Dolar Tembus Rp 11.700
JAKARTA - Jurus Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga acuan BI Rate hingga level 7,50 persen, rupanya belum ampuh untuk meredam kejatuhan Rupiah. Dalam beberapa hari terakhir, Rupiah terus terdepresiasi tajam terhadap dolar AS (USD) hingga tembus ke level 11.717 per USD. Ini merupakan level terendah sejak 23 Maret 2009. Ketika itu, Rupiah ada di posisi Rp 11.760 per USD
Ekonom Senior Standard Chartered Fauzi Ichsan mengatakan, fenomena penguatan USD saat ini tidak hanya terjadi terhadap Rupiah, melainkan juga terhadap hampir semua mata uang utama dunia lainnya. \"Ini karena ekonomi Amerika memang dalam tren membaik,\" ujarnya, Kamis (21/11).
Sebagai gambaran, nilai tukar Rupiah berdasar Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) yang dirilis Bank Indonesia (BI) menunjukkan, Rupiah kemarin ditutup di posisi 11.717 per USD, melemah 86 poin dibanding penutupan sehari sebelumnya yang di posisi 11.631 per USD.
Pelemahan harian hingga 86 poin ini merupakan yang terbesar dalam periode depresiasi Rupiah dalam satu pekan ini. Dengan posisi saat ini, maka sepanjang tahun ini (year-to-date), Rupiah sudah melemah 2.032 poin atau 20,98 persen dibanding posisi awal tahun yang di level 9.685 per USD.
Di pasar spot, Rupiah juga melemah. Data kompilasi Bloomberg menunjukkan, kemarin Rupiah ditutup di posisi 11.695 per USD, melemah 35 poin atau 0,3 persen dibanding penutupan Rabu (20/11) di posisi 11.660 per USD.
Kemarin, hampir semua mata uang utama di kawasan Asia Pasifik memang melemah terhadap USD. Depresiasi terbesar dialami Ringgit Malaysia yang melemah 0,87 persen, disusul Rupee India 0,48 persen, diikuti Won Korea Selatan 0,46 persen, lalu Rupiah Indonesia 0,30 persen.
Menurut Fauzi, situasi ekonomi AS dan Eropa menjadi pemicu tren penguatan USD. Dia menyebut, ekonomi AS sedang dalam tren membaik, sedangkan Eropa masih resesi. Perbaikan kondisi AS itu pula yang mendorong Bank Sentral AS atau The Fed untuk merencanakan pengurangan atau tapering off stimulus quantitative easing pada awal tahun depan. \"Jika itu dilakukan, imbal hasil surat utang AS akan naik, sehingga dana investor akan banyak lari ke AS,\" katanya.
Fauzi menyebut, rencana tapering off pada September lalu yang akhirnya diundur, sudah menjadi gambaran betapa cepatnya aliran modal keluar dari emerging market, termasuk Indonesia, menuju AS. Akibatnya, pasar saham anjlok dan Rupiah terdepresiasi. \"Saat ini, BI memang dalam posisi sulit,\" ucapnya.
Menurut dia, BI saat ini harus bisa menakar seberapa tinggi suku bunga Rupiah yang bisa menahan investor untuk tetap menanamkan modalnya di pasar keuangan Indonesia. Apakah dengan BI Rate 7,50 persen masih belum cukup\" \"Saya khawatir belum cukup. Jadi, saya kira BI Rate bisa naik lagi 50 basis poin pada semester I 2014. Itu kalau BI ingin menjaga dana investor asing tetap di Indonesia,\" jelasnya.
Fauzi mengakui, dampak kenaikan BI Rate memang akan langsung terasa bagi sektor riil dengan melambatnya laju pertumbuhan ekonomi. Namun, lanjut dia, jika BI juga ingin mengurangi defisit transaksi berjalan dengan menurunkan impor, maka langkah melambatkan pertumbuhan ekonomi memang harus ditempuh. \"Sebab, sektor riilnya belum bagus, ekspor sulit naik sedangkan impor naik terus. Jadi BI terpaksa melakukan ini,\" ujarnya.
Sebelumnya, Ekonom Citibank Asia Pacific Helmi Arman mengatakan, kenaikan BI Rate saat ini lebih dimaksudkan untuk merespon defisit transaksi berjalan. Karena itu, meski inflasi sudah cukup landai, BI tetap menaikkan BI Rate. \"Ini karena defisit transaksi berjalan masih tinggi,\" katanya.
Menurut Helmi, tantangan inflasi dan neraca dagang pada triwulan IV ini akan lebih berat. Sebab, tren inflasi pada akhir tahun biasanya memang lebih tinggi. Selain itu, momen perayaan Natal dan akhir tahun, serta persiapan tahun baru, akan meningkatkan permintaan produk impor. \"Dengan berbagai pertimbangan itu, kami memproyeksi BI akan kembali menaikkan BI Rate 25 basis poin pada triwulan I 2014,\" ujarnya. (owi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: