PNS Korup Rugikan Bengkulu
31 Desember Wajib Dipecat
BENGKULU, Bengkulu Ekspress -Pegawai Negeri Sipil (PNS) terlibat kasus korupsi sampai saat ini sudah mencapai 43 orang yang telah mendapatkan putusan hukum tetap atau inkrah. Sedangkan sebanyak 89 orang PNS belum mendapatkan putusan inkrah.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri, Bahtiar menegaskan, Kemendagri tetap akan konsisten dengan 3 SKB yang telah ditandatangai. Hal itu dilakukan, untuk memberikan efek jera, agar PNS masih bekerja saat ini tidak ikut ke lubang yang sama. \"Ya kita tetap konsisten dengan SKB 3 menteri. Karena itu sudah diatur dalam UU,\" ujar Bahtiar.
Dalam pelaksananya, SKB 3 menteri itu telah memberikan deadline hingga 31 Desember PNS yang telah mendapatkan putusan inkrah wajib dipecat. \"Di daerah juga harus tetap ikuti aturan itu,\" tuturnya.
Jika tidak, maka dalam SKB 3 menteri itu akan diterapkan sanksi berupa administrasi. Untuk itu, kemendagri meminta pemda bisa tetap menjalankan keputusan tersebut. \"Sanksi memang telah diatur, maka harus tetap diikuti,\" tegas Bahtiar.
Pakar Hukum Tata Negara UNIB, Prof Dr Juanda SH MH menilai, banyaknya oknum PNS yang melakukan tindakan korupsi itu sangat merugikan Bengkulu. Karena dampaknya, pembangunan menjadi lamban dan garis kemiskinan terus menghantui Provinsi Bengkulu yang saat ini masih mendapatkan urutan terbelakang dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia.
\"Bukan hanya di Bengkulu, di daerah lain indikasinya juga banyak pejabat yang korupsi. Ini jelas merugikan untuk daerah,\" ujar Juanda kepada Bengkulu Ekspress, kemarin (4/10).
Menurut Juanda, langkah Plt Gubernur Bengkulu Dr H Rohidin Mersyah MMA yang saat ini memperjuangkan PNS eks napi korupsi tidak dipecat sesuai dengan surat keputusan bersama (SKB) 3 menteri itu wajar. Langkah itu dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak PNS-nya. Namun disatu sisi, hal itu justru bertentangan apa yang menjadi kesepakatan 3 meteri, sebagai tidaklanjut program pemerintah Jokowi birokrasi bersih.
\"Ya wajar untuk memperjuangkan stafnya. Tapi tetap akan bertentangan dengan SKB tiga menteri dan secara sosial, masyarakat akan menilai gubernur tidak pro dengan upaya membersihkan korupsi. ,\" ungkapnya.
Upaya lain yang bisa dilakukan tentu PNS eks napi korupsi itu bisa melakukan gugatan atau judicial review melalui Makamah Konsititusi, Makamah Agung maupun PTUN. Jika beberapa upaya tidak bisa dilakukan, maka Plt Gubernur sebagai kepala daerah harus tetap mematuhi apa yang menjadi keputusan SKB 3 meteri itu. \"Kalau sudah banyak usaha dilakukan tidak juga bisa, ya tetap harus ikuti apa yang menjadi keputusan pemerintah pusat,\" tambah Juanda.
Karena jika tidak dijalankan, maka dalam SKB itu akan memberikan sanksi untuk kepada daerah. Baik itu gubernur, bupati maupun walikota. Juanda mengatakan, sanksinya memang dalam bentuk administrasi. Jika sanksi itu akan berdampak kepada masyarakat Bengkulu, maka Plt Gubernur mempertimbangkan untuk memperjuangkan PNS eks napi korupsi. \"Kalau sanksinya itu sampai ada anggaran yang harus dipotong ataupun hal lain, maka itu bisa merugikan,\" terangnya.
Sementara itu, Plt Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah mengatakan langkah yang ia lakukan itu bukan untuk melindungi PNS yang telah menjadi eks napi korupsi. Namun untuk memberikan perlindungan hak-hak dan rasa keadilan bagi PNS eks napi korupsi itu. \"Bukan berikan perlindungan. Tapi ada hak yang harus diperhatikan, agar bisa dirasakan adil,\" jelas Rohidin.
Menurutnya, PNS eks napi yang terlibat korupsi itu, rata-rata bukan sebagai pelaku utama. Namun sebagai korban dari tugas dan tanggungjawab sebagai PNS. Atas banyaknya temuan dari BPK yang tidak dikembalikan oleh pihak ketiga. \"Kita sudah berikan ruang dan berkoordinasi dengan Korpri Pusat agar PNS tersebut bisa melakukan judicial review terhadap UU itu,\" tuturnya.
Karena menurut Rohidin, dalam aturan SKB 3 menteri, bisa dilakukan pemecatan kepada PNS eks napi korupsi yang telah menjadi pelaku utamn, bukan yang subsider. Untuk itu, perlu dilakukan pertimbangan, sebagai keputusan itu benar-benar diterapkan oleh pemerintah pusat. \"Jadi tetap perlu dilakukan pembahasan lebih komprehensif sebelum menerapkan keputusan itu,\" tandas Rohidin. (151)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: