FATMAWATI

Oleh: Zacky Antony
Tangis Guntur pecah saat perdebatan itu berlangsung. Fatmawati bangun lalu membujuknya. Pertengkaran antara Bung Karno dengan rombongan pemuda begitu sengit. Tangis Guntur tidak membuat perdebatan reda. Kaum muda mendesak Bung Karno segera bertindak mengumumkan kemerdekaan. Tapi Bung Karno dan Hatta menolak.
“Jepang memperhitungkan kemerdekaan bisa berlangssung pada bulan September, tetapi mereka tidak akan dapat bertahan begitu lama. Mereka telah kalah,”_ kata BM Diah, wartawan muda yang di kemudian hari mendirikan *Koran “Merdeka”. “Kita harus memproklamirkan kemerdekaan sebelum mereka menyerah, atau kita tidak akan pernah memperolehnya, karena sekutu tentu memberi kesempatan lagi kepada Belanda di mana-mana.”
Malam itu udara sangat panas. Bung Karno gerah. Membuka baju. Dia duduk hanya mengenakan kaos oblong. “Semua yang kau sampaikan aku sudah tahu. Tetapi kita sudah hampir mencapai tujuan. Bersabarlah. Beri kepercayaan. Aku tidak mau bila kemerdekaan yang kuperjuangkan sepanjang hidupku, diberikan sebagai hadiah kepada ku seperti sedekah kepada pengemis. Kemerdekaan haruslah merupakan buah dari usaha kita sendiri,” kata Bung Karno. Perdebatan menajam setelah Jepang menyerah kepada sekutu.
Malam itu jarum jam menunjukkan sekitar pukul setengah sepuluh. 15 Agustus 1945. Bung Karno sedang berdiskusi dengan Sayuti Melik dan istrinya SK Trimurti saat serombongan pemuda menemuinya di beranda rumah. \"Sekarang Bung. Sekarang. Malam ini. Mari kita kobarkan revolusi yang hebat malam ini juga,” kata Khairul saleh.
“Kita harus merebut kekuasaan karena Jepang tidak bisa mengambil keputusan dalam menghadapi kita,” timpal Sukarni.
Fatmawati menyaksikan perdebatan panas suaminya dengan para pemuda itu dari balik pintu. Fatma dicekam ketakutan. Karena para pemuda yang datang membawa bedil, pisau bahkan golok.
\"Aku terlibat dalam soal perjuangan kemerdekaan ini lebih lama daripada kalian, jadi jangan kalian mengira bisa menekankan,” terdengar suara Bung Karno.
Salah seorang pemuda mulai mengejek Bung Karno. “Boleh jadi Bung Besar kita takut. Boleh jadi dia melihat hantu dalam gelap. Boleh jadi dia tetap menunggu perintah Tenno Heika.”
Wikana ikut-ikutan mengolok dan menggertak. “Kami tidak mengancammu Bung,” katanya dengan pisau terhunus. “Tapi Revolusi sekarang ada di tangan kami dan Bung di bawah kekuasaan kami. Kalau Bung tidak memulai Revolusi malam ini, lalu ….”
“Lalu apa? Teriak Bung Karno sambil melompat dari kursi dalam keadaan sangat marah. “Jangan coba-coba mengancamku. Jangan kalian berani memerintahku. Justru kalian harus mengerjakan apa yang aku inginkan. Aku tak akan pernah mau dipaksa menuruti kemauan kalian,” teriak Bung Karno.
Di hadapan para pemuda, Bung Karno menekukkan kepala ke bawah. Dia menjulurkan lehernya dan membuat gerakan agar lehernya dipotong. “Ini leherku. Boleh potong. Hayo, boleh penggal kepalaku…kalian bisa membunuhku…tapi aku tidak pernah mau mengambil risiko untuk melakukan pertumpahan darah yang sia-sia.” Semua terdiam. Hening dan mencekam. Fatmawati menyaksikan semua itu.
“Yang paling penting di dalam suatu peperangan dan revolusi adalah waktu yang tepat. Di Saigon aku sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17,” Bung Karno memulai lagi percakapan setelah kembali ke kursi. “Mengapa tanggal 17, tidak lebih baik sekarang saja atau tanggal 16,” celetuk Sukarni.
\"…..Aku merasakan di dalam relung hatiku bahwa dua hari lagi adalah saat yang baik. Tujuh belas adalah angka yang suci. Tujuh belas adalah angka keramat. Pertama-tama, kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita berpuasa sampai lebaran…,” terang Bung Karno.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: