Berdasarkan etologi, penampilan bayi yang imut-imut dan terlihat tak berdaya ternyata memiliki tujuan. Kondisi tersebut justru amat terkait dengan perjuangannya untuk beradaptasi sekaligus bertahan hidup.
Bisa dibilang kepolosan ini merupakan strategi tersendiri yang terberi dalam perjuangan si kecil untuk bertahan hidup. Bayangkan, apa jadinya kalau begitu lahir bayi langsung bisa berjalan sendiri dan mandiri dalam segala hal? Pasti orang-orang di sekitarnya tak sudi repot-repot mengurusnya. Si bayi akan dibiarkan berlari ke sana kemari mencari makanannya sendiri. Begitu juga kalau lahir dengan muka tua, apa iya orangtua akan langsung \"jatuh hati\"?
Jadi, justru dalam segala ketidakberdayaannya itulah bayi mampu meluluhkan hati setiap orang yang memandangnya. Kepolosan wajahnya akan menumbuhkan rasa sayang dan iba yang membuat si bayi mendapat pemenuhan atas semua hal yang ia butuhkan. Entah itu kebutuhan akan ASI, dekapan hangat, tatapan mata penuh kasih sayang, maupun limpahan cinta dalam bentuk lainnya.
Seiring bertambah usianya, wajah bayi semakin lama kian menunjukkan garis-garis kematangan atau maturitas. Perubahan garis wajah yang menunjukkan proses kematangan ini tentu saja berlangsung halus alias sedikit demi sedikit, dan bukan secara drastis dalam hitungan hari atau bahkan hanya dalam semalam.
Itulah mengapa, tanpa disadari wajah bayi tak sama dengan wajahnya semasa batita, berbeda lagi dengan tampangnya di usia prasekolah, bahkan di usia sekolah, remaja, dewasa muda, dewasa, dan kelak di usia tua. Tentu saja tak ada yang pernah bisa memastikan perubahan akibat proses maturitas tadi terjadi tepat di usia berapa.
Secara fisiologis, semua mahluk hidup di usia dewasa memiliki wajah yang cenderung agak lonjong atau memanjang, sementara muka bayi dari spesies yang sama cenderung selalu bulat dan rata. Hampir bisa dipastikan semua bayi memiliki mata yang lebih bulat, pipi yang penuh alias chubby, leher yang pendek, dan tubuh yang gempal. Dari sini pulalah diperkirakan muncul istilah baby face yang memang khas hanya ada di usia bayi.
Di sinilah penelitian para pakar etologi menegaskan pentingnya kelekatan sebagai sarana untuk bertahan hidup. Sosok pemberi makan sekaligus pemberi kelembutan amat dibutuhkan bayi agar bisa bertahan. Hanya dengan menjalin kelekatan pada seseorang yang diandalkannya akan membuat bayi mendapatkan semua kebutuhannya berupa rasa aman dan nyaman, sehingga mampu bertahan hidup.
Bagi orangtua, kelekatan menjadi sarana penting bagi keberlangsungan generasi berikutnya. Selain bahwa manusia memiliki rasa tanggungjawab, raut wajah bayi yang menggemaskan itulah yang menggerakkannya untuk melindungi si bayi. Sejak itulah proses adaptasi pun berlangsung dari kedua belah pihak dan berjalan secara terus-menerus.
Terjalinnya kelekatan antara orangtua dan bayi memungkinkan proses adaptasi berjalan optimal dan menguntungkan keduanya. Mereka akan saling bertoleransi, saling mencintai, dan berusaha memenuhi kebutuhan satu sama lain.
Itulah mengapa bayi yang mendapatkan kelekatan positif biasanya akan lebih mandiri dan lebih sehat, baik secara fisik maupun psikologis. Bayi yang bahagia akan tumbuh menjadi anak yang mudah diajak bekerja sama dan dibina. Jadi, jangan abaikan proses jalinan kedekatan dengan anak di masa bayi.(**)