RI Perjuangkan Tarif Minimal CPO dan Karet

RI Perjuangkan Tarif Minimal CPO dan Karet

JAKARTA, BE - Berkali-kali pemerintah gagal memperjuangkan minyak kelapa sawit (CPO) dan karet masuk dalam daftar produk ramah lingkungan (Enviromental Good List/EG List) di Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC). Namun itu tidak membuat pemerintah menyerah. Pada KTT APEC yang diselenggarakan 5-8 Oktober di Bali, pemerintah bakal kembali memperjuangkannya. Masuknya CPO dan karet dalam EG List akan membuat tarif bea masuk komoditas tersebut menjadi lebih kecil. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan, CPO dan sawit merupakan produk berbasis agro yang ramah lingkungan. Selain Indonesia, juga ada beberapa negara yang memiliki kepentingan yang sama. Misalkan saja Tiongkok dengan bambu sebagai produk andalannya.\"Kami harap usaha kali ini berhasil. Kami targetkan produk-produk unggulan Indonesia tersebut mendapat tarif minimal,\" ucapnya. CPO dan karet merupakan komoditas andalan Indonesia. Keduanya merupakan salah satu penunjang utama ekspor Indonesia. Tahun lalu, nilai ekspor karet dan produk turunannya mencapai sekitar USD 14 juta. Sedangkan ekspor CPO sekitar USD 21 juta. Sesuai dengan kesepakatan negara-negara APEC,  jika suatu produk masuk ke EG List, maka tarif bea masuknya di bawah lima persen. Gita menambahkan, saat ini tarif bea masuk perdagangan antarnegara anggota APEC telah menurun. Sebelumnya tarif bea masuk di negara-negara APEC hingga 20 persen. Saat ini jauh di bawah 10 persen. Dia mendorong kepada eksporter baik produk agro dan industri harus meningkatkan daya saingnya untuk dapat menikmati fasilitas tersebut. \"Bukan hanya CPO dan karet. Tapi semua produk agro ataupun industri harus ditingkatkan daya saingnya agar bisa menikmati fasilitas itu. Apalagi di tengah kondisi sekarang ini,\" katanya. Anggota Komisi IV DPR Siswono Yudhohusodo menambahkan, momentum KTT APEC yang diselenggarakan di Bali merupakan waktu yang tepat untuk menekan Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa menyetujui CPO dan karet masuk ke EG List. Sebab selama ini dua negara itu yang paling santer menolak. Dua produk itu ditengarai merusak lingkungan, terutama kaitannya dengan kelestarian hutan. \"Indonesia kan menjadi tuan rumah. Jadi saya rasa ini momentum yang tepat,\" tuturnya. Dia menjelaskan, saat ini komoditas nabati dunia di dominasi oleh tiga jenis komoditas, yakni sawit, canola, dan kacang kedelai. Pasar sawit terdapat di Asia, canola di Eropa, dan mayoritas kacang kedelai terdapat di Amerika. Dari ketiga komoditas tersebut, komoditas sawit lebih kompetitif dan efisien. Amerika Serikat dan Eropa terkesan ingin melindungi produknya dengan menolak CPO. \"Ketakutan itulah yang membuat mereka untuk menahan komoditas sawit,\" ucapnya, Selain itu, dia juga mengkritisi patokan harga CPO yang mengacu pada Malaysia. Padahal jika dilihat dari volume produksi, selama lima tahun ini Indonesia merupakan produsen terbesar. Dari situ yang seharusnya menjadi patokan referensi harga CPO adalah Indonesia. Mantan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) itu menyebutkan tahun lalu produksi CPO Indonesia mencapai 25 juta ton. (jpnn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: