Kewenangan Penyadapan Kejaksaan Ditinjau Dari KPK
Penulis : Dr. Adi Purnama, SH.,MH Bengkulu, bengkuluekspress.com - Penanganan perkara tindak pidana korupsi dalam penerapan hukum formil nya yaitu Hukum Acara Pidana mengacu pada hukum umum lex generali yaitu UU No 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana. Tetapi apabila diatur lain dalam hukum khusus lex specialist yaitu UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan UU No 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, maka undang-undang yang lex specialist yang digunakan. Mengenai kewenangan penyidikan kejaksaan tercantum dalam pasal 30 Ayat (1) huruf d UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan sebagaimana telah diubah dengan UU No 11 Tahun 2021 yang berbunyi “di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”. Dalam penjelasan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan terdapat 3 (tiga) kewenangan yang dimkasud dalam penyidikan yaitu : 1. Kewenangan kewenangan yang diatur UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM); 2. Kewenangan yang diatur dalam UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo: 3. Kewenangan yang diatur dalam UU No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Selain dari itu dalam pasal 1 angka 1 UU No 11 tahun 2021 tentang perubahan UU No 16 tahun 2004 tentang kejaksaan yang berbunyi “Kejaksaan RI adalah Lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-undang”. Kewenangan lain yang dimaksud adalah seperti kewenangan 1. Kejaksaan melakukan penyidikan dalam perkara tindak pidana kehutanan yang diatur dalam pasal 39 huruf b UU No 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. 2. Kejaksaan melakukan penyidikan dalam perkara Tindak Pidana Pencucian Uang yang diatur dalam Pasal 74 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 3. Serta kewenangan lainnya yang tersebar di berbagai peraturan perundangan terutama kewenangan diluar fungsi terkait penyidikan. Oleh karena dalam penjelasan pasal 30 ayat (1) huruf d UU No 16 tahun 2004 tentang kejaksaan salah satu kewenangan kejaksaan adalah melakukan penyidikan sebagaimana kewenangan yang salah satunya diatur dalam UU No 30 Tahun 2002 Tentang KPK, maka seharusnya mutatis mutandis kewenangan Kejaksaan sama dengan kewenangan yang dimiliki KPK dalam melakukan tindakan law enforcement penanganan perkara tindak pidana korupsi, terutama harus equal dalam hal tindakan hukum melakukan penyadapan. Dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan UU No 19 Tahun 2019, KPK mendapatkan kewenangan privilege dalam melakukan suatu rangkaian proses hukum perkara tindak pidana korupsi yaitu melakukan penyadapan yang dilakukan oleh KPK tanpa harus meminta ijin kepada Pengadilan Negeri dan penyadapan yang dilakukan KPK dapat dimulai pada saat proses penyelidikan walaupun hal tersebut secara jelas dan eksplisit tidak ada aturan yang mengaturnya hal tersebut dapat dilihat dari beberapa aturan yaitu dalam pasal 12 ayat (1) huruf a UU No 30 tahun 2002 berbunyi “dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”. Kemudian terhadap pasal 12 UU No 30 tahun 2002 tersebut terdapat perubahan di UU No 19 Tahun 2019 pasal 12 ayat (1) berbunyi “dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf e, KPK berwenang melakukan penyadapan, selanjutnya berdasarkan pasal 12 B ayat (1)-(4) penyadapan yang dilakukan oleh KPK harus mendapatkan ijin dari Dewan Pengawas (Dewas), tetapi ijin dari Dewas tersebut sebagaimana dalam pasal 12 B ayat(1)-(4) UU No 19 Tahun 2019 telah digugurkan oleh putusan MK No 70/PUU-XVII/2019 yang pada intinya KPK tidak perlu ijin Dewas dalam melakukan penyadapan dengan dalil bahwa Dewas bukanlah bagian dari aparat penegak hukum. Apabila dilihat payung hukum yang terkait kewenangan KPK dalam melakukan tindakan penyadapan yang tidak memerlukan ijin dari Pengadilan Negeri, tentunya tidak ada aturan yang menjelaskan hal tersebut dan apabila kita menelisik mengenai peraturan perundangan yang mengatur terkait penyadapan yaitu, 1. UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE yaitu pasal 31 ayat (3) berbunyi “Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakkan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang”. 2. UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yaitu pasal 42 ayat (2) berbunyi “untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan/atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas : a. permintaan tertulis Jaksa Agung atau Kapolri untuk tindak pidana tertentu, b. permintaan Penyidik untuk tundak pidana tertentu sesuai UU yang berlaku. 3. Peraturan Menteri Kominfo No 11 Tahun 2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Sedangkan dalam KUHAP sendiri mengenai penyadapan baru akan diatur dalam RUU KUHAP hal tersebut dapat dilihat dari pasal 83 ayat (3) yang secara eksplisi dan tegas berbunyi penyadapan yang dilakukan penyidik atas perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapat ijin dari hakim pemeriksa pendahulu. Satu satunya undang-undang secara eksplisit dan tegas menyatakan bahwa penyadapan dapat dilakukan setelah ada ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat yaitu UU No 5 tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Sedangkan dalam pasal 30 C huruf i UU No 11 tahun 2021 tentang perubahan UU No 16 tahun 2004 tentang kejaksaan berbunyi “selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 30, pasal 30A dan pasal 30B kejaksaan melakukan penyadapan berdasarkan UU khusus yang mengatur mengenai penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana”. Dalam frasa kata “berdasarkan UU khusus yang mengatur mengenai penyadapan”, yaitu kejaksaan dalam melakukan tindakan penyadapan harus merujuk kepada UU yang terkait mengatur penyadapan seperti yang telah diterangkan diatas yaitu UU ITE, UU Telekomunikasi dan Peraturan Menteri Kominfo. Dalam UU tersebut tidak dijelaskan bahwa apabila penegak hukum hendak melakukan penyadapan harus mengajukan ijin kepada ketua Pengadilan Negeri setempat, sehingga seharusnya Kejaksaan mempunyai kewenangan yang sama dengan KPK dalam tindakan penyadapan karena sama sama secara lex specialist diatur dalam UU masing-masing dari penegak hukum tersebut dan sama-sama mempunyai kewenangan dalam memberantas tindak pidana korupsi. Sebagaimana kewenangan KPK dalam pasal 40 ayat (1)-(4) UU No 19 Tahun 2019 yang membolehkan penghentian penyidikan dan penuntutan, yang mana kewenangan tersebut Kembali kepada KUHAP dan disamakan dengan kewenangan Penegak hukum lainnya, sehingga seharusnya penyadapan yang merupakan bagian dari proses beracara pidana yang dilakukan KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dalam memberantas tindak pidana korupsi harus disamakan kewenangan dalam prosedur penyadapannya seperti penyadapan tanpa melalui ijin ketua Pengadilan Negeri setempat dan penyadapan dapat dilakukan pada tahap penyelidikan, apalagi secara tegas dan jelas dalam penjelasan pasal 30 ayat (1) huruf d UU No 16 Tahun 2004 salah satu berbunyi kewenangan penyidikan Kejaksaan merujuk pada Kewenangan yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). (TRI).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: