JAKARTA - Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti secara tegas menentang bila tes keperawanan dijadikan salah satu syarat seorang siswi masuk SMA. Apalagi jika hal itu dianggap mampu mengatasi anak-anak terjerumus ke dunia prostitusi.
Retno menegaskan, ada berbagai cara untuk mencegah terjadinya seks bebas di kalangan siswa dan kunci utamanya adalah pendidikan. Nah, yang seharusnya dibangun adalah bagaimana pendidikan membuat siswa-siswi mengerti terhadap konsekuensi dari sebuah sikap yang dipilihnya. \"Pendidikan kita seharusnya membangun kesadaran peserta didik untuk menghargai tubuhnya, melindungi tubuhnya, dan memahami alat reproduksinya,\" kata Retno di Jakarta, Kamis (22/8).
Dia menyebutkan, yang tidak kalah penting untuk disosialisasikan adalah Undang-undang nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Bila kebijakan tes keperawanan memang dilaksanakan, itu salah satu bentuk kekerasan seksual yang dilakukan negara terhadap anak dan jelas melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Setiap manusia, katanya, memiliki hak atas tubuhnya, tak terkecuali perempuan. Seorang perempuan berhak menolak untuk menunjukkan alat vital kepada orang lain, tak terkecuali kepada seorang dokter.
\"Sungguh tidak adil apabila sebuah kebijakan memaksakan seorang perempuan untuk membuka kemaluannya untuk diperiksa demi alasan tes keperawanan\". Ini jelas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),\" tegas Retno.
Karena itu dia menilai betapa sempitnya pemikiran pihak yang mencetuskan ide teresebut. Apalagi dianggap seakan-akan sebagai jalan instan untuk mencegah seks bebas. Seharusnya persoalan yang bersifat kasuistis diselesaikan secara khusus pula.
\"Wacana tes keperawan adalah bukti puncak bahwa banyak pekerjaan di negeri ini tidak dilakukan untuk melayani, tapi untuk menguasai. Jika itu dilakukan pada anak sekolah, mereka adalah konsumen yang paling dirugikan,\" pungkasnya.(fat/jpnn)