Wacana Pengadilan dan MA Ambil Alih Kewenangan MK
JAKARTA - Dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) disebut kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menangani sengketa Pemilukada akan dipindahkan ke pengadilan. Untuk sengketa Pemilukada di kabupaten/kota akan ditangani di Pengadilan Tinggi. Sedangkan, sengketa Pemilukada tingkat provinsi akan diselesaikan di Mahkamah Agung (MA).
Namun, RUU ini ditentang banyak pihak. Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Juntho, sulit mempercayai pengadilan dan MA untuk penanganan Pemilukada itu. Pengadilan, kata dia, juga bukanlah lembaga yang bersih.
\"Jelas penyusun RUU ini pasti orang-orang yang antidemokrasi. Mau kembali ke zaman orde baru. Pengadilan itu dari catatan kami termasuk yang korup, selain lembaga kepolisian dan parlemen jadi kewenangan ini sebaiknya tetap di MK, \" kata Emerson dalam diskusi di Jakarta Pusat, Minggu, (13/10).
Menurut Emerson, selama ini Komisi Yudisial mendata ada sekitar 1000 lebih hakim nakal di daerah. Jika, sengketa Pemilukada jadi diserahkan ke pengadilan masing-masing, akan lebih sulit melakukan pengawasan. Sedangkan di MK, kata dia, akan lebih mudah lagi mengawasi. Apalagi, dengan kasus Akil Mochtar, semua pihak akan lebih fokus mengawasi gerak-gerik MK.
Selama institusi pengadilan umum belum steril dari korupsi ia sangsi sengketa Pemilukada bisa diselesaikan secara jujur. \"Kalau di MA sudah ada juga suap advokat-pegwai MA dan hakim Agung. Lalu bagaimana kita bisa percaya MA Sengketa Pemilukada itu bukan perkara mudah. Di MK putusan, putusan hari itu bisa kita baca langsung. Kalau di MA sengketa Pemilukada diputus bisa 2 tahun. Lambat. Sehingga ini merupakan reputasi buruk bagi MA,\" kata Emerson. Dibanding mengambil kewenangan MK, Emerson menyarankan pemerintah membentuk pengawasan khusus untuk lembaga itu. Pengawasan bukan hanya untuk hakim tapi juga seluruh karyawan MK. (flo/jpnn
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: