Mutu Pendidikan Tinggi Indonesia Tertinggal Jauh dengan Negara Tetangga

Senin 08-09-2014,08:50 WIB
Reporter : Rajman Azhar
Editor : Rajman Azhar

YOGYAKARTA - Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Abdul Munir Mulkhan mengatakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla harus fokus mengatasi permasalahan di setiap jenjang pendidikan. Menurutnya, penuntasan kasus di pendidikan tingkat dasar dan menengah sama pentingnya dengan pendidikan tinggi (PT) dan riset teknologi (riset) yang harus difokuskan ke penelitian yang inovatif.

Abdul Munir Mulkhan menjelaskan penelitian yang inovatif itu tentunya berkaitan dengan hal yang aplikatif sehingga bermanfaat bagi masyarakat. ”Terutama di bidang energi dan pangan,” kata Abdul Munir Mulkhan dalam diskusi panel “Arsitektur Kabinet 2014-2019  dalam Perspektif Pendidikan Tinggi, Riset Teknologi, Inovasi, Ekonomi Kerakyatan, dan Pembangunan Pedesaan” di Yogyakarta, Sabtu (6/9).

Pernyataan ini disampaikan Munir Mulkhan menanggapi wacana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan dimekarkan menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Pendidikan Tinggi.  Menurut Tim Transisi, Kementerian Pendidikan Dasar Menengah akan fokus pada pembangunan karakter, budi pekerti, norma, dan budaya bangsa. Maksudnya, agar sejal awal anak-anak mendapat nilai yang sangat kuat. Baru setelah itu ada penguatan di jenjang Pendidikan Tinggi melalui riset dan teknologi tepat guna.

Dalam paparannya di diskusi tersebut, Munir Mulkhan menyebutkan di jenjang pendidikan tinggi masih perlu adanya pembenahan. Kualitas atau mutu perguruan tinggi di Indonesia masih kalah jika dibanding dengan negara tetangga, Malaysia dan Brunei Darussalam. Indikasinya sampai saat ini pemerintah masih mengimpor bahan pangan dari luar negeri.”Kita tidak bisa menyediakan pangan dan buah-buahan, nah di mana peran perguruan tinggi?” kata Munir.

Menurut dia, pembelajaran di Indonesia masih terlalu mekanik. Siswa atau mahasiswa, kata Munir, tidak belajar menggembangkan teori tetapi menggunakan teori. Seharusna, lanjut dia, ada semangat untuk meneliti dan membuat teori baru atau mengembangkan teori yang sudah ada. Ditambah lagi, penelitian sekarang ini tidak sesuai dengan problem yang dihadapi oleh publik.

Munir mengatakan seharusnya pendidikan bisa membuka ruang kreatif peserta didik. Dalam bahasa Jawa diistilahkan ‘mlethik’ dan menjadi orang yang luar biasa. Sayangnya pemerintah masih abai dengan hal tersebut. Penelitian yang memberi solusi dari problem masyarakat tidak diapresiasi dengan baik.

Dalam diskusi yang dihadiri oleh praktisi pendidikan tinggi tersebut, Munir juga mengungkapkan adanya dua masalah dalam dunia pendidikan. Pertama, pembelajaran di Indonesia masih bersifat mekanik. Anak didik tidak ubahnya seperti robot yang harus sesuai dengan aturan yang ada. Kedua, adanya ketimpangan pendidikan antardaerah di Indonesia. Khususnya untuk perguruan tinggi.

Munir mencontohkan, selama ini universitas yang menjadi rujukan untuk menempuh pendidikan tinggi masih sangat terbatas. “Seolah kota lebih punya kuasa ketimbang desa, apalagi di luar Jawa,” ujarnya. Jika ingin merata, seharusnya di pinggiran kota atau desa dibangun kampus atau universitas yang bisa menjadi rujukan. Kemudian, mengirimkan dosen-dosen muda yang masih energik dan semangat untuk mengajar. Tentu saja dengan gaji dan fasilitas yang memadai.

Selama ini, perguruan tinggi terkemuka hanya berada di beberapa daerah saja. Antara lain Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung. Seharusnya kampus atau perguruan tinggi yang ada dipinggiran bisa tumbuh dan menjadi jujugan atau sasaran masyarakat.  Perguruan Tinggi nantinya ditargetkan untuk mencari orang-orang yang mau tumbuh dengan kecerdasan spiritual, sehingga mampu melahirkan teori, melaksanakan teori, dan menyantuni para pekerja.

Lebih lanjut Munir menuturkan pendidikan tinggi selayaknya harus menjadi ukuran kecerdasan spiritual, tidak hanya kecerdasan intelegensi. Ke depan dibutuhkan orang yang sedikit gila untuk melampaui zamannya. “Gagasan ke depan yang menyongsong peradaban,” imbuhnya.  Hal lain yang perlu dikritisi terhadap pembelajaran di Indonesia adalah sistem pembelajaran yang cenderung kognitif. “Bahkan evaluasinya pun kognitif, tidak afektif,” kata dia.

Kunci pendidikan, kata Munir, adalah pembelajaran. Guru dan dosen selayaknya berperan sebagai fasilitator bagi murid atau mahasiswanya. “Pendidikan bisa menjadi inkubator, ke-mlethik-an, manusia kreatif,” pungkas Munir. (awa/jpnn)

Tags :
Kategori :

Terkait