MEA: Ancaman atau Peluang

Minggu 03-01-2016,14:35 WIB
Reporter : redaksi
Editor : redaksi

BENGKULU,BE- Para pemimpin Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) telah sepakat membentuk pasar tunggal di kawasannya pada akhir 2015. Kesepakatan itu kini dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Tujuan dari kesepakatan itu adalah agar daya saing ASEAN meningkat sekaligus bisa menyaingi Cina dan India untuk menarik investasi. Pembentukan pasar tunggal ini memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain. MEA tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara, dan akuntan. Sehingga dalam ASEAN Economic Community (AEC) atau MEA, terjadi kompetisi yang makin ketat. MEA juga membuka arus bebas investasi dan arus bebas modal di kawasan yang merupakan kekuatan ekonomi ketiga terbesar setelah Jepang dan Cina. ASEAN beranggotakan sepuluh negara, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Lalu, dengan diberlakukannya MEA menjadi ancaman atau peluang bagi masyarakat Bengkulu? Baru-baru ini masyarakat menjadi gaduh karena kehadiran ritel besar Indomaret di Bengkulu. Indomaret secara serentak membuka 12 cabang di Kota Bengkulu ini dikhawatirkan menggilas usaha kecil masyarakat. Hal ini, menurut Pengamatan Ekonomi Bengkulu, DR Fakri Fahmi, tahun ini masyarakat Bengkulu belum siap untuk melaksanakan perdagangan bebas kawasan Asia Tenggara. Karena banyak faktor pendukung yang belum dipersiapkan dengan baik, seperti modal serta mental. \"Bengkulu belum siap untuk melaksanakan itu (MEA), karena selama ini sosialisasi serta sarana pendukung seperti bantuan modal belum disediakan oleh pemerintah. Sehingga pedagang kecil di Bengkulu tak mampu untuk bersaing dengan usaha-usaha besar yang masuk ke Bengkulu,\" tegas Fakri. Ia menyatakan bahwa pemerintah mesti turun tangan agar perekonomian di Bengkulu tetap terjaga dengan baik, mengingat saat ini sudah ada perusahaan ritel besar yang membuka investasinya diseluruh wilayah di Provinsi Bengkulu. \"Untuk investasi memang sudah ada undang-undannya, sehingga tidak dapat dilarang. Tetapi menanamkan modal di suatu wilayah tetap harus mengikuti aturan, harus memiliki izin,\" tuturnya. Fakri menilai bahwa kehadiran pengusaha besar seperti Indomaret di Bengkulu saat merupakan ancaman bagi pedagang-pedagang kecil menengah. \"Lihat saja dalam waktu setahun akan banyak toko-toko (Pedagang Lokal) yang akan gulung tikar hingga nantinya angka pengangguran meningkat,\" sebutnya. Dengan masuknya Indomaret secara banyak dan tersebar di seluruh wilayah, akan menimbulkan perubahan gaya beli masyarakat. Masyarakat akan cenderung memilih berbelanja diperusahaan besar, karena harga barang yang dijual merupakan standar pabrik. \"Dari segi harga lebih murah, karena harganya standar pabrik. Juga pola pikir masyarakat juga akan lebih suka berbelanja disani ketimbang pedagang kecil,\" ujarnya. Menurutnya kesiapan dari pemerintah sendiri belum ada untuk menyambut diberlakukannya MEA di Provinsi Bengkulu. Sehingga, kehadiran perusahaan ritel besar di Bumi Rafflesia belum tepat untuk tahun ini, sehingga menimbulkan kegaduhan ditengah-tengah masyarakat. \"Sosialisasi kurang, seharusnya dari tahun lalu sudah disosialisasikan kepada masyarakat. Kemudian diberikan bantuan modal kepada pedagang kecil sehingga mampu untuk bersaiang dengan perusahaan besar yang masuk kedaerah,\" katanya. Pakri Fahmi meminta pengusaha lokal untuk meningkatkan kualitasnya dalam menghadapi MEA yang telah dimulai. Pasalnya, eksistensi pengusaha lokal akan terancam bila tidak mampu bersaing dengan pengusaha multinasional yang sudah terlatih dalam hal teknologi, permodalan, dan lainnya. \"Kita bukannya pesimis tapi memang demikian faktanya. Bengkulu ini kan salah satu provinsi yang ekonominya masih dibawah. Apalagi jika ditambah dengan gempuran pengusaha asing yang secara modal besar, tenaga kerja yang lebih profesional dan teknis lainnya yang lebih unggul,\" ujar pria yang juga Dewan Pertimbangan Kamar Dagang Industri (Kadin) Provinsi Bengkulu ini. Kendati demikian, ia mengatakan pengusaha mau tidak mau harus siap untuk menghadapi era ekonomi liberal tersebut. Pasalnya putusan bersama yang ditandatangani pada 2007 tersebut tidak mungkin untuk ditunda apalagi dibatalkan. \"Sekarang saja gejala akan dilaksanakan MEA ini sudah tampak, misalnya sudah ada beberapa industri asing yang masuk ke Bengkulu,\" ungkap dosen Trisakti ini. Karena itu, ia minta pemerintah untuk segera melindungi pengusaha lokal. Langkah-langkah yang harus dilakukan regulator misalnya aktif melakukan sosialisasi pemberlakuan MEA ini kepada masyarakat. Selain itu, pengusaha lokal juga butuh pembinaan agar kesiapannya bisa terus ditingkatkan. \"Jika tidak maka pemerintah sendiri yang akan terkena dampaknya karena bukan tidak mungkin kemiskinan akan semakin tinggi,\" jelasnya. Sementara itu, ekonom Bank Syariah Mandiri (BSM) Iswahyudi mengatakan MEA tidak akan begitu berdampak secara langsung terhadap masyarakat. Ia mengakui jika MEA akan meliberalisasi pasar dan akan membuka peluang untuk pengusaha asing masuk. Namun, menurutnya hanya beberapa beberapa posisi saja yang akan dikuasai asing. \"Contohnya begini, orang Jakarta saja mau masuk ke Bengkulu agak susah karena faktor bahasa, budaya dan lainnya. Apalagi orang asing, paling hanya posisi pentingnya saja,\" kata Kepala Cabang BSM Bengkulu ini. Disisi lain, Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi mengatakan kementeriannya telah melakukan sosialisasi mengenai ASEAN Economy Community sejak lama kepada seluruh masyarakat. “Kami sudah melakukan sosialisasi termasuk seminar di kampus-kampus. Selain itu di asosiasi-asosiasi pengusaha termasuk di Kamar Dagang dan Industri,” kata Bachrul, di Jakarta. Namun Bachrul menyayangkan kurang efektifnya sosialisasi tersebut. Menurut dia, saat sosialisasi dilakukan banyak pengusaha yang tidak hadir dan hanya diwakili staf-staf di bawahnya saja. ”Kebanyakan yang hadir itu bukan pemimpin perusahaannya, kebanyakan stafnya, yang mungkin tidak paham.” Sebelumnya peneliti ekonomi internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pangky Tri Febiyansyah, mengatakan kurang dari 30 persen masyarakat belum memahami konsep MEA. Hal ini diambil dari penelitian yang dilakukan LIPI di 16 provinsi yang melibatkan lebih dari 2.000 responden, baik kalangan pengusaha maupun masyarakat biasa. \"Pemerintah kurang sungguh-sungguh. Ketika kami meneliti kalangan pengusaha dan pedagang serta masyarakat, mereka tidak paham, tidak tahu apa manfaat MEA,\" ujar Pangky saat dihubungi Tempo, 1 Januari lalu. Menurut dia, pemahaman MEA di masyarakat penting agar Indonesia tidak hanya menjadi negara tujuan untuk barang dan pengusaha negara ASEAN lain. \"Jangan sampai kita hanya basis tujuan dari barang mereka, kita hanya jadi pasar. Itu yang jadi masalah,” katanya.(320/**)

Tags :
Kategori :

Terkait