Gabungkan Lezat dan Sehat, Banjir Order dari Brand Terkemuka
Masoca-Ball, Tim Mahasiswa IPB yang Sukses Juara Kedua Kontes Pangan Dunia
Berkat sukses meramu makanan suplemen untuk para penderita HIV/AIDS, tiga mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi juara kedua kontes pangan tingkat dunia di Chicago, Amerika Serikat. Padahal, mereka hanya mengandalkan tiga bahan yang mudah didapatkan di Indonesia, yakni jagung, kedelai, dan wortel.
ZALZILATUL HIKMIA, Jakarta
Alviane Beltia Leonita tidak bisa menyembunyikan kegembiraan di hatinya saat diminta bercerita tentang riwayat sukses tim Masoca-Ball. Tim yang dibentuk bersama teman kuliahnya di IPB, Ardiyansah Mallega dan Stella Denissa, itu memang meraih prestasi yang membanggakan, yakni menyabet posisi runner up di ajang kontes pangan dunia yang diselenggarakan oleh IFT (Institute of Food Technologists) di Chicago, Amerika Serikat, pada 15 Juli lalu.
IFT adalah organisasi yang dibentuk oleh sekumpulan ilmuwan dan profesional di bidang ilmu dan teknologi pangan dengan kantor pusat di Chicago. Hingga saat ini, keanggotaan IFT terdiri atas ilmuwan/profesional dari berbagai disiplin terkait dengan ilmu dan teknologi pangan yang berasal lebih dari 100 negara.
Sayangnya, Alviane tidak bisa mengajak dua anggota tim lain itu bergabung untuk berbagi dengan Jawa Pos. ”Ardiyansah dan Stella berada di Thailand. Mereka sedang mengikuti program pertukaran pelajar,” ujar Alviane saat ditemui di Jakarta pekan lalu.
Tahun ini kompetisi pangan yang diikuti mahasiswa jurusan pangan seluruh dunia tersebut mengambil tema Develop food products to be given as supplements to address malnourishment at HIV relief clinics across developing countries. Jadi, peserta ditantang untuk menciptakan makanan suplemen untuk membantu para penderita HIV di negara-negara berkembang.
Tema itu sangat menantang trio Alviane, Ardiyansah, dan Stella. Namun, kesulitan sudah mendera saat sampai tahap paling awal, yakni menggali ide. Selain dikejar oleh deadline pengumpulan praproposal sebagai syarat awal pendaftaran, mereka juga dituntut pandai membagi waktu untuk penelitian tugas akhir. Ya, ketiganya merupakan mahasiswa semester akhir Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
”Karena itu, pagi kita harus udah di lab (laboratorium, Red). Siang sampe jam 9 malam, kita ngerjain proposal di LSI (nama perpustakaan IPB, Red). Setiap hari begitu sampai praproposal kita selesai,” ungkap Via, sapaan akrab Alviane.
Setelah berhari-hari melakukan studi literatur dan berdebat, mereka sepakat memilih Nigeria sebagai negara sasaran untuk produk yang akan mereka ciptakan. Pemilihan tersebut berdasar jumlah penderita HIV. Nigeria juga termasuk negara nomor dua setelah Afrika Selatan di Benua Afrika yang penduduknya paling banyak terjangkit HIV/AIDS.
Mereka sengaja tidak memilih Indonesia karena hampir dari seluruh temannya yang ikut berpartisipasi dalam ajang tersebut telah memilih Indonesia. Mereka memilih celah agar produk mereka bisa dilirik oleh dewan juri. ”Bukan berarti kami gak cinta Indonesia. Produk kami kan dibuat dari tanah Indonesia. Dengan kata lain, produk kami juga dapat digunakan nantinya di Indonesia,” jelas Via.
Mereka membuat produk dengan bahan baku utama jagung (Zea mays), kedelai (Soy bean), dan wortel (Carrot) yang pada akhirnya menjadi nama tim mereka Masoca. Nama tambahan Ball dilekatkan karena makanan yang mereka olah berbentuk bulat seperti bola (ball). Tiga bahan tersebut dipilih karena memiliki kandungan protein yang cukup besar. Sehingga dapat digunakan secara cepat untuk regenerasi sel para ODHA (orang dengan HIV/ AIDS).
Hasil begadang setiap hari pun berbuah manis. Mereka berhasil lolos ke tahap selanjutnya, mengalahkan teman-teman sefakultasnya dan beberapa universitas di Asia Pasifik. Masoca-Ball berhasil masuk ke dalam tiga besar wakil Asia dan Internasional bersama salah satu tim dari IPB lain, tim Sweepo dan tim dari mahasiswa pascasarjana Universiti Putra Malaysia.
Sayangnya, menjelang pelaksanaan lomba, Ardiyansah Mallega dan Stella Denissa galau karena tidak ingin melepas kesempatan untuk mengikuti pertukaran pelajar dengan Universitas Mae Fah Luang University, Chiang Rai, Thailand. Mereka harus memulai menimba ilmu di Negeri Gajah Putih tersebut beberapa minggu sebelum keberangkatan ke Chicago. Dan, izin dari Universitas Mae Fah Luang pun belum pasti bisa dikantongi. ”Terus terang, kami juga tidak ingin rugi dua-duanya,” ujar Ardi yang dihubungi secara langsung dari Thailand. Pernyataan Ardi dibenarkan Stella.
Untungnya, mereka masih berada di Indonesia sehingga pihak kampus dapat membantu untuk memberikan arahan-arahan dalam pengambilan keputusan. Segala usaha juga dilakukan agar mereka tetap bisa mengikuti keduanya.
Dalam kekhawatiran tersebut, mereka tetap dituntut untuk menyelesaikan produk dan menyempurnakan proposal mereka. Tidak hanya baik untuk kesehatan, produknya juga harus enak di lidah. Ternyata, hal tersebut menjadi poin plus tersendiri yang mengantarkan mereka menyabet juara dua, mengalahkan wakil dari 36 negara lain.
Demi tampil baik di level internasional, selama dua bulan mereka mendapatkan pelatihan dari pihak kampus IPB. Mereka digembleng demi tampil maksimal di depan dewan juri. Hasil luar biasa pun pantas didapatkan. Bagai kejatuhan durian runtuh, izin dari Universitas Mae Fah Luang pun diperoleh nyaris bersamaan dengan semua persiapan selesai. Mereka tetap dapat belajar di Thailand dan berangkat mengharumkan nama bangsa.
Di Chicago Tim Masoca-Ball mendapat dukungan penuh pihak Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Chicago. Pihak KJRI ternyata telah menyiapkan segalanya untuk mereka. Mulai dari penginapan, transportasi, dan tidak lupa agenda untuk jalan-jalan. Pihak KJRI juga terus mendampingi saat hari kejuaraan. Setiap wakil dari Asia-Pasifik yang masuk ke dalam kategori internasional bersama dengan perwakilan Amerika melakukan kocokan untuk menentukan giliran presentasi. ”Aku yang presentasi, Ardi dan Stella yang bagian jawab pertanyaan,” ujar Via.
Presentasi dilakukan selama 20 menit, yang kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab oleh para juri. ”Deg-degannya luar biasa, antara takut gak bisa jawab sama takut gak ngerti sama pertanyaannya,” ungkap Ardi dan Stella sambil tertawa. Tidak berharap jadi salah satu juara, mereka mengaku sudah sangat bersyukur dapat melewati setiap tahap tanpa kesalahan. Setelah semua wakil melakukan presentasi di depan juri, hasilnya langsung diumumkan pada saat itu juga. Tidak diduga, mereka berhasil menyabet juara II dalam ajang tersebut. Juara I disabet tim Universiti Putra Malaysia yang membuat makanan suplemen dari bahan ikan buat penderita HIV.
Karena begitu senangnya mendapat prestasi kelas dunia, uang hasil lomba yang tidak seberapa pun tidak dipermasalahkan. Doorprize USD 1.000 (sekitar Rp 10 juta) masih belum tahu akan diapakan. ”Yang paling penting pengalaman, terus kita bisa juara dua,” ungkap Via. ”Dan kami tetap bisa belajar di Thailand,” sambung Ardi.
Saat ini banyak tawaran dari brand-brand terkemuka untuk melakukan kerja sama dalam pengembangan produk mereka. Namun, mereka lebih memilih untuk menyempurnakan produk tersebut terlebih dahulu dan berkonsentrasi menyelesaikan tugas akhir mereka. (*/c1/kim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: