Pilkades Telan Rp244,8 M, Sehari

Pilkades Telan Rp244,8 M, Sehari

BOGOR - Fantastis. Sekitar Rp244,8 miliar habis dalam perhelatan pemilihan 202 kepala desa (Pilkades), seharian kemarin.

Dana sebesar itu antara lain, Rp7 miliar dari APBD Kabupaten untuk biaya penyelenggaraan Pilkades di 40 kecamatan. Sedangkan Rp238,8 miliar adalah estimasi dana yang digelontorkan para calon untuk memenangkan kursi kepala desa.Penelusuran Radar Bogor (Grup JPNN), sebanyak 796 calon kepala desa yang bertarung sedikitnya menghabiskan duit Rp70 juta hingga Rp400 juta untuk dana pemenangan.Bahkan, salah seorang tim sukses calon kades di wilayah timur Kabupaten Bogor mengatakan bahwa sang calon menghabiskan dana hingga Rp1 miliar. Salah satu tim sukses calon kades di desa Jogjogan, Kecamatan Cisarua, Haidar membenarkan tingginya ongkos Pilkades. Ia mengaku sang calon menghabiskan dana hingga Rp700 Juta. Dana tersebut digunakan untuk komunikasi, akomodasi dan tranportasi. Parahnya lagi, tingginya biaya \"nyalon\" di tingkat desa, sebagian besar digunakan untuk  money politics atau politik uang untuk memuluskan kemenangan. Temuan Radar Bogor, ada beberapa calon kades yang membagikan duit tunai kepada masyarakat. Kisarannya bervariatif, mulai dari Rp10 ribu sampai Rp100 ribu perorang. Seperti yang dilakukan salah satu calon di Pilkades Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin.  Warga sekitar mengaku menerima uang sebesar Rp10 ribu dari sang calon, sesaat sebelum pencoblosan. Bayangkan, data terhimpun di desa tersebut terdapat 8.258 pemilih. Jika dikalkulasikan, calon tersebut harus mengeluarkan uang Rp82.580.000. Tak mau kalah, calon lainnya di Pilkades Jogjogan, Kecamatan Cisarua disebut-sebut membagikan uang sebesar Rp35 ribu kepada 5.633 pemilih. Bisa ditaksir, calon tersebut harus merogoh isi kantongnya hingga Rp197 juta lebih.  “Saya diberi uang, katanya nanti akan ditambah setelah pemilihan,” aku Asep (18), warga Cisarua. Menurut kesaksian sejumlah warga, politik uang kebanyakan dilakukan sejak sehari sebelum pencoblosan. Salah satu tim kampanye calon melancarkan aksinya dengan membagikan duit di beberapa titik di Desa Jogjogan, Kecamatan Cisarua. Tak hanya diberi uang tunai, lanjut Asep, ia juga dijanjikan antarjemput ke TPS tanpa dipungut biaya. Tentunya hal itu sangat menguntungkan. Pasalnya, TPS di desa itu hanya ada di satu titik sehingga menyulitkan warga yang berada jauh dari tempat pemilihan. “Lumayan irit ongkos dengan diantar salah seorang calon,” tuturnya. Tak hanya di Cisarua, calon petahana di wilayah Ciawi juga masih menerapkan cara yang sama untuk menggaet hati masyarakat. Informasi yang dihimpun, anggota tim kampanye pemenangan calon kades mendatangi rumah warga dan membagikan uang sebesar Rp10 ribu. Ketua Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Kabupaten Bogor, Syafrudin Jefri mengatakan, pembagian uang yang dilakukan oleh para calon kades jelas-jelas sebuah kesalahan. Pasalnya, aura pemilu dapat memaknai pemberian tersebut menjadi suap.  “Pemberian dengan hasutan di momen Pilkades jelas salah. Sama saja dengan membeli suara,” ujarnya. Namun, kata dia, jika pemberian tersebut berdasarkan kepatutan, hal itu bisa dimaklumi.  “Jika hanya sekedar untuk merangsang masyarakat agar turut ikut dalam pesta demokrasi. Saya rasa itu wajar,” elaknya. Pada prinsipnya, lanjut Jefri, momen Pilkades bukan ajang untuk unjuk kekayaan. Menurutnya, seorang kepala desa dipilih sebagai abdi rakyat karena kepercayaan terkait integritas individu yang dianggap mampu memimpin dengan amanah. Karenanya ia menapik untuk menjadi kades haruslah bermodal besar.  “Jika besar-besaran mengeluarkan modal dalam Pilkades, pasti akan ada pertanyaan di masyarakat. Untuk apa uang sebesar itu?” tukasnya. Jefri menambahkan, menjadi seorang kades tidak akan bergelimang harta. Lantaran dana yang dikucurkan pemerintah untuk desa termasuk tunjangan kades jumlahnya bervariatif antara Rp30 juta sampai Rp60 juta pertriwulan. Dana itu juga dipotong 60 persen untuk prioritas infrastruktur. Karenanya, Jefri menunggu Rancangan Undang-Undang (RUU) perangkat desa segera disahkan. Kata dia, jika RUU desa tersebut disahkan tentunya akan semakin menunjang kemakmuran desa. Ia juga mengimbau agar para pemenang tidak lupa terhadap esensi kepeminpinan, dan yang kalah tetap harus bisa bersabar dan menerima keputusan tersebut. “Suara rakyat suara tuhan. Jadi apapun keputusan rakyat semuanya harus bisa menerima,” tandasnya. Miris. Kata itu terucap dari mulut pengamat politik Dr Sofyan Sjaf, menanggapi money politics atau politik uang menjalar hingga ke level pemilihan kepala desa (Pilkades). Ia menilai hal itu sebagai pengkerdilan demokrasi. “Pola money politics yang mengakar hingga di level desa, tak lepas dari peran elit politik yang secara tak langsung memberikan contoh perpolitikan yang tidak sehat, sehingga muncul pemikiran yang adaptif di kalangan masyarakat. Ini kemudian menjadi salah satu cara bagi para calon Kades melegalisasi money politics sebagai suatu alternatif, ” tukasnya, kemarin. Sofyan mengatakan, desa sebagai lembaga musyawarah masyarakat merupakan titik nadir dalam pembangunan suatu daerah. Sehingga dibutuhkan suatu pemahaman yang demokratif dalam pemilihan pemimpin di tingkat desa. Menggunakan pola politik uang, kata dia, para calon raja kecil itu seringkali menjual aset produktif sebagai pondasi. Nah, menjadi berbahaya, lanjutnya, karena aset yang telah dijual dianggap sebagai modal meraih jabatan. Selain ada peningkatan status sosial, kelak ada potensi penyalahgunaan wewenang agar sang kades terpilih bisa kembali modal.  “Saya namakan ini virus  demokrasi liberatif. Pangkalnya dari ketidakpercayaan diri hingga menganggap uang sebagai konsumtif utama untuk menyuap masyarakat,” cetusnya. Menurut Sofyan, virus tersebut bukan hanya telah menggerogoti elit politik, tetapi juga telah menurun dan menyebar di setiap tubuh perpolitikan negara ini. “Melalui beberapa disertasi, saya pernah menemukan kalau money politics itu telah turun hingga sampai di tingkat pemilihan RT dan RW,” paparnya. Semboyan, “ambil uangnya, coblos sesuai kata hati” merupakan tren baru dalam sistem demokrasi tanah air saat ini. “Itulah wajah demokrasi ala Indonesia.,” katanya. Demokrasi, imbuh Sofyan, mempunyai arti yang sangat beragam. Tetapi pada dasarnya mempunyai makna yaitu kesejahteraan masyarakat. “Dengan tingginya partisipasi politik masyarakat, diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Tingkat kehidupan sosial masyarakat semakin rendah, karena sistem dan pola yang tidak sehat tersebut,” pungkasnya. Dosen Ekologi Manusia IPB itu berharap besar adanya Undang-Undang perangkat desa. Tapi, kata dia, harus ada kepekaan dalam Undang-undang tersebut yang bisa menjembatani kepentingan masyarakat serta memberikan efek sosial yang tinggi akan daya serap masyarakat kelak. Sofyan khawatir, akan ada celah dalam mekanisme pilkades sehingga bisa membuat partai politik bermain. “Seharusnya elit-elit politik cukup di levelnya aja. Jangan dibawa hingga ke ranah desa. Terlihat adanya penetrasi dan polarisasi yang dibuat ke arah itu,” paparnya. Hematnya, yang muncul kini adalah pranata sosial yang telah ada digiring ke ranah yang kompleks sebagai salah  satu cara pelegalisasian mekanisme. “Kita berharap saja, demokrasi liberatif yang kita pahami akan berubah wajah menjadi demokrasi Indonesia yang tidak diskriminatif. Tetapi demokrasi yang memang riil demokrasi,” tandasnya. (cr4/cr6/abe/e)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: