Gelombang Tsunami Capai 2 Meter

Gelombang Tsunami Capai 2 Meter

\"gempaTerjang Kawasan Dongala dan Palu

JAKARTA, Bengkulu Ekspress - Gempa bumi dengan kekuatan 7,7 skala Richter (SR) terjadi di Donggala dan Palu di Sulawesi Tengah serta Mamuju, Sulawesi Barat. Akibat gempa tersebut, tsunami sempat terjadi.

Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono membenarkan tsunami sempat terjadi di Palu. Pihaknya tak bisa memastikan berapa ketinggian gelombang tsunami. Namun, dia memperkirakan gelombang tsunami tersebut berkisar 1,5 meter sampai 2 meter.

\"Ini tsunami sudah terjadi, BMKG bilang sudah berakhir, artinya tsunami sudah enggak ada lagi, daerah pantai Palu sudah aman, tsunami sudah terjadi beberapa waktu lalu, kemungkinan 1,5 meter sampai 2 meter,\" kata kepada wartawan tadi malam Jumat (28/9/2018).

Dia memastikan saat ini sudah sudah tak terjadi. Sebab, tsunami terjadi beberapa saat setelah gempa 7,4 SR terjadi. Karenanya, masyarakat bisa kembali ke rumah masing-masing.

\"Tsunami terjadi saat terjadi gempa, waktu tempuh (tsunami) hanya beberapa KM dan waktu tiba kurang dari 30 menit, artinya lebih dari itu tsunami sudah sampai. Itu (tsunami) sudah terjadi menghantam di Kota Palu, dan air sudah kembali ke laut, artinya masyarakat bisa kembali ke rumah-rumah lagi karena tsunami sudah enggak terjadi,\" katanya.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menerangkan gempa menyebabkan korban jiwa dan sejumlah orang luka-luka.

\"Tercatat satu orang meninggal dunia, sepuluh orang luka-luka, dan puluhan rumah rusak. Korban (luka dan meninggal) tertimpa oleh bangunan yang roboh,\" ujar Sutopo melalui keterangan tertulisnya, Jumat (28/9/2018).

Lanjut dia menyampaikan, BMKG telah memutakhirkan kekuatan gempa yang semula magnitudo 5,9 menjadi magnitudo 6 dengan pusat gempa dua kilometer arah utara Kota Donggala pada kedalaman 10 kilometer pada Jumat, 28 September 2018, pukul 14.00 WIB.

“Untuk sumber gempa berasal dari sesar Palu Koro. Dari analisis peta guncangan gempa bumi ini dilaporkan dirasakan di daerah Donggala IV MMI, Palu III MMI, Poso II MMI),” sambung dia.

Sementara itu, posko BNPB telah mengkonfirmasi ke BPBD Kabupaten Donggala terkait dampak gempa. Gempa dirasakan di wilayah Kabupaten Donggala, Kota Palu dan Parigi Moutong.

Secara umum gempa dirasakan berintensitas sedang selama dua hingga sepuluh detik. Gempa dirasakan beberapa kali karena adanya gempa susulan.

Gempa yang mengguncang Sulawesi Tengah pada Jumat sore diperkirakan adalah kepanjangan dari siklus gempa yang terjadi puluhan tahun lalu di jalur sesar Palu Koro.

Kepala Bidang Informasi GempaBumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono mengungkapkan bahwa Gempa besar terakhir terjadi pada tahun 1909. ”Pada saat itu Magnitudo gempa tercatat 7 Skala Richter,” kata Daryono kemarin (28/7/2018).

Daryono menjelaskan, jika dilihat dari episenter, gempa tersebut tidak terjadi di jalur utama sesar Palu Koro. Namun Daryono menyebut pergerakan gempanya bergesekan mendatar ke arah kiri, atau sinistral strike-slip. Sehingga hampir bisa dipastikan bahwa gempa kemarin adalah bagian dari pergerakan sesar Palu Karo.

Berdasarkan tinjauan Paleoseimologi, kata Daryono,  gempa kemarin kemungkinan besar merupakan percabangan dari gempa besar yang terjadi sebelumnya. ”Selain itu, melihat ukuran sesarnya yang tidak terlalu besar maka boleh dibilang sebagai kemenerusan (splay) dari zona Sesar Palu Koro,” jelasnya.

Daryono memastikan, bahwa gempa ini tidak ada kaitan dengan gempa-gempa sebelumnya termasuk aktivitas sesar naik flores. Wilayah sepanjang Palu Koro memang terkenal sering terjadi gempa. Namun dengan magnitude yang relatif kecil.

Kota-kota di indonesia perlu segera menyusun rencana tata ruang berbasis penanggulangan bencana. Utamanya bencana geologis seperti Gempa Bumi dan Tsunami.

Ada beberapa infrastruktur yang wajib dimiliki oleh kota ataupun pemukiman yang siap menghadapi bencana. Sekretaris Ditjen (Sesditjen) Cipta Karya Kementerian PUPR Rina Agustin menyebut prinsip pertama adalah bangunan-bangunan di kota tersebut semua dibangun dengan struktur tahan gempa.

Kemudian, ada dukungan infrastruktur untuk antisipasi kebencanaan. Misalnya di pantai, ada tempat penyelamatan dan evakuasi sementara. Kemudian sebuah kota harus memiliki shelter-shelter yang sudah disiapkan sebelumnya.

“Jadi ketika terjadi bencana, kita sudah langsung punya tempat pengungsian yang ada airnya, ada listriknya, dan ada WC nya,” kata Rina kemarin (27/9/2018).

Sistem distribusi aliran listrik dan air juga harus diperhatikan. Saat terjadi gempa NTB, seluruh salurah listrik padam, jaringan distribusi air pun lumpuh. Di luar negeri, kata Rina, selalu dibangun 2 macam jaringan air bersih. Satu utama, satu cadangan. “Saat kondisi bencana yang utama rusak, yang satunya tetap berfungsi,” jelasnya.

Hal-hal semacam ini kata Rina harus sudah masuk dalam perencanaan tata ruang kota maupun wilayah. Namun kebijakan anggaran yang ada saat ini agak menyulitkan. PUPR baru bisa membangun infrastruktur yang bisa langsung segera digunakan.  Bukan yang “sewaktu-waktu” siap digunakan. “Kalau dibangun terus nggak kepake kan kesannya gimana, padahal bencana bisa terjadi kapan saja,” jelasnya.

Untuk itu, kata Rina sedang disiapkan pembahasan payung hukum aturan yang membolehkan pembangunan infrastruktur semacam ini. “Ada arah kesitu,” kata Rina.(tau/jpg/**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: