Memberdayakan Kehidupan Disabilitas, dari UMKM hingga Pemahaman Budaya
Beberapa contoh produk dari program pendampingan UMKM oleh yayasan pemberdayaan disabilitas Precious One yang dijual saat acara media gathering Johnson & Johnson Indonesia, Jakarta (15/12/2022). (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)-(foto: istimewa/bengkuluekspress.disway.id)-
Pendampingan secara formal dilakukan selama dua bulan. Akan tetapi, pihaknya berkomitmen agar pendampingan tidak berhenti sampai di titik tersebut. Precious One ingin terus mendampingi penyandang disabilitas, termasuk ketika mereka menemukan kendala dalam usaha di kemudian hari.
“Kami punya komitmen begini. Setelah selesai program ini, kami tidak mau tinggalin mereka sendirian. Jadi kami ingin menemani mereka terus. Kami komitmen, mereka ada kendala apa, kami bersedia bantu. Bantuan itu tidak selalu uang, kadang kala mereka butuh tempat curhat,” ujar Ratna.
Selama program pendampingan, para penyandang disabilitas diberikan materi-materi untuk pengembangan usaha, mulai dari yang bersifat umum dan mendasar seperti cara mengelola keuangan dan cara menciptakan citra suatu produk (branding), hingga yang bersifat spesifik sesuai dengan jenis usaha.
Produk-produk UMKM yang didampingi Precious One beragam rupa, mulai dari kuliner, kriya, hingga jasa seperti jasa pijat, jasa sablon, dan toko kelontong. Jenis usaha yang paling mendominasi adalah kuliner dan kriya.
Pada jenis usaha kriya, Precious One juga berperan sebagai pendamping secara langsung karena yayasan berpengalaman di bidang tersebut. Namun untuk jenis usaha lain, Precious One turut menggandeng profesional lainnya sesuai dengan bidang masing-masing salah satunya bekerja sama dengan alumni MasterChef musim kedua Desi Trisnawati.
Untuk proses distribusi, Precious One juga tetap mendampingi dan membantu penyandang disabilitas mengingat mayoritas usaha yang dijalankan merupakan usaha rumahan dengan produksi yang dikerjakan dengan tangan sendiri. Di sisi lain, mereka juga diperbolehkan untuk menjual dan mendistribusukan produk secara mandiri, terutama melalui e-commerce agar dapat dijangkau dari berbagai daerah.
“Desember ini, orderan ke kami bisa 500 lebih, lho, (untuk produk sabun). Bayangkan, teman netra handmade produknya, tapi di akhir tahun ini kami bisa kasih orderan sama dia 500 sabun. Itu salah satu dampak, ya, ketika dia mau naik kelas, dia mau berubah,” kata dia.
Memahami kehidupan teman disabilitas
Di Precious One sendiri, selain pendampingan UMKM disabilitas, yayasan juga mengupayakan berbagai kegiatan dan program lainnya dua di antaranya seperti bertindak menjadi konsultan bagi perusahaan yang ingin merekrut karyawan disabilitas dan mengedukasi masyarakat non-disabilitas untuk bisa memahami kehidupan teman disabilitas.
Untuk memasuki gerbang pemahaman atas kehidupan disabilitas, salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu mempelajari bahasa isyarat dan mengenali budaya setiap disabilitas. Ratna sendiri mengaku dirinya pernah mempelajari bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan penyandang tuli sebelum dia secara resmi mendirikan Precious One pada 18 tahun lalu.
Pada kesempatan yang sama, aktivis tuli sekaligus tutor parakerja, Muhammad Andika Panji, mengatakan masyarakat non-disabilitas yang ingin mempelajari bahasa isyarat alangkah lebih baik dapat belajar langsung dengan komunitas tuli dan bukan dengan orang dengan pendengaran normal guna menghindari kesalahpahaman.
Oleh sebab itu, melalui acara “Year-End Media Gathering: Day of Mindfulness and Inclusivity” pada Kamis (15/12), Panji pun turut memberikan edukasi kepada peserta non-disabilitas bersama Precious One dan mendorong peserta untuk mempraktikkan dasar-dasar dalam Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo).
“Kenapa, sih, kalau belajar harus belajar sama teman-teman tuli langsung? Karena itu termasuk ke dalam budaya tuli, dan bahasa ibunya dari teman tuli,” kata Panji melalui penerjemah bahasa isyarat.
Sebagai bentuk pemahaman, disabilitas memiliki ragam mulai dari fisik, intelektual, mental, hingga sensorik. Masing-masing ragam itu pun juga terdapat variasi-variasi lain. Panji mencontohkan bahwa disabilitas tuli memiliki variasi, beberapa orang ada yang tuli total, tuli separuh, tuli yang menggunakan implan, serta tuli yang bisa berbicara secara verbal.
Khusus untuk disabilitas tuli, Panji juga mengingatkan bahwa komunitas tuli lebih nyaman ketika masyarakat umum dapat menyebut mereka sebagai ‘tuli’ alih-alih ‘tuna rungu’. Dia menjelaskan bahwa kata ‘tuli’ menunjukkan identitas dan budaya bagi komunitas, sementara kata ‘tuna rungu’ merupakan istilah dari perspektif medis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: