Jokowi Tak Khawatir Penyadapan Australia

Jokowi Tak Khawatir  Penyadapan Australia

JAKARTA, BE - Isu penyadapan oleh Australia ikut menyeruak menyusul agenda pelaksanaan hukuman mati sejumlah gembong Narkoba. Berdasar bocoran dokumen rahasia dari eks kontraktor National Security Agency (NSA) Edward Joseph Snowden yang telah diangkat sejumlah media di Australia, sejumlah komunikasi pejabat di Indonesia telah tersadap. Kabar yang berkembang, komunikasi Presiden Joko Widodo ditengah proses Pilpres 2014 lalu, salah satu yang juga telah tersadap. \"Sadap\" Siapa yang sadap\" Tidak ada, saya juga tidak merasa disadap,\" tegas Presiden Jokowi sebelum bertolak ke Nangroe Aceh Darussalam, di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, kemarin (8/3). Dengan nada bercanda, presiden bahkan memelesetkan isu penyadapan oleh Australia tersebut. Yaitu, dengan menyinggung tentang kegiatan melukai batang pohon karet untuk mendapatkan bahan mentah karet. Aktivitas eksplorasi pohon karet tersebut selama ini juga dikenal dengan istilah sadap. \"Sadap menyadap di sana, di kebun karet, sadap karet, sadap pinus,\" kata Jokowi sambil tersenyum.

Isu penyadapan yang muncul beriringan dengan agenda hukuman mati terhadap para gembong narkoba yang dua diantaranya warga negara Australia itu, didapat melalui jaringan telepon selular terbesar di Indonesia, Telkomsel. Masih berdasar bocoran dokumen Snowden, penyadapan didalangi oleh badan spionase elektronik Australia, yakni Australian Signals Directorate (ASD). Mereka bekerjasama dengan Biro Keamanan dan Komunikasi Selandia Baru (GCSB). Terpisah, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan, dirinya tidak heran dengan isu penyadapan yang dilakukan intelijen Australia dan Selandia Baru. Sebab, dia pun pernah menjadi korban. \"Dulu, presiden (Susilo Bambang Yudhoyono) pun disadap, saya juga disadap Australia,\" ujarnya, merujuk laporan penyadapan Australia pada beberapa pejabat tinggi Indonesia pada 2009.

Menurut JK, penyadapan memang sudah menjadi strategi yang digunakan intelijen banyak negara untuk memata-matai negara lain. Apalagi, kian majunya teknologi informasi membuat aksi penyadapan kian sulit dicegah. \"Ini juga sulit dibuktikan, jadi susah juga kalau kita mau protes (ke Australia dan New Zealand),\" katanya.

JK menyebut, canggihya teknologi memang memungkinkan intelijen masuk ke sistem operator telekomunikasi di sebuah negara, lalu menyadapnya. Karena itu, dia meminta semua pihak untuk lebih berhati-hati. \"Kalau mau bicara rahasia, ya ketemu langsung atau pakai telepon antisadap,\" ucapnya. JK mengatakan, Presiden Jokowi maupun dirinya juga belum memberikan instruksi kepada Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mengusut dugaan penyadapan oleh Australia dan New Zealand.

\"BIN punya prosedur sendiri, kalau dari kita belum (ada instruksi),\" ujarnya. Sebelumnya, usai rapat kabinet di Kantor Presiden Kamis lalu (5/3), Kepala BIN Marciano Norman mengatakan, pihaknya memang belum melaporkan perihal dugaan penyadapan kepada Presiden Jokowi. Namun, dia mengakui jika BIN masih mendalami informasi tersebut. \"Sedang kita dalami dulu, pada saatnya akan kita laporkan,\" katanya. Khusus mengenai agenda pelaksanaa hukuman mati, polemik masih terus menyertai langkah tegas pemerintah menindak para gembong narkoba. Bukan hanya dari luar negeri, sorotan juga tetap muncul dari sejumlah pihak di dalam negeri.

Ahli hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin diantara yang kemudian menyoroti dari sisi konstitusi. Menurut dia, perdebatan eksekusi hukuman mati Indonesia-Australia bukan soal ketegasan presiden atau kedaulatan hukum semata. Dia menganggap, konstitusi yang dimiliki Indonesia sesungguhnya sudah berkomitmen untuk mencabut ruh hukuman mati. Yaitu, lewat Pasal 28 A UUD 1945. Di sana tegas disebutkan, bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Ketentuan tersebut, lanjut dia, ditegaskan kembali dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Bahwa, hak hidup adalah hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. \"Konsep UUD 1945 itu tidak hanya melindungi hak hidup warga negara Indonesia saja, namun juga melindungi warga negara asing yang tunduk pada yurisdiksi kedaulatan hukum kita,\" beber Irman. Dia memandang, frasa konstitusi yang dipakai ketika tegas menjamin hak hidup adalah \"setiap orang\". Bukan, frase \"setiap warga negara\". \"Oleh karenanya, tidak ada hambatan konstitusional bagi Presiden untuk menganulir hukuman mati baik bagi WNA, apalagi untuk WNI sendiri,\" imbuhnya. Selain itu, imbuh dia, yang juga perlu dipahami adalah paradigma konstitusional penghukuman kita bukan lagi negara menghukum karena balas dendam. Namun, negara harus mendidik pelaku kejahatan tersebut agar bisa normal kembali ke masyarakat. \"Jikalau kemudian kejahatan masih bisa berulang, negara perlu introspeksi diri pula. Karena, bisa jadi negara yang gagal fungsi,\" tandas Irman. (dyn/owi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: