Rupiah Kembali Melemah, Perekonomian Rakyat Terancam
JAKARTA - Tekanan terhadap Rupiah seakan datang bergelombang. Setelah pekan lalu sempat mereda, kemarin rupiah kembali terpelanting dihajar dolar AS (USD).
Menteri Keuangan Chatib Basri mengakui, kondisi nilai tukar rupiah yang fluktuatif seperti saat ini masih akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan. \"Proses seperti ini masih akan terus berlangsung,\" ujarnya kemarin (3/9).
Setelah menguat beberapa hari, kemarin Rupiah ditutup melemah signifikan. Data nilai tukar Bank Indonesia (BI) berdasar Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) menunjukkan, Rupiah ditutup di posisi 10.983 per USD, melemah 61 poin dibanding penutupan sehari sebelumnya yang di posisi 10.922 per USD. Ini merupakan posisi terendah sejak 13 April 2009, ketika itu Rupiah ditutup di level 11.125 per USD.
Sementara itu, di pasar spot, Rupiah kembali melanjutkan pelemahan. Data kompilasi Bloomberg menunjukkan, hingga sore kemarin, Rupiah ditutup di level 11.445 per USD, melemah 0,65 persen dibanding penutupan hari sebelumnya yang di posisi 11.371 per USD. Ini merupakan pelemahan terbesar ke dua setelah Rupee India yang anjlok 2,95 persen.
Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Mirza Adityaswara mengatakan, saat ini BI dan pemerintah memang tidak bisa berbuat banyak menghadapi tekanan Rupiah. \"Sebab, permasalahan utamanya adalah defisit current account (transaksi berjalan) dan ini tidak bisa diselesaikan dalam jangka pendek,\" katanya saat fit and proper test sebagai calon deputi gubernur senior (DGS) BI di Komisi XI DPR kemarin.
Menurut mantan kepala ekonom Bank Mandiri ini, BI sudah mengambil langkah tepat dengan menaikkan BI Rate untuk merespon gejolak inflasi dan menahan capital outflow atau aliran modal keluar. \"Ini mau tidak mau memang harus dilakukan. Kalau tidak, Rupiah akan terus digoyang,\" katanya.
Mirza mengatakan, pemerintah harus mengimbangi kebijakan moneter BI dengan melakukan perbaikan struktural di perekonomian untuk mengerem defisit transaksi berjalan. \"Strateginya jelas, mengurangi impor dan menambah ekspor serta menarik lebih banyak investasi,\" ucapnya.
Meski demikian, Mirza juga melontarkan kritik pada BI dan pemerintah yang dinilainya lamban merespons gejala defisit transaksi berjalan. Padahal, gejala defisit itu sudah muncul sejak 2011. \"Harusnya moneter (BI) dan fiskal (pemerintah) sudah bereaksi sejak 2011, kalau baru 2013 bereaksi ya telat,\" ujarnya.
Sementara itu, ekonom senior Raden Pardede menilai, dalam kondisi seperti ini, BI Rate memang menjadi cara instan untuk mencegah kaburnya dana-dana asing. Tapi, mengapa setelah BI Rate dinaikkan, Rupiah tetap melemah? \"Karena kenaikannya kurang,\" katanya usai seminar ekonomi di Paramadina Public Policy Instute (PPPI) kemarin.
Menurut Raden, di pasar keuangan internasional, yield atau imbal hasil obligasi di AS diproyeksi akan naik dari level 1,7 persen ke kisaran 5 persen, atau naik 3,3 persen. Sementara BI Rate baru naik 1,25 persen dari 5,75 persen ke 7,00 persen. Sedangkan suku bunga obligasi jangka panjang di Indonesia sudah naik sekitar 3,5 persen. \"Saya kira, pasar menilai kenaikan BI Rate 1,25 persen masih kurang, mereka ingin setidaknya (naik) 3 persen,\" jelasnya.
Lalu, apa yang bisa dilakukan dalam jangka pendek untuk meredam pelemahan Rupiah? Selain BI rate, lanjut dia, BI dan pemerintah harus mengaktifkan penarikan stand by loan (pinjaman siaga) dari negara atau lembaga keuangan internasional.
Raden menyebut, bilateral swap yang dilakukan BI dengan Jepang dengan menarik dana USD 12 miliar sudah tepat, namun masih dirasa kurang. Menurut dia, Indonesia harus memanfaatkan stand by loan lainnya, baik dari Tiongkok, Chiang Mai Initiative, maupun IMF.
\"Setidaknya, Indonesia harus menarik dana USD 30 miliar untuk menambal defisit current account yang besarnya saya kira juga di kisaran USD 30 miliar,\" terangnya. (owi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: