Hari Santri dan PR Santri di Era Digital
Hari Santri dan PR Santri di Era Digital-(ist)-
Perlawanan pun terjadi hingga Brigadir Jenderal Mallaby terbunuh pada 30 Oktober 1945 dan Sekutu pun marah. Sekutu mengeluarkan ultimatum agar rakyat menyerah tanpa syarat pada 10 November 1945 pukul 06.00 WIB, namun 9 November 1945 justru terjadi gerakan massa santri ke Surabaya (pasca Fatwa Jihad).
BACA JUGA:Tablet MMS untuk Pemenuhan Gizi Ibu Hamil
BACA JUGA:Jurus Jitu Pemerintah Tekan Impor Migas
Dokumen Resolusi/Fatwa Jihad dan Gedung HBNO di Surabaya yang menjadi lokasi penetapan resolusi itu menjadi bukti bahwa apresiasi negara berupa Hari Santri itu benar-benar berbasis bukti historis.
Perang digital
Kini, kaum santri yang sudah diapresiasi negara sejak 2015 itu menghadapi "perang" yang jauh berbeda dari era 1945. Dunia pesantren/masjid saat ini justru bukan lagi menghadapi "perang fisik", melainkan "perang non-fisik" alias "perang digital".
Perang digital itu justru menyodorkan dua tantangan "bermata dua" yakni digitalisasi dan radikalisasi. Digitalisasi juga ibarat "dua pisau" yakni digitalisasi "teknis" dan digitalisasi "jebakan".
Secara teknis, digitalisasi harus disikapi kaum santri dengan manajemen digital di pesantren/masjid, yakni pemanfaatan akun medsos untuk dakwah (YouTube, podcast, instagram, TikTok, AI, dan sebagainya) dan juga aksi sosial, seperti menggalang dana/zakat/sedekah dengan QRIS.
Namun, Guru Besar UINSA Surabaya Prof Nursyam menilai manfaat digitalisasi yang bisa dimaksimalkan untuk dakwah itu tetap harus diwaspadai dalam konteks ijtimaiyah/kemasyarakatan, karena pemanfaatan digitalisasi di tangan manusia yang kriminal/atheis juga bahaya.
BACA JUGA:Tablet MMS untuk Pemenuhan Gizi Ibu Hamil
BACA JUGA:Penerima Manfaat Prakerja Capai 18 Juta Orang
"Digitalisasi untuk dakwah antara lain dilakukan para pelaku podcast seperti Dedy Corbuzier, Raditya Dika, Ananda Omesh, Habib Husein Ja'far, UAS, UAH, Gus Baha', Gus Muwaffiq, Gus Iqdam, dan sebagainya," katanya dalam dialog Kemenag Jatim di Surabaya (1/10/2024).
Dalam dialog bertema "Peran Strategi Aktor Moderasi Beragama" itu, Prof Nursyam menyatakan persoalannya bukan pada teknologi-nya, namun konten dari dakwah digital-nya itu yang harus disesuaikan dengan prinsip bangsa Indonesia yang plural dan cenderung mengambil "jalan tengah" (moderat), karena Pancasila-is, bukan kapitalis-sosialis.
Digitalisasi bisa dipakai untuk pengembangan moderasi beragama seperti dilakukan para pelaku podcast seperti Dedy Corbuzier, Habib Husein Ja'far, Gus Baha', Gus Muwaffiq, Gus Iqdam, dan kaum santri milenial saat ini.
Apalagi, digitalisasi juga mengandung "jebakan" (jebakan digital), karena sistem digital bersifat anonim atau ghaib, sehingga Era Digital menjadi lebih gaduh akibat peningkatan "jebakan", seperti persebaran hoaks, peluang persebaran fitnah, radikal digital, penipuan/hack/scam, ujaran kebencian/adu domba, dan pembocoran informasi secara framing.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: