Perempuan Mauritania Dipaksa Bertubuh Jumbo Agar Menarik

Perempuan Mauritania Dipaksa Bertubuh Jumbo Agar Menarik

Tenggak Pil Hormon Supaya Badan Menggelambir
\"150349_917835_wanita_gemuk\"JARGON big is beautiful atau besar itu cantik benar-benar berlaku di Mauritania. Di negara bagian Barat Afrika itu, para gadis dipaksa untuk menimbun berat badan agar terlihat menarik. Badan yang subur dianggap sebagai simbol kemakmuran di negara yang kerap kekurangan pangan tersebut. Praktik penggemukkan badan yang dimulai sejak usia 8 tahun tersebut dinamakan “gavage”. Berasal dari bahasa Perancis yang artinya pemberian makan terus-menerus dan biasanya dilakukan pada ternak angsa demi mendapatkan hati angsa (foie gras) yang berlemak. Praktik gavage semakin intensif dilakukan ketika si gadis menginjak usia remaja dan dianggap telah siap untuk menikah. Keluarga akan segera mengirim mereka ke sebuah camp penggemukkan yang terletak di area gurun. Di sana, kegiatan mereka hanya makan dengan jumlah 15 ribu kalori setiap hari. Untuk sarapan, mereka melahap remah roti yang telah drendam dalam minyak zaitun dan disajikan dengan susu unta.  Setelah sarapan, mereka masih mempunyai camilan roti, buah ara, dan terus mengonsumsi susu kambing atau susu unta. Demi meningkatkan berat badan, para gadis tidak hanya dipaksa makan. Tetapi mereka juga harus menenggak pil hormon yang kurang baik untuk kesehatan. Hormon yang berasal dari golongan burung itu membuat si gadis mendapatkan bentuk tubuh yang sangat tidak proposional. Perut membesar, paha dan lengan menggelambir serta dagu yang berlipat. Tubuh mereka terlihat membengkak. Hormon tersebut juga menimbulkan efek samping gangguan jantung serta gangguan kesuburan. Kungkungan dan paksaan makan bahkan ditengarai bisa menjurus kepada gangguan kejiwaan. Meskipun praktik gavage sangat berbahaya, para gadis-gadis Mauritania tak mampu menolak. Pasalnya, jika mereka menolak makan berlebih, orangtua mereka tak segan menyiksa dengan menjepit jari kaki mereka. Dari penelitian yang dilakukan oleh Paula Braitstein dari Indiana University dan Moi University, Amerika Serikat, sekitar 32 persen perempuan dan 29 persen pria di Mauritania menerima praktik tersebut. Braitstein mengharapkan agar praktik tersebut tidak lagi dilakukan untuk mendapatkan generasi yang lebih sehat. (dailymail/mas)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: