Menonton Turnamen Tarkam di Lapangan Desa Sungai Limau, Perbatasan Indonesia-Malaysia

Menonton Turnamen Tarkam di Lapangan Desa Sungai Limau, Perbatasan Indonesia-Malaysia

  Zombie FC bak Barca, Premium FC Belang Blonteng \"15076_13008_oke-roz-boks-sebatik\"Di lapangan bola Desa Sungai Limau, Kecamatan Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, para pemuda kampungnya punya tendangan ”spektakuler”. Sekali sepak, si kulit bundar bisa langsung terbang hingga Malaysia. Kok bisa? *** PANAS masihterasa menyengat Jumat sore itu (20/3). Tapi, ratusan pemuda tetap bersemangat memenuhi pinggir-pinggir lapangan sepak bola di Desa Sungai Limau, Kecamatan Sebatik Tengah. Meski hanya seukuran sekitar tiga perempat lapangan bola standar, rumputnya menghampar hijau dan tebal. Permukaannya rata, datar, tanpa gelombang. Yang agak lain adalah posisinya. Tidak seperti lapangan bola umumnya yang membentang antara utara dan selatan. Lapangan di desa tersebut membujur antara barat dan timur. Posisi itu mungkin menyesuaikan dengan kondisi sekeliling lapangan yang penuh dengan pohon-pohon kelapa sawit. Sore itu turnamen antarkampung (tarkam) di sekitar Sebatik Tengah dibuka. Ada 14 kesebelasan yang ambil bagian. Mereka berparade di lapangan hijau untuk seremoni pembukaan turnamen. Namun, di antara 14 kesebelasan, satu tim terlihat agak berbeda dengan lainnya. Wajah dan postur para pemuda 20-an tahun itu tampak khas anak-anak negeri jiran, Malaysia. Kapten timnya sekilas seperti striker timnas Malaysia Safee Sali. Penyerangnya bergaya rambut mohawk ala gelandang AS Roma Radja Nainggolan. Mereka percaya diri sebagai kesebelasan layaknya Harimau Malaya, julukan timnas Malaysia. Mengenakan kostum oranye milik klub Catalan Barcelona, sebelas remaja itu berdiri tegak. Sedikit membusungkan dada dan mengangkat wajah dalam apitan tim-tim lain dari desa-desa se-Kecamatan Sebatik Tengah. ”Panitia memang sengaja mengundang mereka (tim dari Malaysia),” kata Camat Sebatik Tengah Harman setelah membuka invitasi yang digelar untuk kali kedua itu. Turnamen tersebut sebenarnya kompetisi tarkam biasa. Namun, keikutsertaan tim asal Malaysia yang menamakan diri Zombie FC itu menghadirkan atmosfer yang berbeda. Seolah-olah turnamen itu bertaraf internasional.Itulah turnamen tarkam yang dihadiri tim dari dua negara berbeda. Sore itu mereka bertanding melawan Premium FC, tim asli dari Desa Sungai Limau. Begitu wasit meniup peluit, pertandingan dimulai. Ratusan penonton bersorak-sorai meneriakkan dukungan bagi tim yang bertanding. Bahkan, ada yang berteriak, ”Hidup Malaysia,” untuk mendukung tim dari negara tetangga itu. Teriakan penonton di sisi selatan lapangan tersebut terdengar keras sehingga menarik perhatian ratusan penonton lain. Penonton itu mungkin tertarik dengan penampilan anak-anak Malaysia yang lebih oke. Mereka berseragam lengkap. Mengenakan apparel tandang Barca, sebutan Barcelona, dengan tulisan sponsor Qatar Airways. Sepatunya pun bermerek seperti Puma, Nike, atau Adidas. Sebaliknya, penampilan tim Premium FC terasa seperti representasi wilayah perbatasan yang minim perhatian. Beberapa pemain saja yang benar-benar mengenakan kostum tim dengan warna selaras: hijau-hijau. Lebih banyak yang gado-gado. Ada yang kaus hijau, tapi celananya biru. Ada pula yang mengenakan atasan hijau dengan bawahan hitam, putih, atau kuning. Bahkan, gelandang bertahannya yang bernama Fathan memakai seluar (celana pendek) biru melambai-lambai karena sudah kendur. Sedangkan kausnya berwarna kuning. Kaus yang mirip dengan yang dikenakan sang wasit. Jadilah kostum Premium FC belang blonteng, kata orang Jawa. Untung, tim lawan mau menerima karena merasa tetap bisa membedakan mana kawan dan lawan. Kalah di kostum, tapi Premium FC menang dalam hal dukungan suporter. Itu terbukti dari tepuk tangan di lapangan sisi utara yang riuh. Begitu bola mendekati gawang Zombie FC, para suporter pun spontan berteriak, ”Ayo... ayo... masuk.... Waduuh....” Tendangan pemain Premium FC hanya membentur mistar atas gawang. Semangat pemain dan dukungan penonton tuan rumah ternyata tidak menyurutkan perlawanan tim tamu dari Malaysia. Bahkan, satu tendangan menyilang dengan kaki kanan menghunjam deras ke gawang Premium. Skor berakhir 1-0 untuk Zombie FC. Tim Malaysia itu berangkulan di tengah lapangan. ”Kami sudah kira siapa lawan. Puas hatilah kami,” kata Zul Madjid, kapten Zombie FC, saat beristirahat di bawah pohon kelapa sawit sisi timur lapangan. Sementara itu, Fathan duduk dengan napas ngos-ngosan. ”Wajar kita kalah dengan anak-anak muda dari Malaysia itu,” kata lelaki 35 tahun tersebut. Pertandingan sebenarnya berlangsung seru. Tekling keras berkali-kali dilancarkan dalam laga yang hanya berlangsung 2 x 10 menit tersebut. Namun, tidak sampai ada baku tumbuk (perkelahian). Kedua tim berjabat tangan begitu wasit meniup peluit akhir tanda pertandingan selesai. Camat Sebatik Tengah Harman mengatakan, meski hanya turnamen antarkampung, kompetisi itu bisa menjadi simbol persahabatan antarnegara serumpun. Bisa menjadi model perbatasan yang warga negaranya saling melengkapi dalam kehidupan sehari-hari. Warga Sebatik Tengah setiap hari mengirimkan hasil pertanian seperti pisang, cokelat, dan sayur-mayur ke desa seberang yang sudah berada di wilayah Malaysia. Lalu, mereka pulang dengan membawa bahan pangan dan bahan bakar dari tetangga desa itu. Warga kedua desa di dua negara itu berkawan dalam kehidupan sosial maupun ekonomi. ”Kami orang Sebatik yang berada di perbatasan ingin memberikan contoh kepada dunia bahwa kami rukun dan damai,” kata sarjana hubungan internasional Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, itu. Pemuda desa setempat kerap mengundang remaja-remaja negara tetangga tersebut untuk berkegiatan bersama. Misalnya saat peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus. Begitu pula sebaliknya, bila para pemuda di wilayah Sebatik, Malaysia, punya gawe, pemuda-pemuda Indonesia diundang untuk berpartisipasi. Biasanya, tokoh-tokoh dari dua desa beda negara itu ikut datang sebagai bukti perhatian dan kerukunan. ”Ibaratnya, yang renggang hanya di tingkat atas,” tambah bapak tiga anak itu. Bahkan, lanjut Harman, dalam turnamen sepak bola tarkam, bukan hanya para pemain yang berasal dari dua negara. Lapangan tempat mereka bertanding sebenarnya juga berada di antara kedua negara. Di mana persisnya perbatasan lapangan bola Sungai Limau? Harman mengaku tidak tahu pasti. Hingga saat ini, yang bisa diketahui hanya koordinatnya. Petugas perbatasan dari TNI pun tidak hafal. Titik batas tersebut bisa diketahui hanya dari koordinat yang terdata di markasnya. Luas Pulau Sebatik sekitar 247,5 kilometer persegi. Bagian selatan merupakan wilayah Provinsi Kalimantan Utara, sedangkan bagian utara masuk teritori Negara Bagian Sabah, Malaysia. Kota terdekat di antara keduanya adalah Tawau, Negara Bagian Sabah. Titik di Desa Sungai Limau memang masih merupakan salah satu outstanding boundary problems (OBP), wilayah perbatasan yang belum terselesaikan. Di Kalimantan, total ada sepuluh OBP seperti yang terdapat di Sebatik Tengah itu. Lima titik di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara serta lima lainnya di Kalimantan Barat. Selain di lapangan Desa Sungai Limau, keunikan juga terjadi di rumah pasangan Mappangara, 45, dan Hasidah, 37. Rumah itu terdapat di Patok III, Desa Ajikuning. Ruang tamunya berada di wilayah Indonesia, namun dapurnya masuk teritori Malaysia. Batas wilayah itu ditandai dengan patok dan dijaga petugas keamanan setiap waktu. Desa Sungai Limau juga mempunyai lapangan bulu tangkis dan sepak takraw yang berada di wilayah perbatasan. Anak-anak desa biasa menggunakannya untuk olahraga sore. Memang ada batas seukuran patok bina marga untuk tanda daerah milik jalan (damija) di kota-kota besar. Tapi, itu bukan patok perbatasan. Menurut Harman, untuk mengatur kawasan perbatasan seperti Sungai Limau, diperlukan sentuhan khusus. Tidak bisa dengan pendekatan keamanan, tapi lebih mengutamakan pendekatan kesejahteraan. Dia yakin, jika saja fasilitas di Sebatik, Indonesia, diperbaiki, para TKI yang bekerja di Malaysia pasti pulang dengan membawa devisa. Bisa juga tenaga kerja asing atau warga Malaysia malah sering berbelanja ke Indonesia. ”Selama ini, mereka menghabiskan uangnya di Malaysia juga. Itu berarti orangnya pulang, tapi uangnya tidak pulang,” ungkap Harman, yang orang tuanya juga mantan TKI. (*/c11/ari)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: