TIDAK ada angin tidak ada hujan, Kepala BPIP Yudian Wahyudi tiba-tiba meniup kegaduhan. Rektor UIN Sunan Kalijaga itu menyebut musuh terbesar Pancasila adalah Agama. Sebuah isu yang cukup sensitif bagi bangsa Indonesia yang punya sejarah pertarungan ideologis begitu panjang serta melelahkan.
Menghadap-hadapkan, apalagi mempertentangkan Agama dengan Pancasila berpotensi menimbulkan perpecahan bangsa. Karena memembuka lagi luka sejarah. Perdebatan ideologi Negara itu bahkan sudah berlangsung sejak sebelum Indonesia merdeka.
Pancasila penyokongnya adalah kaum nasionalis dan Islamis. Dua Ormas Islam terbesar di tanah air, NU dan Muhammadiyah, menerima Pancasila sebagai dasar Negara. Sampai di sini, Pancasila dan Agama tidaklah bertentangan. Agama mengakui Tuhan. Pancasila juga demikian. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa _(Believe In God)._ Para _founding father_ mencantumkan itu dalam dalam pembukaan UUD 1945. Dituliskan, _….atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa_ dst. Kalimat itu mengandung makna bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berketuhanan.
Nilai-nilai lain Pancasila juga banyak sekali mengandung persamaan dengan Agama seperti toleransi, kepedulian, kemanusiaan, persatuan, kerukunan, keadilan sosial, musyawarah mufakat hingga soal kesejahteraan. Lalu mengapa Yudian memposisikan Agama sebagai musuh Pancasila? Setelah dikecam banyak pihak, Yudian meluruskan pernyataannya. Dia mengatakan yang dia maksud bukan Agama secara keseluruhan, tapi pihak yang mempertentangkan Agama dan Pancasila. Seperti yang menyebut Pancasila adalah thogut.
*POLITIK ALIRAN* Sejarah politik Indonesia adalah politik aliran. Secara garis besar, aliran politik itu terbagi dua kelompok. Nasionalis dan Agama. Istilah Agama disini merujuk pada Islam yang mayoritas. Sebelum terjadi Gestok (Gerakan Satu Oktober) ---peristiwa pembunuhan para jenderal itu terjadi sudah dinihari yang berarti sudah masuk 1 Oktober---, selain dua aliran itu, masih ada satu aliran lagi yaitu Komunis. Kekuatan tiga aliran itulah yang mendominasi politik Indonesia pada orde lama. Itu terpotret pada hasil Pemilu pertama tahun 1955 dengan tingkat partisipasi pemilih 87 persen. Partai Nasional Indonesia (PNI) menjadi pemenang Pemilu dengan 22 persen (57 kursi), disusul Masyumi 20 persen (57 kursi), Nahdlatul Ulama meraih 18 persen (45 kursi) dan PKI di peringkat keempat dengan 16 persen (39 kursi) dan Partai Syarikat Islam Indonesia dengan raihan 2 persen (8 kursi) melengkapi lima besar. Kemenangan PNI dianggap representasi kemenangan kaum nasionalis. Sedangkan kaum Islamis diwakili Masyumi dan NU. Sedangkan kaum marxisme-sosialis diwakili PKI.
Melihat hasil Pemilu tersebut, Bung Karno yang sejak muda menggandrungi persatuan nasional mencoba merangkul tiga kekuatan itu dalam satu konsep apa yang disebut dengan NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Konsep ini dipicu macetnya konstituante. Wakil-wakil dari tiga kelompok aliran tersebut tidak menemukan kata sepakat dalam Badan Konstituante untuk merumuskan UUD menggantikan UUDS 1950. Lalu terbitlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan Indonesia kembali ke UUD 1945.
Konsep NASAKOM menjadi pondasi mulai diterapkannya demokrasi terpimpin menggantikan demokrasi parlementer yang dinilai tidak cocok untuk kultur Indonesia. Tapi gagasan NASAKOM justru membuat PKI semakin mendapat tempat dalam ruang kekuasaan. Tokoh-tokohnya merasa di atas angin.
Karena takut keduluan oleh militer, DN Aidit, Letkol Untung dkk mencoba memotong di tikungan untuk merebut kekuasaan. Mereka menikam Bung Karno dari belakang. Meletus peristiwa Gestok. Di luar perkiraan Aidit dkk, pengkhianatan yang mereka lakukan justru menjadi awal kehancuran komunis di bumi pertiwi.
Empat doktrin utama komunisme, pertama, sedikit orang kaya hidup dalam kemewahan dan keberlimpahan harta, sedangkan kaum pekerja yang sangat banyak jumlahnya hidup dalam kemiskinan. Dua, cara untuk mengubah ketidakadilan itu adalah Negara harus menguasai alat-alat produksi dari tangan pribadi atau swasta. Tiga, karena peran Negara yang vital, maka kekuasaan Negara harus direbut lewat cara revolusi kekerasan. Empat, setelah kekuasaan direbut maka untuk menjaga kelanggengan kekuasaan sistem sosialis tersebut harus diatur oleh sebuah kediktatoran partai komunis.
Jadi tujuan Partai Komunis ---di manapun dan kapanpun--- adalah untuk menerapkan sistem sosialis dan menciptakan kediktatoran lewat jalan kekerasan. Penculikan dan pembunuhan sadis para jenderal dalam peristiwa Gestok memang ciri khas komunis. Strategi gerakannya; Negara lebih dulu dikuasai, setelah itu mengambil alih alat-alat produksi. Tapi Alhamdulillah, gerakan komunis itu gagal karena tidak mendapat ridho Allah SWT.
*MINUS KOMUNIS* Praktis, setelah orde lama tumbang, konsep NASAKOM menjadi tidak relevan. Komunisme, marxisme-leninisme menjadi aliran terlarang. Pertarungan ideologi tinggal mempertemukan NASA (minus KOM). Dalam wujud nasionalisme dan Islamisme. Pertarungan politik di banyak Negara pada akhirnya memang hanya mempertemukan dua kekuatan (aliran). Di Amerika Serikat, pertarungan hanya menyisakan Partai Republik yang agresif melawan Partai Demokrat yang moderat. Perang-perang besar AS terjadi saat presiden berasal dari Partai Republik (seperti Donald Trump saat ini yang dikhawatirkan memantik PD III). Di Inggris pertarungan politik hanya melibatkan Partai Konservatif yang berideologi kanan (liberal) serta Partai Buruh yang berideologi kiri (sosialis). Ada parpol lain tapi pengaruhnya jauh di bawah dua parpol teratas.
Kondisi Indonesia juga mengarah ke situ. Meski sempat dipaksa semua kekuatan diikat oleh apa yang disebut _single mayoriti_ semasa orba, tapi toh bendungan politik itu jebol juga tahun 1998. Di awal rezim orba, parpol berhaluan nasionalis berfusi ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sedangkan parpol berhaluan Islamis berfusi ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Wadah _single mayority_ tadi bernama Golkar.
Setelah Orba tumbang, kekuatan politik kemudian terpecah-pecah lagi. Itu tercermin dari banyaknya parpol. Baik parpol berhaluan nasionalis maupun berhaluan agama. Sebagai gambaran Pemilu 1999 diikuti 48 Parpol. Meski terpecah dalam banyak parpol, tapi pada intinya pertarungan kekuatan politik tetap saja antara kekuatan nasionalis dan Islamis. Lima kali Pemilu selama era reformasi, semuanya dimenangi oleh parpol berhaluan nasionalis. Tiga kali podium tertinggi Pemilu direbut parpol-parpol berhaluan nasionalis yaitu PDIP (1999, 2014, 2019), Golkar (2004) dan Demokrat (2009). Sedangkan parpol-parpol yang dianggap berbasis agama yakni PKB (NU), PAN (Muhammadiyah), PPP, PKS atau PBB, posisinya hanya menjadi partai menengah. Hasil Pemilu tak pernah menembus dua digit. PBB bahkan tak lolos parlemen threshold 4 persen. Kontras dengan PKI pada Pemilu 1955 yang malah tembus dua digit.
