BOGOR – Penyebaran penyakit HIV/Aids di Kota Bogor terus meningkat. Kepala Bidang P3KL Dinkes Kota Bogor dr Eddy Darma, mengatakan, di Jawa Barat penderita HIV Aids adalah paling banyak tersebar di kalangan Ibu rumah tangga.Dia membeberkan, jika dirunut dari tahun 2005 hingga 2012 sudah ada 1.693 kasus penderita HIV di Kota Bogor dan didominasi umur produktif. “Virus HIV ini penyebarannya didominasi melalui jarum suntik tapi, angka melalui seks bebas juga naik tiap tahunnya,” ucapnya. Eddy menuturkan pola kumpul kebo, seperti mata rantai yang saling terikat, dan akan membentuk gejala sosial di masyarakat. “Harapannya dari UU ini cukup besar, walaupun pada kenyataanya setiap payung hukum pasti ada celah, tapi apa salahnya jika sedikit optimis,” ujarnya. Menurutnya, UU mengenai Punisment atau hukuman bagi para pelaku kumpul kebo atau bisa disebut tindakan perzinahan itu harus didukung. Payung hukum itu, kata dia, akan memberikan efek domino bagi masalah sosial masyarakat. Perkembangan kumpul kebo di Kota Bogor sangat fluktuatif. Secara parsial ada beberapa tempat di Kota Bogor merupakan tempat yang aman bagi para pelaku ini. “Ada beberapa tempat yang digunakan pelaku kumpul kebo, biasanya saya sebut perilaku asosial, karena menyimpang dari norma masyarakat dan semuanya mempunyai sistem serta alur yang sistemis,” kata dia Kepada Radar Bogor. Jejaknya, kata Eddy, bisa ditelusuri dalam kultur masyarakat modern. Di satu sisi budaya modern mengajak masyarakat mentasbihkan cinta, sebagai dasar tindakan (seks). “Secara harfiah, manusia perlu seks dan cinta, dan itu lumrah, tapi kadang mereka enggan dengan legalisasinya. Sebuah legalisasi seks dan cinta dalam bentuk pernikahan, bisa bermakna gangguan terhadap kebebasan individu,” kata dia. Maka, tak usah heran jika kumpul kebo tumbuh subur. Sebab, itulah jalan tengah para pelaku. “Melalui kumpul kebo mereka mendapat cinta sekaligus seks tanpa mengorbankan kebebasan,” katanya. Menuturnya ada beberapa level tertentu dalam prilaku kumpul kebo. “Bisa saya sebut High level, ini menyasar bagi kalangan elite yang mempunyai simpanan, dan untuk kalangan ini, mereka mempunyai alur yang sangat ketat dan tersembunyi, sehingga susah bagi masyarakat awam untuk menerawangnya,” katanya. Selain itu, ada yang namanya secondary level, ini polanya tersebar di kalangan birokrasi, yang mana didominasi Pegawai Negeri Sipil. “Untuk skala ini, Kota Bogor paling banyak yang menyumbangkan pegawai negerinya untuk melakukan kumpul kebo, dan yang terakhir adalah kalangan primary, yaitu remaja,” ucapnya. Pada tataran remaja sendiri, ada beberapa point yang harus dilihat, karena persebaran di kalang remaja cukup tinggi, dibandingkan dengan kumpul kebo yang dilakukan pegawai negeri dan para elite. Biasanya para kalangan remaja ini tidak mempunyai pola khusus menutupi keberadaanya. Sehingga, ini dapat terdeteksi dengan mengacu pada jumlah kos-kosan yang ada di lokasi terdekat. “Mereka (remaja/red) sangat dinamis perkembangannya, ini dapat kita temui jika memantaunya dengan kasat mata secara langsung,” ungkapnya. Menurutnya, kumpul kebo bukan hal yang baru dihadapi, karena sudah lama terjadi. Tapi, bagi masyarakat adalah hal tabu. Dampak kumpul kebo sangat berbahaya, seperti pola jaring laba-laba, satu-kesatuan mempunyai dampaknya. “Coba kita sinkronkan, dengan mengambil asumsi ketika seseorang melakukan kumpul kebo, dan tanpa disadari pasangan seksualnya mempunyai penyakit kelamin, sebut saja menderita HIV, maka ini akan tersebar, pola ini pun akan berlanjut ketikan dia kembali ke rumah dan berhubungan dengan pasangannya, maka tak pelak pasangannya juga tertular, belum lagi ketika dia berpergian ke tempat berbeda dan melakukannya dengan orang yang lain, sehingga pola ini terus terjadi,” ucapnya.
(cr6)