Negatif Campaign dalam Debat Kandidat Pilkada, Antara Regulasi dan Pengawasan
Rajman Azhar (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Bengkulu)-(ist)-
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2024 bisa dikatakan sudah selesai. Namun ada beberapa catatan yang menjadi menjadi perhatian. Salah satunya negatif campaign (kampanye negatif) yang disampaikan pasangan calon selama masa debat kandidat.
Sebenarnya debat kandidat dalam Pilkada merupakan salah satu kesempatan penting bagi pasangan calon untuk memaparkan visi, misi, dan program kerja mereka kepada publik. Namun, dalam beberapa kasus, debat tersebut malah dijadikan ajang untuk menyebarkan kampanye negatif yang merusak citra lawan politik.
Menurut Indrayanti (2018), cara-cara yang dipakai dalam negatif campaign adalah menyebarkan kejelekan atau keburukan tentang seseorang politikus, dengan cara memunculkan cerita buruk di masalalunya atau menyebarkan cerita yang berhubungan dengan kasus hukum yang sedang berlangsung.
Kampanye negatif dalam debat kandidat, yang melibatkan penyebaran serangan pribadi, fitnah, dan informasi yang tidak terverifikasi, dapat merusak integritas pemilu dan mempengaruhi keputusan pemilih secara tidak sehat.
BACA JUGA:Risiko Cyber Crime Terhadap Keterbukaan Informasi Publik
BACA JUGA:Kasus Jaksa Jovi Andrea, Permasalahan UU ITE Dalam Perspektif Regulasi Komunikasi di Indonesia
Fenomena kampanye negatif dalam debat kandidat ini menarik karena disiarkan secara live di flatform media sosial penyelenggara yaitu KPU dan media partner, kemudian menyebar di sosial media dalam potongan-potongan debat.
Fenomena Negatif Campaign dalam Debat Kandidat
Negatif campaign dalam konteks debat kandidat lebih mengarah pada penggunaan debat sebagai sarana untuk menyerang karakter pribadi lawan politik, alih-alih berfokus pada isu-isu substantif dan program kerja yang ditawarkan. Negatif campaign ini biasanya diawali dari serangan salah satu pasangan calon, kemudian dibalas oleh pasangan calon lainnya.
Selain itu, kampanye negatif yang sering kali dilakukan melalui media sosial pasca-debat memperburuk situasi. Herawati, K. M. (2024) dalam tulisannya berjudul Pengaturan Pemblokiran Konten Penyebaran Kampanye Hitam Melalui Media Sosial, menjelaskan bahwa penyebaran kampanye negatif melalui media sosial sangat cepat, dengan konten-konten yang sering kali dipotong-potong dan disalahartikan.
Misleading information ini membuat pemilih lebih sulit untuk mendapatkan informasi yang akurat, sehingga keputusan pemilih menjadi lebih dipengaruhi oleh citra negatif ketimbang kualitas kebijakan yang ditawarkan (Suriany, L. 2010).
BACA JUGA:Regulasi Komunikasi di Media Sosial dalam Upaya Penanggulangan Narkoba
BACA JUGA:Mewujudkan Siaran Televisi Bermoral dan Bermutu Selaras dengan Peraturan KPI
Regulasi Kebijakan Komunikasi yang Ada
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: