Industri Lokal Mati Kena Serbuan Celana Dalam Hingga Batik Impor
Produk pakaian impor asal Korea, China dan India menjamur di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Salah seorang pedagang pakaian yang menempati areal Blok B, James mengungkapkan produk tekstil impor sudah merajalela pasar grosir terbesar se-Asia Tenggara tersebut. \"Pakaian impor asal China, Korea dan India sudah banyak masuk. Nggak tahu bagaimana nasib produk pakaian lokal ini,\" ujar James, Rabu (20/2/2013). James menuturkan dari pakaian dalam hingga baju gamis semuanya sudah dirembesi produk impor dari negara-negara tersebut. Ia juga mengatakan hal ini sesuatu yang wajar karena konsumen yang datang di Pasar Tanah Abang cukup banyak. \"Wajar yang beli banyak. Dari mulai pakaian dalam, celana levis, pakaian olahraga, kemeja sampai baju gamis pun sudah dimasuki produk impor,\" ujarnya. Kemudian mengenai harga, James mengakui bahwa produk pakaian asal China adalah produk murah meriah dengan kualitas yang tidak kalah dengan produk lokal. Khusus produk Korea dan India, produk tersebut mempunyai pasar sendiri. \"Produk China itu menyerang produk lokal karena pasti yang menjadi pembanding produk lokal ya dari China. Contoh dilihat dari harga, produk China dan lokal itu kompetitif ada perbandingan harga Rp 20-30 ribu/potong. Kalau Korea dan India mereka punya konsumen sendiri-sendiri,\" jelasnya. Ketua Komite Pedagang Grosir Tekstil Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Heris menyatakan banyak produsen pakaian jadi yang terpaksa gulung tikar karena banyaknya pakaian jadi impor yang masuk ke dalam negeri. \"Sudah banyak yang mati, baju anak-anak yang dibanjiri China dan Korea sudah mati 75%, celana jeans sudah mati 90% yang lokal, pakaian dalam 95% yang mati, sprei dari China buat 90% mati, kalau yang dari India itu buat mati produsen koko lokal, batik dari China, Korea, India, Vietnam, Thailand ada tapi kalah kualitasnya sama yang lokal,\" ujar Heris, Rabu (20/2/2013). Menurut Heris, kalah bersaingnya produk pakaian jadi lokal dengan produk impor terletak pada desain dan aksesoris. Para produsen lokal dinilai kurang kreatif karena keterbatasan bahan baku yang dimilikinya. \"Produk impor ini menang didesain dan aksesoris, untuk pakaian dalam saja, produk impor bisa memiliki 200 warna. Pengusaha kita kurang kreatif padahal dibanjiri pakaian dalam,\" jelasnya. Heris menambahkan kondisi barang impor saat ini lebih parah jika dibandingkan dengan tahun lalu. Kini, para produsen pakaian jadi yang gulung tikar itu hanya bisa menjadi pedagang pakaian. \"Lebih parah sekarang, setiap tahun ada penurunan produksi, orang jualan banyak tapi yang dijual barang impor, ya yang menjual itu para produsen ini, mereka jadi penjual saja,\" katanya. Heris menyatakan impor tekstil tidak jadi masalah selagi yang diimpor merupakan bahan baku industri pakaian jadi sehingga bisa menjadi pendukung industri lokal. Menurutnya kenyataan ini jika dibiarkan produk jadi ini masuk maka akan merugikan industri dalam negeri. \"Kalau bahan baku, tidak ada masalah karena jadi bahan pendukung,\" ujarnya. Untuk itu, lanjut Heris, pihaknya meminta pemerintah untuk memberikan perhatian terhadap masalah ini. Caranya, dengan kebijakan pembatasan impor pakaian jadi dengan hanya menyediakan satu pintu masuk untuk pakaian jadi dan dua pintu masuk untuk impor bahan tekstil di pelabuhan atau bandara. \"Kita minta pintu masuknya dibatasi. Untuk pakaian jadi di Tanjung Priok, kalau tekstil bisa di Semarang sama Tanjung Priok. Ini demi industri garmen dan UKM. Kita sudah sampaikan ke Kemendag (kementerian perdagangan) tapi tidak ada respons,\" keluhnya. Selain itu, Heris mengharapkan agar tidak ada permainan antara importir dengan aparat Ditjen Bea Cukai yang dinilai selama ini membiarkan pakaian jadi impor ini \'membanjiri\' pasar Indonesia. \"Jadi izinnya bawa tekstil, tapi ternyata cuma berapa bahan tekstilnya selebihnya banyak bawa pakaian jadi,\" pungkasnya.(**)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: