Makam Anaknya Hilang Tanpa Jejak (Jejak Thomas Stamford Bringley Raffles Bagian 3)

Senin 18-07-2016,15:50 WIB
Reporter : Rajman Azhar
Editor : Rajman Azhar

Empat Anaknya Meninggal  Diserang Malaria Raffles dan istri keduanya, Sophia Hull, beserta kelima anak mereka mengalami dera kehidupan yang suram di Bengkulu. Buruknya sanitasi menyebabkan anak-anak yang malang itu berusia tak lebih dari empat tahun. Anaknya yang pertama, Charlotte lahir 15 Februari di Lautan Selatan saat perjalanan dari Inggris ke Bengkulu dan wafat 14 Januari 1822, penyebabnya dikarenakan tertular penyakit dari adiknya 10 hari sebelumnya. Anak keduanya, Leopold Stamford lahir di Penang, 12 Maret 1819 dan wafat di Bengkulu 4 Juli 1821, tewaskarena wabah kolera. Beberapa bulan kemudian disusul anak ketiga mereka Stamford Marsden lahir di Bengkulu, 25 Mei 1820 dan wafat di tempat kelahirannya pada 3 Januari 1822, tewas karena radang usus. Sebelas hari kemudian anak pertama mereka tewas karena penyakit yang sama, Charlotte. \"Sedikit kisah tentang Charlotte,\" tutur Almidiando kembali bercerita sembari membuka lembaran buku miliknya. Tampaknya karena gadis ini lahir di kapal saat pelayaran dari Inggris ke Bengkulu. Gadis ini cukup cerdas, pada usia tiga tahun sudah lancar berbicara dalam bahasa Melayu, bahasa India, dan tentu saja bahasa Inggris. Sekitar sepuluh bulan kemudian anak kelima Flora Nightingall (Bengkulu, 19 September 1823 – Bengkulu 28 November 1823) turut mengikuti jejak kakak-kakaknya. Hanya anak keempat Ella Sophia lahir di Bengkulu, 27 Mei 1821 yang berhasil melewati saat-saat genting dalam hidupnya. Dia turut pindah ke Singapura bersama kedua orang tuanya setelah Traktat Inggris-Belanda pada 1824, namun sayangnya sebelum memilki keturunan dengan suami tercintanya John Sumner di Inggris, 5 Mei 1840. Empat buah hati Raffles dan Sophia dikuburkan di Kompleks Permakaman Inggris. Lokasinya tak sampai satu kilometer di timur Benteng Marlborough, Jalan Veteran, Jitra, Bengkulu. Warga Inggris yang meninggal di Bengkulu selama periode kolonial tercatat sebanyak 709 orang. Namun, hanya 53 batu nisan yang ditemukan sampai hari ini. Nisan tertua berasal dari tahun 1775 atas nama Stokeham Donston Esquire, dan yang termuda berasal dari tahun 1858, Miss Frances Maclane. Puluhan makam terhampar begitu saja tanpa ada susunan yang berarti seperti layaknya pemakaman saat ini. Tidak banyak batu nisan yang kondisi fisiknya masih utuh, berdasarkan beberapa sumber, bagi orang Inggris ukuran nisan pada waktu itu memiliki kriteria. Semakin besar ukuran makam maka semakin tinggi pula pangkat orang yang dimakamkan. Di Kompleks makam ini terdapat berbagai ukuran makam mulai yang hanya mempunyai tinggi 50 CM. Nisan paling tinggi di kompleks makam ini mempunyai ukuran lebih dari 4 M. Di belakang salah satu rumah warga terdapat nisan dengan ukuran yang cukup kecil, dilain tempat ada yang tertutup lumut dan tertimbun rumput hijau yang panjang. Beberapa nisan makam terlihat agak aneh dan menimbulkan pertanyaan, misalnya ada nisan yang bagian atasnya terdapat patung anjing, ada juga nisan yang di bagian belakang terdapat gambar tangan terbuka dengan jari jempol ditekuk berada di telapak tangan. Semen kokoh dan besar yang menjadi batu nisan makan ini, seperti mengisyaratkan bahwa pemilik jasad makam ini merupakan pejuang yang kokoh dan kuat. \"Srek, srek, srek\" bunyi gesekan sapu lidi yang tengah mengusir sampah di atas permukaan tanah pemakaman tersebut membuat saya tidak fokus lagi memperhatikan makam. Sosok Nenek tua berambut putih mengenakan kain jawa dan baju batik tengah memebersihak pelataran makam, namun saat mata kami berpadu saling menatap. Sontak nenek itu pergi meninggalkan tempatnya, rasa heran berkecamuk hebat dalam diri saya. Penasaran akan sosok nenek yang siang bolong rela membersihkan temapt ini membawa kaki saya melangkah ke arah nenek itu beranjak. Saya temui nenek itu tengah mengais dedaunan rontok akibta terpaan angin, \"boleh tanya nek,\" begitu saya awali pembicaraan ini. Tanpa mengangguk seakan saling mengerti bahas tubuh, kami segera duduk di tempat yang berdekatan. Suasana tidak menjadi tanggung ketika nenek mau menyebutkan namanya, \"Yusmair\". Ternyata nenek yang rumahnya  berdekatan dengan makam ini merupakan \"Jempol,\" atau juru kunci makam ini sejak dulu. Ternyata dulunya makam itu luas sekali, mungkin sekitar 3 kali lipat dari luas yang sekarang. Kompleks makam ini dulunya terdapat sekitar 1.000 pemakaman dengan berbagai macam bentuk dan berbagai ukuran. Berada di lahan seluas 4,5 hektar, namun saat ini yang terlihat dan terawat hanya sekitar 53 nisan yang berada di belakang Gereja. Penyempitan lahan tersebut terjadi karena beberapa pembangunan disekitar kompleks makam. Pembangunan tersebut antara lain pembangunan Puskesmas Jitra, Koperasi, Lapangan Volley, Kantor Lurah Jitra, Rumah Camat Teluk Segara, Kantor KUA kota Bengkulu, Gereja, rumah penjaga Gereja, SD N 37 Jitra, dan beberapa rumah penduduk. Bahkan dari penuturan warga terdapat nisan yang berada di dalam rumah penduduk dan sampai sekarang masih ada. Ketika Thomas Stamford Raffles menjabat sebagai gubernur jenderal, kawasan Fort Marlborough terjadi wabah penyakit kolera, malaria, dan disentri. Akhirnya 4 dari 5 anak Thomas Stamford Raffles meninggal di Bengkulu dan dimakamkan di daerah Jitra bersama ratusan korban lainnya. Sayangnya, saat ini keempat makam anak Thomas Stamford Raffles itu telah hilang. Bahkan tidak satupun orang yang mengetahui letak awal makam-makam anak Thomas Stamford Raffles itu. Entah amblas ke dalam tanah, dicuri, atau dihancurkan orang pribumi, semua tidak jelas, seperti ratusan makam orang Inggris lainnya. \"Tugas saya ya bersihkan dan menjaganya,\" tutup Yusmair sembari masuk ke dalam rumahnya. (Rizda Afini) Baca Juga Rafflesia Arnoldi Bukan Peninggalannya Kurang 6 Tahun Tugas, Tulis Surat “Berantakan dan kacau,”

Tags :
Kategori :

Terkait