Batal Pulang Kampung karena Anak Meninggal

Batal Pulang Kampung karena Anak Meninggal

\"16332_14169_OKE-foto-BOKS\" Maksud hati ingin menempuh pendidikan tinggi. Apa daya, Djoko Sulistyo Atmo Hartono malah nyantol di Rumania. Berbagai halangan membuat dia susah kembali ke tanah air. Berikut kisah Djoko yang disampaikan kepada wartawan Jawa Pos *** PRIA parobaya tersebut setia mendampingi ke mana pun Duta Besar RI untuk Rumania-Moldova Diar Nurbiantoro bertugas. Dia juga tanggap saat para delegasi DPR sulit berkomunikasi dengan warga lokal yang kebanyakan menggunakan bahasa Rumanian. Ya, Djoko Sulistyo Atmo Hartono atau yang akrab disapa Pakde oleh orang-orang Indonesia di Rumania termasuk ’’orang penting’’ di bekas negara komunis itu. Pria kelahiran 21 April 1944 tersebut sudah genap 50 tahun tinggal di negara itu. Karena itu, boleh jadi dia adalah orang Indonesia yang paling lama di Rumania. Sebenarnya, tidak pernah tebersit di benaknya untuk menetap di negeri yang jauh dari kampung halamannya itu. Keberangkatan pria asal Solo tersebut ke Rumania tidak lain adalah ingin menimba ilmu di luar negeri. ’’Saat itu, sebenarnya saya baru lulus SMA di Solo. Saya ke Jakarta ingin melanjutkan kuliah sambil bekerja,’’ ujar Djoko saat berbincang dengan wartawan koran ini di sela kegiatan kunjungan muhibah DPR, Selasa (21/4). Ketika datang ke Jakarta, keberuntungan sebenarnya datang kepada Djoko. Saat itu, dia diterima bekerja di Sarinah, pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta. Meski sudah bekerja, keinginannya yang kuat untuk studi lanjut terus diupayakan. Sambil bekerja, dia rajin mencari beasiswa. Sampai akhirnya, Djoko menemukan informasi beasiswa dari Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). ’’Saat itu, pemerintah Rumania memberikan banyak beasiswa untuk pelajar dari Indonesia,’’ kenang bapak dua anak tersebut. Tanpa berpikir panjang, tawaran itu disambutnya. Sampai-sampai, Djoko rela keluar dari Sarinah dan harus membayar sejumlah uang sebagai penalti ikatan dinas di toserba tersebut. Setelah mengikuti serangkaian tes di Cikini, Jakarta Pusat, Djoko akhirnya lolos sebagai penerima beasiswa. Seingat dia, ada 10 pelajar yang menerima beasiswa yang sama. Singkat cerita, sampailah Djoko di Rumania. Negeri antah berantah di Eropa Timur yang saat itu belum banyak dikenal orang. Dia hanya tahu bahwa Rumania merupakan negeri komunis karena bertetangga dengan Uni Soviet (kini Rusia). Menurut Djoko, saat era Presiden Soekarno, memang banyak negara di Eropa Timur yang beraliran komunis yang memberikan beasiswa. Di Rumania, Djoko mengambil jurusan ekonomi dan perdagangan luar negeri di Academia D’Studii Economice (ACE) Din Bucharest. Perguruan tinggi yang didirikan pada 1913 itu memang menelurkan banyak politikus ulung dan pejabat di Rumania. Sebut saja Corina Cretu (vice president of European Parliament), Mugur Icarescu (mantan perdana menteri), serta Marin Ceausescu (ekonom dan diplomat). Djoko butuh enam tahun untuk menyelesaikan kuliah. Pada 1971, dia lulus dan berhak dengan gelar setara magister (S-2). Namun, nahas bagi dia. Saat menempuh kuliah, terjadi pergolakan politik di Indonesia. Rezim Presiden Soekarno dikudeta rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Ketika Order Baru berkuasa, segala bentuk yang berbau komunis disingkirkan. Stigma aliran kiri melekat pada mereka yang menempuh pendidikan di negara-negara Eropa Timur. Cap komunis itu bahkan menurun kepada anak cucu mereka yang tidak tahu apa-apa. Anak-anak tersebut kelak mengalami banyak kesulitan dan masalah dalam berbagai hal, termasuk ketika mencari pekerjaan. Lulus kuliah bukannya senang, Djoko justru gamang. Di satu sisi, dia sangat ingin balik ke tanah air. Namun, di sisi lain, kondisi politik di tanah air belum memungkinkan dirinya untuk kembali. Sebab, pemerintah Orde Baru sedang giat-giatnya ’’membersihkan’’ orang-orang dan keluarganya yang dianggap komunis. Akhirnya, Djoko memilih tinggal sementara di Rumania sambil menunggu suasana politik di tanah air aman dan stabil. Apalagi hatinya tertambat pada seorang gadis Bucharest yang juga teman kampusnya, Novac Angela. ’’Saat itu, kami sudah klik dan berencana menikah. Namun, tidak mudah menikah dengan orang asing saat pemerintahan komunis berkuasa,’’ terang Djoko. Dia dan Angela harus menunggu izin dari pemerintah Rumania hingga empat tahun lamanya. Sembari menunggu izin itu, Djoko mencari pekerjaan di sejumlah perusahaan. Mungkin karena dirinya orang asing, pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya sulit didapat. Sampai akhirnya, pada 1975, dia berkesempatan bekerja di KBRI sebagai local staff. Setelah Djoko lima tahun bekerja di KBRI, barulah izin menikah yang ditunggu-tunggu tersebut keluar. Dari pernikahan gado-gado itu, lahirlah dua anak perempuan, Dewi Rosalia Atmo Hartono dan Rena Claudia Atmo Hartono. Djoko sebenarnya sangat ingin dua buah hatinya itu menjadi warga negara Indonesia. Namun, lagi-lagi stigma dari pemerintah Orde Baru sangat tidak mengenakkan. Dia khawatir anak-anaknya mendapat kesulitan di kemudian hari. ’’Saat itu, pemerintah Rumania yang dipimpin komunis juga sangat membedakan fasilitas untuk warga negaranya dan warga asing,’’ ujarnya. Karena itu, mau tidak mau, dua anak Djoko akhirnya ikut kewarganegaraan ibunya. Selama 50 tahun tinggal di Rumania, Djoko dan keluarga baru empat kali bisa pulang ke Indonesia. Itu pun setelah rezim Orde Baru tumbang. Djoko sempat meyakinkan sang istri agar mau hidup di Indonesia. Sebenarnya Angela ingin memenuhi harapan suaminya. Namun, lagi-lagi Tuhan berencana lain. Pada 2002, anak kedua Djoko, Rena Claudia meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di Bucharest. ”Saya dan keluarga langsung tidak bernafsu lagi untuk hidup di Indonesia. Kami tak ingin meninggalkan makam Rena,” kata Djoko lirih. Meski begitu, Djoko tidak ingin sedikit pun pindah kewarganegaraan. Dia tetap mempertahankan status permanent resident di Rumania. Pada 2004, Djoko sebenarnya telah pensiun dari KBRI. Meskipun sudah bekerja selama 29 tahun, status local staff membuat Djoko tetap tak bisa mengharapkan uang pensiun selayaknya pegawai negeri. Untung, duta besar RI sampai saat ini tetap memberi dia kesempatan untuk bekerja di KBRI. Anak sulungnya, Dewi Rosalia, mengikuti jejak sang ayah, menjadi staf lokal di KBRI Bucharest. Kendati sudah pensiun, Djoko masih tetap diminta mendampingi para tamu dari Indonesia sebagai penerjemah. Hanya, tentu kerjanya tak lagi full time. ”Bahasa Rumania itu tidak mudah. Hal itu yang mungkin membuat para diplomat di sini tak banyak yang bisa. Grammar saya juga tidak perfect,” katanya. Tercatat, sejumlah tamu kenegaraan pernah dia dampingi. Sebenarnya Djoko sangat berharap bisa mendampingi Presiden Ke-5 Megawati Soekarnoputri yang pernah berkunjung ke Rumania pada April 2003. Namun sayang, keahlian Djoko waktu itu tak termanfaatkan. Meskipun sudah disiapkan oleh KBRI, presiden ternyata sudah membawa penerjemah bahasa Inggris dari Indonesia. ”Pejabat paling tinggi yang pernah saya dampingi Pak Agung (Agung Laksono, ketua DPR 2004–2009),” kenangnya. Presiden Indonesia yang pernah melakukan kunjungan kenegaraan ke Rumania hanya dua, yakni Soeharto pada September 1985 dan Megawati. Sebenarnya pemerintah Rumania pernah mengundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk berkunjung. Namun, selama dua periode pemerintahannya, SBY belum pernah memenuhi undangan ke Tanah Transylvania itu. Di lubuk hati yang paling dalam, Djoko sangat ingin kembali ke Indonesia. Dia ingin mengunjungi keluarganya yang banyak di Jawa Tengah. ”Namun, bagaimana lagi, ongkosnya mahal,” ucap dia. Sebagai gantinya, kini keluarga besarnya di Indonesia yang sering menemuinya. Namun, bukan di Rumania, melainkan Istanbul, Turki. Kerabat Djoko biasanya berhenti di Turki setelah mengikuti perjalanan umrah. Jarak Istanbul dengan Bucharestyang bisa ditempuh hanya dalam waktu satu jam dengan pesawat sering dia manfaatkan untuk melepas kangen dengan keluarga dari Indonesia. ”Tombo kangen,” ujarnya. (*/c11/ari)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: