BACA JUGA:Menguatkan Toleransi Beragama di Desa Air Petai: Perspektif Hindu dalam Merajut Kebersamaan
BACA JUGA:Mahasiswa UINFAS Bengkulu Ikuti Sekolah Kebangsaan Tular Nalar 3.0 Mafindo Bengkulu
Kepala-kepala suku akan melakukan pendekatan personal dengan pihak-pihak yang terkait mengingat mereka semua masih terikat dengan identitas persaudaraan atau identitas keagamaan. Selain itu pihak yang melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi adat yang tidak terlalu berat. Misalnya saja mereka harus membayar denda sebanyak Rp 50.000, parang, dan baju tetapi hal tersebut tergantung pada aturan-aturan adat yang berlaku.
Kasus-kasus yang terjadi di Enggano hampir tidak pernah diselesaikan oleh pihak berwajib kecuali kasus-kasus berat seperti kasus pemerkosaan.
Masyarakat Enggano merupakan masyarakat yang sangat terbuka terutama kepada nilai-nilai
baru. Mereka dengan mudah menerima kehadiran pendatang dan juga identitas keagamaan mereka.Akan tetapi hanya dua hal itulah yang bisa ditoleransi karena para pendatang harus melepaskan identitas kultural mereka ketika memasuki Enggano. Tidak ada upacara pernikahan ala Jawa, tidak ada arisan keluarga Bugis, dan sebagainya. Semuanya menyatu menjadi suku Kaamay yang diketuai oleh tokoh masyarakat yang berasal dari suku Kaamay yang dipilih oleh orang-orang Kaamay juga. Meskipun begitu mereka mendapat jaminan keamanan dan kesamaan hak dengan masyarakat asli Enggano.
Belajar dari masyarakat Enggano bisa ditarik kesimpulan bahwa, sesungguhnya kemajemukan suatu bangsa bukanlah menjadi persoalan untuk membangun relasi antar etnis terutama agama. Relasi antar etnis bisa berlangsung dengan harmonis apabila salah satu etnis bisa menghargai dan memahami budaya yang ada serta mengesampingkan ego pribadi atau kelompok. Perbedaan identitas etnis dan agama seringkali menjadi pemicu terjadinya konflik dalam masyarakat mengingat tingginya keragaman di Indonesia. Akan tetapi masyarakat Enggano mampu menunjukkan bahwa meskipun terdapat perbedaan agama dan etnis tetapi mereka mampu hidup rukun dan damai. Hal ini dikarenakan masyarakat asli Enggano memiliki kearifan lokal yang menjaga harmoni dalam kehidupan masyarakat. Pertama, para pendatang diharuskan melepaskan identitas kultural mereka dan menggantinya dengan identitas Enggano.
WAN HENDRI
Penulis Adalah Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Angkatan 15 UNIVERSITAS BENGKULU