tersebut otomatis sudah menghilangkan jam kerjanya untuk berjualan. Jika tetap meminta dipilih, paling tidak kandidat harus menggantikan pendapatan yang seharusnya ia peroleh dalam waktu satu hari tersebut. \"Uang itu bukan jual beli suara, tapi sebagai ganti pemasukan kami karena tidak berjualan. Biasanya pendapatan saya dan istri jual buah-buahan ini berkisar antara Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu per harinya. Kalau mau menggantinya Rp 200 ribu saja per kepala kami siap, syukur-syukur kalau mau kasih lebih Rp 300 ribu per kepala,\" lirih sambil melayani pembeli, kemarin. Jika tidak ada sama sekali, pria asal Medan ini mengaku tidak akan memberikan hak suaranya. Terlebih yang maju Pilgub saat ini tidak ada yang berasal dari Medan. \"Kalau Pileg kemarin saya ikut milih walaupun tidak dibayar, karena ada saudara sama-sama dari Medan yang ikut mencalonkan diri. Tapi kalau pemilihan gubernur kan tidak ada saudara atau hubungan kekeluargaan sama sekali, kalu tidak ngasih apa-apa, ya kami akan memilih berjualan saja dari pagi seperti biasa,\" paparnya. Siregar juga mengaku visi dan misi yang ditawarkan kedua pasangan Cagub tersebut tidak ada artinya bagi pedagang seperti mereka. Karena untuk bertahan hidup, ia mengaku tetap berusaha sendiri-sendiri tanpa campur tangan pemerintah. \"Mungkin kalau petani atau nelayan ada bantuan dari pemerintah, kalau masyarakat seperti kami ini bantuan apa? Lokasi jualan kami nyewa, modal jualan juga kami berusaha sendiri,\" ujarnya blak-blakan. Menanggapi hal tersebut, Pengamat Universitas Bengkulu, Drs Azhar Marwan MSi menilai tarif yang dipasang masyarakat kalangan bawah tersebut merupakan bentuk kekecewaan masyarakat kepada pemimpin yang selama ini hanya dekat disaat kampanye sambil memberikan janji-janji yang bombastis. \"Makanya kedua pasang Cagub sekarang diharapkan jangan mengumbar janji yang bombastis, tapi silahkan yang realistis saja. Nanti akan menambah kekecewaan masyarakat jika janji-janji manis itu tidak terealisasi setelah duduk menjadi kepada atau wakil kepala daerah,\" katanya. Ia pun menilai keinginan masyarakat yang mengharapkan money politik tersebut juga sebagaiu bentuk protes atas kebijakan kepala daerah selama ini yang tak begitu memperhatikan masyarakat kecil. Masyarakat kecil bahkan dibiarkan berjuang menentukan nasibnya sendiri-sendiri, prasarana jalan sebagai penunjang transportasi pedagang pun sering dinomor duakan. \"Tapi paragima masyarakat itu bisa berubah jika kedua atau salah satu pasang kandidat bisa melakukan pendekatan yang lebih baik lagi. Saat ini masyarakat kalangan bawah memasang tarif karena mereka belum kenal dengan kandidat, mungkin setelah kenal nanti mereka akan berubah,\" sampainya. Disisi lain, ia pun mengingatkan Bawaslu dan jajarannya untuk meningkatkan pengawasan, karena se Provinsi Bengkulu masyarakat kalangan menengah kebawah jauh lebih banyak ketimbang masyarakat kalangan menengah keatas. Money politik ini pun menjadi ancaman serius, karena kandidat biasanya akan menggunakan cara yang tidak terpuji itu jika usahanya untuk mendapatkan dukungan tanpa pamrih gagal diraih. \"Saya memprediksi, yang menang nanti adalah money politik atau masyarakat yang golput. Sebab, jika mereka tidak mendapatkan uang seperti yang diharapkan, maka mereka tidak merasa rugi untuk golput atau tidak memilih,\" tandasnya.(400)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: