JAKARTA - Gagasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyelenggarakan ujian nasional (unas) tanpa ada guru pengawas di setiap ruang ujian, mulai memunculkan tanggapan beragam. Diantaranya ada yang mendukung gagasan ini, asalkan Kemendikbud berani menjamin kualitas soal ujian.
Gagasan tadi digunakan untuk menjamin kejujuran unas. Diantara nada dukungan terhadap gagasan unas tanpa menggunakan guru pengawas, keluar dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Induk organisasi profesi guru itu mengakui jika sampai sekarang publik masih menuding jika guru sendiri terlibat di lingkaran kecurangan unas.
\"Sudah kita fair saja. Mulai dari siswa, guru, kepala sekolah, hingga kepala daerah selama pelaksanaan unas menginginkan tingkat kelulusan yang setinggi-tingginya,\" tutur Ketua Umum PB PGRI Sulistyo saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (23/9). Sayangnya, untuk mewujudkan tingkat kelulusan yang tinggi itu, kaidah-kaidah kejujuran telah rontok.
Selama program unas berjalan, Sulistyo mengatakan ada mata rantai upaya penekanan yang sistematis. Dimulai dari kepala daerah menekan kepala dinas pendidikan setempat. Kemudian kepala dinas menekan kepala sekolah. Selanjutnya, kepala sekolah menekan jajaran guru. Dan terakhir, tidak jarang muncul laporan dari masyarakat ada guru yang \"membantu\" siswa mengerjakan unas.
Melalui pemutusan keterlibatan guru pengawas dalam pelaksanaan unas ini, otomatis di setiap ruang ujian hanya ada siswa peserta ujian dan soal ujian. Dengan demikian, satu mata rantai potensi kecurangan unas berhasil dihapus. Ditambah dengan variasi soal unas yang berbeda antar siswa dalam satu ruang ujian, potensi kecurangan semakin kecil lagi.
\"Sikap PGRI mendukung total kebijakan-kebijakan yang arahnya meningkatkan kejujuran pelaksanaan unas. Terutama bagi para siswa,\" tutur Sulistyo. Meskipun begitu, pria yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu mengingatkan Kemendikbud jika kebijakan unas tanpa menggunakan guru pengawas ini menimbulkan kosekuensi lain.
Di antara konsekuensi yang harus ditangkap Kemendikbud sejak saat ini adalah, urusan penyiapan soal. Selama ini, Sulistyo mengamati jika kualitas soal sering kacau. \"Entah itu soal percetakannya, ataupun terkait kandungan soal itu sendiri,\" kata dia.
Jika dalam pelaksanaan unas tanpa guru pengawas kualitas soal ujian tidak diperbaiki, siswa akan kebingungan untuk bertanya ketika menemukan soal atau pertanyaan yang rusak atau sulit dimengerti. Sebelum benar-benar menjalankan kebijakan ini, Sulistyo berharap Kemendikbud perlu membuat semacam percobaan dulu. \"Jangan sampai niatnya bagus, tetapi dalam pelaksanaannya nanti malah mengacaukan unas,\" kata dia.
Terkait desakan Mendikbud Mohammad Nuh yang menantang kepala daerah berani berikrar unas jujur dan siap melaksanakan tanpa menggunakan guru pengawas, Sulistyo mengatakan para kepala daerah harus menyambut dengan optimis. Dia mengatakan, jika tantangan pihak Kemendikbud tadi tidak ada respon, berarti kepala daerah tidak pro dalam upaya mengerek kejujuran dalam unas.
Sementara itu, jajaran Indonesia Corruption Watch (ICW) yang belakangan juga aktif mengawasi unas, merespon negative gagasan unas tanpa guru pengawas ini. Koordinator Monitoring Pelayanan Publik ICW Febri Hendri menuturkan, pihaknya khawatir gagasan baru tadi tambah mengurangi legitimasi unas. \"Adanya (guru, red) pengawas saja masih banyak kecurangan, apalagi tidak ada,\" kata dia.
Febri mengatakan, masalah utama merosotnya kejujuran saat pelaksanaan unas terdapat pada tekanan politis di tingkat pemerintah kabupaten atau kota. Para pimpinan daerah ingin agar nilai atau tingkat kelulusan unas di daerah masing-masing tinggi. \"Bagaimanapun caranya. Termasuk menghalalkan kecurangan,\" ucapnya.
Sebelumnya, Mendikbud Mohammad Nuh meluncurkan wacana menghapus guru pengawas unas saat roadshow ke sejumlah kiai di Jawa Tengah. Dia mengatakan, jika pemda setempat sudah berani berkomitmen menyelenggarakan unas dengan jujur dan tanpa perlu diawasi guru pengawas, berarti memang ada peningkatan kualitas kejujuran. (wan)