Efek Permainan Politik “Demagogi“

Efek Permainan  Politik “Demagogi“

Outlook Politik Bengkulu 2014 Oleh : Azhar Marwan *) MEDIA massa telah membuka ruang bagi para pelaku/pemain politik untuk  melakukan demagogi politik yaitu meminjam suara rakyat seolah-olah suara dirinya. Seperti menyampaikan kata-kata atau pesan politik dengan slogan mengatasnamakan rakyat, bekerja atau berbuat untuk rakyat,  berpikir serta bertindak  semua untuk rakyat. Mereka tidak akan menegaskan pendapat pribadinya, tetapi pernyataannya mengalir bersama dengan pendapat khalayak pendengarnya.  Saya kembali teringat dengan apa yang dikatakan Bellenger kemudian dikutip oleh Breton tahun 2000 yang lalu dalam bukunya : La parole manipulee be“ merayu berarti mati sebagai realitas untuk menghasilkan tipu daya “. Rekayasa merupakan tindak kekerasan dan tekanan menghilangkan kebebasan dengan menggunakan stratregi mengurangi sedapat mungkin kebebasan agar pendengar atau pembaca tidak mendiskusikan atau melawan apa yang diusulkan. Keberhasilan rekayasa terletak pada upaya penyembunyian maksud sesungguhnya dan diam. Apakah kebohongan itu dalam bentuk kebohongan yang terorganisir, penghilangan kebebasan pendengar, tersedianya alat untuk mengalahkan resistensi. Maka politik seperti ini penuh dengan kemunafikan, karena para politisi cenderung bersembunyi dibalik kalimat-kalimat kabur, kata-kata yang tidak pasti, litotes yang berusaha menghindar dari tuntutan bagi penerapannya. Mereka menampilkan wajah sebanyak kategori sosialnya, mereka bisa menyesuaikan diri dalam situasi yang paling membingungkan sekalipun. Mereka bisa menampilkan banyak peran sehingga tindakannya efektif dalam situasi yang beragam, ibarat bintang film yang ingin menyenangkan penonton. Masyarakat Semakin Sadar   Penampakan wajah serta peran para pelaku politik baik menjelang pemilukada  maupun nanti saat menjelang pemilihan legislatif merupakan kebiasaan yang berulang-ulang. Sehingga masyarakat sekarang ini sudah semakin dewasa, semakin pintar dan semakin sadar, akibat kebohongan yang dijual secara berulang-ulang selama ini.  Pengalaman beberapa pemilukada di berbagai daerah yang mengalami kegagalan pasangan calon yang diusung gabungan partai besar menunjukkan kekuatan partai sudah tidak mampu lagi melawan kekuatan penolakan sosial karena masyarakat sudah  putus asa serta kehilangan harapan. Kesadaran masyarakat tumbuh akibat kekecewaan yang sudah tertanam, akibatnya memunculkan antipati dan perlawanan sosial. Banyak survei yang dilakukan meskipun hasilnya keliru meskipun mungkin ada yang mendekati kebenaran karena   survei itu hasil sebuah pesanan. Datanya menunjukkan penurunan popularitas partai besar secara drastis banyak angkanya yang signifikan, karena realitanya memang demikian. Banyak teman tukang gunting rambut yang ngobrol secara lepas, para nelayan, pedagang kecil maupun supir taxi di kota besar bahasanya hampir sama. Maka akan sangat keliru kalau partai ataupun calon masih terlalu percaya pada  tim sukses yang  mengatakan elektabilitas kita tinggi, ditengah-tengah perbincangan masyarakat yang sudah skeptis sekarang ini. Popularitas seorang Jokowi Walikota Solo yang unggul di DKI sebuah kota Metropolitan, bersaing dengan para Gubernur dan Mantan Ketua MPR adalah bukti nyata. Bahwa masyarakat tidak terlalu silau dengan kehebatan seseorang, kalau kehebatan itu datang karena jabatan yang didudukinya, tapi bukan karena hasil perbuatannya. Sebab bisa saja orang menganggap bahwa hal itu bukanlah sebuah prestasi, tetapi karena faktor nasib atau kebetulan saja dia meraih sukses,  karena ia mampu dan mau menghamburkan materi atau finansial. Mungkin banyak tokoh yang lebih mampu menduduki jabatan itu, hanya saja dia tidak mau atau tidak mampu melayani permainan “judi politik” seperti ini. Oleh karena itu, sudah seharusnya para elit baik yang sedang bertarung saat ini, maupun yang sudah berhasil meraih cita-citanya dari sebuah pertarungan politik di daerah maupun di tempat lain membuat masyarakat mulai sadar dan kini telah berubah. Masyarakat kita sudah semakin cerdas, makin pengalaman dikecewakan dan makin mampu menilai, artinya jangan dikira masyakat diam berarti telah lupa dan nanti bisa dibohongi lagi. Perubahan Isu Pemikat Pengalaman  sejak reformasi, kita sudah mengalami beberapa dekade pemilu baik legisllatif maupun kepala Daerah. Tahun 1999 bahasa yang diusung dan sangat laku dijual adalah bahasa reformis, partai menamakan diriinya partai reformis, kandidat mengatakan dirinya orang reformis dan memang mendapatkan dukungan masyarakat yang sudah anti “ status quo “. Dekade tahun 2004, situasi sudah berubah sebab ternyata yang mengaku reformis tidak menunjukkan komitmen antara ucapan dan perbuatannya, maka bahasa yang diusung adalah isu perubahan. Ternyata memang ampuh, masyarakat berduyun-duyun mengalihkan perhatian dan dukungannya kepada partai atau figur yang mengusung isu perubahan itu. Ada memang yang berhasil, tapi tidak sedikit pula yang gagal. Sehingga bahasa yang diusung dekade tahun 2009 berubah lagi yaitu isu lanjutkan dimotori oleh SBY, hal ini telah menginspirasi partai politik serta para kandidat calon kepala Daerah menjadi latah ( ikut-ikutan ). Saat ini dan tahun 2014 nanti para petualang politik mungkin sudah agak kesulitan dan bingung memutar otak mencari tema apa yang ampuh untuk memikat hati para pemilih. Kini ada yang mengusung isu bersih, isu kesejahteraan, isu kejujuran dan ketegasan, isu keagamaan dan isu pembebasan negara dari korupsi. Di tengah-tengah kondisi masyarakat yang apatis dan skeptis seperti ini, maka kekuatan isu sebagai alat untuk mengelabui pemilih sudah tidak ampuh lagi. Masyarakat sekarang sudah mulai beralih pada melihat kekuatan figur melalui rekam jejak atau perjalanan hidup seseorang, karir politik atau pemerintahan, kepribadian yang ditampilkan dan ditampakkan selama ini. Ketidakarifan partai dalam mengusung calonnya, akan bermuara pada kemerosotan atau bahkan kehancuran banyak partai yang terjun payung dari partai besar menjadi terpuruk. Kesalahan dan ketidakjelian partai memilih figur pasangan kandidat dalam pemilukada atau merekrut kader, dari pola mencari orang yang mampu beli perahu, akan membawa aib serta kehancuran partai itu sendiri. Beberapa contoh banyak partai besar dalam pilkada terkapar, calon yang memanfaatkan partai besar atau banyak partai harus gigit jari. Belajar dari pengalaman seperti ini seharusnya membuat para pelaku politik sadar, bahwa permainan politik “ Demagogi “ sudah tidak cocok dan tidak pantas lagi dilakukan. Karena masyarakat sudah semakin cerdas, disaat mereka dihadapkan pada kasus atau sebuah situasi yang sama, maka pengalaman masa lalunya yang tersimpan dalam memori bawah sadarnya akan keluar dan muncul kembali dalam bentuk penolakan dan pembangkangan politik. *) Penulis adalah Pengamat Komunikasi Politik dan Dosen Komunikasi Universitas Bengkulu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: