Awalnya Bikin Jengkel, Selanjutnya Pengunjung Bawa Teman
Arsitek dan pengusaha kopi Andrea Paresthu punya ’’hobi’’ unik. Dia senang demo masakan tertentu untuk teman atau pengunjung gourmand atelier (studio masak bagi penggemar makanan, Red) miliknya. Lokasinya yang tidak biasa dan masakannya yang lezat membuat pengunjung ketagihan.
***
SORE itu, hujan cukup deras mengguyur Jakarta. Udara ibu kota jadi dingin. Tapi, tidak demikian di studio masak Javanegra yang terletak di sebuah ruko di Jalan Pela Raya, Kebayoran Baru. Udara di situ cukup hangat. Apalagi suguhan kopi hitamnya yang mantap dan makanannya yang lezat.
Ruko tersebut berdiri tanpa papan nama atau tanda apa pun yang menunjukkan bahwa tempat itu adalah tempat makan. Masuk ke dalamnya, pengunjung akan bertemu lebih dulu dengan ruangan 3 x 5 meter yang difungsikan sebagai toko kopi Javanegra. Setelah itu, pengunjung baru bisa menemukan studio masak tempat owner sekaligus koki utama Javanegra Gourmand Atelier Andrea Paresthu memperlihatkan kemahirannya memasak.
’’Mari Mas, masuk. Ya, di sinilah saya biasa demo memasak,’’ ucap Andrea.
Dia mengenakan kostum hitam ala koki internasional dengan rambut sebahu. Diiringi backsound musik Barat yang terdengar lirih serta suara anak buahnya yang membantu memasak, Andrea melayani wawancara sambil terus mengolah bahan-bahan masakannya.
’’Gourmand atelier ini sebenarnya baru ada akhir 2014 lalu. Sebelumnya, lantai satu ini kami kontrakkan untuk perkantoran atau tempat les musik. Saya masak dan menyajikan makanan di atas, dekat pabrik kopi kami,’’ tutur pria maniak wine itu mengawali ceritanya.
Meski menerima pengunjung yang ingin menikmati racikan makanannya, Andrea menolak tempat itu disebut restoran atau rumah makan. Dia juga tidak mau disebut sebagai juru masak (chef) profesional, kendati yang dilakukan termasuk jasa penyedia fine dining (jamuan makan resmi).
’’(Memasak) ini adalah hobi. Kalau pekerjaan saya sebenarnya, ya seorang arsitek, ahli pembangunan desa, dan pengusaha kopi. Di studio inilah tempat saya melakukan eksplorasi terhadap menu makanan,’’ terangnya.
Lantaran bukan restoran, Andrea bebas menentukan kapan buka atau tutup studionya itu. Dia juga menentukan menu makanan yang akan disajikan kepada pengunjung. Pengunjung tinggal duduk manis, menunggu masakan selesai sambil menyeruput kopi Javanegra bikinan Andrea.
’’Pokoknya, di ruangan ini kekuasaan saya. Tamu tinggal menikmati. Tidak boleh minta ini minta itu,’’ ujarnya lantas tertawa.
Hebatnya, hampir tidak ada pengunjung yang kecewa setelah menyantap hasil kreasi sang koki yang belajar secara otodidak itu. Buktinya, si pengunjung akan datang lagi dan sering mengajak teman atau saudaranya.
Andrea mengakui, awalnya pengunjung akan dibuat dongkol dengan pelayanan yang diberikan studio itu. ’’Mereka biasanya jengkel dan ngomel karena tidak boleh memesan menu sendiri. Tapi, setelah makan, biasanya mereka ketagihan,’’ paparnya. ’’Mereka juga ingin tempat ini tetap rahasia. Biar tidak terlalu ramai,’’ imbuhnya.
Soal menjawab rasa penasaran pengunjung terkait dengan menu masakannya, pria kelahiran Jambi, 43 tahun silam, itu siap menyajikan resep-resep istimewa. Terutama, masakan mediterranean coastal. Kuliner tersebut diakui menjadi andalan karena karakteristiknya yang lebih sehat dengan bahan-bahan segar.
’’Salah satu menu andalan saya adalah masakan daging ala Spanyol El Buey. Tapi, untuk memasak itu, saya harus impor daging sapi khusus dari Spanyol. Sapi khusus itu hanya boleh makan rumput dan semacam melinjo. Dagingnya bisa matang hanya dalam 5 menit. Kalau daging lokal, mana bisa?’’ jelasnya.
Memang, Andrea harus merogoh kocek lebih dalam untuk memperoleh bahan baku yang dibutuhkan. Pasalnya, masakan-masakan yang dikeluarkan memang butuh bahan baku spesial. Mulai pankreas sapi muda atau yang biasa disebut sweet bread hingga sperma ikan kod. ’’Harga daging khusus dari Spanyol itu sebelas dua belas dengan harga daging wagyu. Sekitar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per kilogram,’’ imbuhnya.
Dengan berbagai keistimewaan itu, mau tidak mau pengunjung juga harus rela mengeluarkan ongkos sepadan. Tidak ragu-ragu, Andrea menyebut tarif demo memasaknya berkisar Rp 1,35 juta per orang. Namun, harga tersebut diakui tidak untuk mengeruk keuntungan bagi diri sendiri.
’’Duit itu saya tujukan untuk social business. Soalnya, dengan tempat makan ini, saya bisa mempekerjakan talenta-talenta di bidang kuliner yang tak bisa meneruskan sekolah. Mereka saya bina agar nanti bisa menjadi koki yang baik,’’ terangnya.
Memang, banyak ilmu yang diwariskan kepada pegawainya. Padahal, Andrea tidak pernah mengenyam pendidikan khusus di bidang tata boga atau kuliner. Menu makanan bikinannya merupakan buah petualangannya menjelajah ke berbagai negara.
Lalu, dari mana keahlian memasak itu diperoleh? Andrea mengungkapkan, ilmu tersebut diperoleh sejak kecil. Besar di keluarga keturunan Palembang-Manado membuat Andrea akrab dengan budaya kuliner khas dua kota itu. Apalagi tempat tinggalnya sewaktu kecil, Jambi, punya warga dengan karakter yang selektif terhadap makanan.
’’Kalau di Jambi atau Palembang, orang-orang tidak mau makan ikan laut. Sebab, mereka tahu, butuh satu dua hari ikan itu baru sampai di tangan penjual. Artinya, tidak fresh. Di sana, hanya orang miskin yang makan ikan laut. Kalau yang mampu, lebih memilih ikan patin atau belida. Nah, mungkin dari sana saya akhirnya belajar membedakan bahan makanan yang baik dan yang tidak,’’ kenangnya.
Pengalaman pertama memasak didapat Andrea saat berusia 7 tahun. Saat itu, ketika masih duduk di kelas dua SD, dia menyatakan sering pergi ke dapur warung padang di belakang rumah untuk melihat para pekerja memasak. Apa yang dilihat tersebut langsung dipraktikkan di rumah.
’’Sejak itu, saya sering disuruh ibu untuk belanja ke pasar dan masak untuk keluarga. Karena itu, saya juga terbiasa memasak untuk teman-teman. Sewaktu kuliah S-1 di Universitas Parahyangan Bandung, saya juga sering memasak untuk teman-teman,’’ terangnya.
Langkah menjadi gourmand dan chef menu mediterraneanakhirnya muncul ketika Andrea mendapat beasiswa dari pemerintah Spanyol pada 1998. Saat itu, dia menempuh pendidikan S-2 tentang hispanic studies di Kota Granada. Sambil menyelam minum air, selama di Spanyol, Andrea menyempatkan diri untuk menikmati petualangan kuliner.
’’Spanyol kan gudangnya makanan. Budaya makan di sana sangat kuat. Mereka sering ngumpul untuk makan, minum, dan ngobrol. Saya sering diundang teman, lalu dimasakin neneknya. Atau, sekadar nongkrong dengan nelayan dan melihat mereka masak ikan yang fresh,’’ ungkapnya.
Pengalaman pertamanya di Eropa tersebut membuatnya jatuh hati. Selain kemiripan soal ikan dan budaya makan dengan kampung halamannya, Andrea menyukai sikap penduduk Granada yang tulus.
’’Di sana, makan menjadi bagian dari pergaulan sosial. Hampir sama dengan budaya Palembang atau Manado. Hanya, di sana lebih akrab dan tanpa pamrih. Kalau di Indonesia, biasanya ada ongkos dengar atau komisi,’’ selorohnya.
Setelah menikmati Granada, Andrea melanjutkan studi di Univeristy of Leuven, Belgia, untuk mempelajari human settlement. Di sana, dia juga sering diminta teman-teman kuliahnya untuk menjadi koki saat kumpul-kumpul. Rutinitas tersebut terus berlanjut sampai Andrea bekerja di Delft University of Technology, Belanda. Kebetulan, dia sering bertugas di proyek-proyek pengembangan daerah tertinggal internasional.
’’Jadi, saya sering ke Amerika Selatan, Eropa, Timur Tengah, sampai Asia. Di setiap negara itu, saya pastikan harus makan, minum, dan bersenang-senang,’’ terangnya.
Dari sanalah dia mendapat semua pengetahuan kuliner. Dengan bakatnya untuk mengenali setiap bahan dan bumbu, dia bisa membuat masakan yang pernah dicicipinya. Dengan pengalaman mencicipi 400 restoran di tiga benua, dia menegaskan cukup percaya diri untuk bersaing dengan koki profesional lainnya.
’’Saya terinspirasi koki Santi Santamaria. Dia adalah koki yang dulu ahli geologi. Tapi, karena memang senang makan dan masak, dia lalu membuat restoran. Dia adalah koki pertama yang mendapat penghargaan tiga bintang dari Michelin Guide (majalah pengulas restoran dunia, Red),’’ jelasnya.
Meski mengaku suka icip-icip, Andrea tidak ingin mengikuti tren di dunia kuliner. Penghobi fotografi tersebut menganggap wisata kuliner.(**)