Enggano merupakan sebuah pulau terluar di Provinsi Bengkulu yang berukuran kurang lebih 40 km x 17 km (Sari, 2017). Lokasi pulau ini cukup terpencil karena akses ke wilayah ini sangat terbatas. Enggano memiliki dua buah pelabuhan yaitu Pelabuhan Feri yang terletak di Desa Kahyapu dan Pelabuhan Kapal Perintis yang terletak di Desa Malakoni. Pulau Enggano terdiri dari enam desa, yaitu Desa Kahyapu, Kaana, Malakoni, Apoho, Meok, dan Banjarsari (Sari, 2018). Pusat kecamatan desa Enggano berada di Desa Apoho, yang terletak di tengah-tengah pulau. Desa Apoho dan Desa Meok merupakan desa yang dihuni oleh mayoritas suku asli Enggano yang mayoritas beragama Kristen sedangkan keempat desa lainnya dihuni oleh para pendatang yang mayoritasberagama Islam.
Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local) yang berarti secara umum berarti sebuah karakteristik budaya suatu daerah atau dapat dikatakan sebagai suatu gagasan ataupun kegiatan yang meliputi cara berinteraksi dengan manusia lain, manusia dan lingkungannya, dan manusia dengan sistem kepercayaannya (Endayani, 2023). Makna lain dari kearifan lokal yaitu sebagai pandangan hidup yangberkembang dalam suatu kelompok sosial dan etnik tertentu ditinjau dari unsur kedaerahan, geografis, dan pengalaman sejarah yang unik sehingga nilai kearifan lokal tidak dipandang sebagai dua entitas yangberhadapan, melainkan sebagai unsur yang membentuk identitas suatu komunitas budaya (Niman, 2019).
BACA JUGA:Menghindari Politik Identitas di Balik Label Putra Daerah dalam Pilkada Bengkulu
BACA JUGA:Multikultur di Desa Air Petai Bengkulu dalam Perspektif Filsafat dan Komunikasi
1. Hukum Adat di Enggano
Hukum adat yang diwarisi oleh para leluhur masyarakat Enggano lebih mengedepankan sistem tolong menolong, norma-norma hukum adat, bentuk perkawinan adat, maupun sistem kekerabatan adat (Muslih dkk., 2021: 22).
Sistem tolong menolong masyarakat Enggano dengan masyarakat pendatang diperlihatkan dari bagaimana masyarakat Enggano tidak membedakan etnis dan agama dalam membantu antar umat dalam menjaga kerukunan. Seperti halnya menyelesaikan permasalahan dengan melibatkan ketua-ketua adat, tokoh agama, maupun kepala suku dari suku pendatang. Selain itu, aktivitas saling menghadiri undangan apabila salah satu pihak merayakan hari besar. Dan membantu dalam pembuatan/perbaikan masjid ataupun gereja serta gotong royong dalam menggarap sawah pada saat musim panen.
Semua itu tertuang dalam norma-norma hukum adat tertulis yang wajib dan dipatuhi oleh siapapun, apabila melanggar atau tidak melaksanakan hukum adat yang berlaku maka seseorang itu akan mendapatkan sanksi hukum adat. Dari hukum adat tersebut, masyarakat Enggano asli dan pendatang diikat untuk bisa hidup saling berdampingan dan menghindari segala konflik yang ada di masyarakat. Dengan demikian, kehidupan antaretnis dan agama di Pulau Enggano berjalan dengan harmonis tanpa adanya konflik yang bisa mencederai kondisi sosial masyarakat.
BACA JUGA:Meminimalisir Konflik dan Menjaga Keharmonisan Antar Budaya
BACA JUGA:Keberagaman Budaya, Agama dan Bahasa dari Dua Perspektif
2. Harmonisasi di Pulau Enggano
Kunci dari harmoni dalam keragaman pada masyarakat Enggano adalah memegang teguh adat istiadat Enggano. Ketua-ketua adat bersama-sama dengan tokoh agama dan masyarakat sepakat menyelesaikan semua permasalahan secara kekeluargaan dan aturan adat yang berlaku. Seperti contoh pada tahun 2018 terdapat gonjang-ganjing dalam masyarakat karena ada beberapa keluarga yang mendirikan LDII di Enggano. Kelompok ini mengeksklusifkan diri dan tidak mau bergabung dengan masyarakat.
Mereka membuat plang sendiri di rumah salah satu warga yang merupakan pendatang. Kelompok ini menurut penuturan salah satu informan mengajarkan ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang biasa dilakukan oleh masyarakat Enggano sehingga terjadi kisruh. Tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat berembuk dan akhirnya membubarkan kelompok tersebut.
3. Pelaksanaan Hukum Adat
Jika ada permasalahan yang menyangkut kasus kriminal biasanya melibatkan keenam kepala suku untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Pihak-pihak bersengketa akan dipanggil dan diajak berdiskusi secara kekeluargaan.