Mengerucutnya kekuatan politik antara nasionalis versus Islamis juga terpotret pada Pilpres 2019 mempertemukan Jokowi-Ma’ruf Amin melawan Prabowo-Sandy. Jokowi dianggap mewakili kaum nasionalis. Sedangkan Prabowo dianggap mewakili kaum Islamis. Hasilnya? Semua sudah tahu. Pemetaan demikian bukan berarti Jokowi anti agama dan Prabowo anti Pancasila. Faktanya, Jokowi dan Prabowo sama-sama beragama Islam dan sama-sama cinta tanah air. Irisan kesamaan ini yang menjadi salah satu faktor membuat keduanya bisa menyatu. Bahkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin pun sebenarnya kombinasi nasionalis-islamis. Jokowi pilih Ma’ruf yang Ketua MUI untuk merangkul massa Islam.
Kelompok nasionalis juga terbagi dua faksi yakni nasionalis religius dan nasionalis sekuler. Sedangkan kelompok agama juga terbagi yaitu Islam-nasionalis yang moderat (menerima Pancasila dan NKRI seperti NU dan Muhammadiyah) dan Islam fundamentalis yang berhaluan keras mematok penerapan syariat Islam dan sistem khilafah. Mungkin kelompok terakhir inilah yang dimaksud Yudian Wahyudi minoritas tapi merasa mayoritas. Persinggungan antara kelompok Nasionalis dan Agama mengalami titik temu pada faksi nasionalis-religus dan Islamis-nasionalis. Dua faksi ini sama-sama berhaluan moderat, tidak memisahkan agama dari politik, serta yang paling utama menerima Pancasila dan NKRI.
Yang tidak mengalami titik temu hanya faksi kecil dalam masing-masing kelompok. Satu faksi ingin memisahkan agama dari politik (kelompok sekuler) dan yang satunya justru ingin menyatukan agama dan politik secara mutlak dalam satu sistem khilafah. Jelas tidak akan bisa ketemu. Dengan kata lain, antara kelompok Nasionalis (Pancasila) dan Agama (Islamis) lebih banyak titik temunya ketimbang titik pisahnya. Menyatukan Nasionalis, Agama dengan Komunis oke lah memang sulit karena banyak perbedaan mendasar. Komunis tidak mengakui tuhan, bertolakbelakang dengan pandangan kaum nasionalis dan agama yang berketuhanan. Perbedaan mendasar lainnya komunis bersifat internasional alias tidak punya tanah air. Sedangkan nasionalis dan agama sama-sama mengajarkan cinta tanah air. Karena itu, ketiganya sulit disatukan dalam konsep NASAKOM.
Akan tetapi, Nasionalis-Agama (NASA) menurut saya bisa disatukan karena lebih banyak kandungan persamaan yang diwakili faksi Nasionalis-Religius dan Islamis-nasionalis. Pertemuan dua kelompok ini menemukan kesepahaman dalam sistem Negara Pancasila.
Dalam konteks ini, mempertentangkan Pancasila dan Agama seperti dicuatkan Kepala BPIP menjadi tidak relevan. Bahwa ada sebagian kecil kelompok garis keras yang memboceng dalam kelompok Agama, itu masalah lain. Kelompok yang disebut minoritas itu memang hanya bisa menemukan habitatnya dalam kelompok Agama. Sama halnya kelompok pendukung marxisme-komunisme hanya bisa membonceng dalam kelompok nasionalis sekuler.
Keberadaan kelompok-kelompok pembonceng tersebut tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan karena itu bagian dari dinamika sejarah. Paham khilafah, Negara Islam, atau Marxisme-Leninisme boleh-boleh saja dalam konteks sebagai khasanah intelektualitas. Seperti menjadi bahan diskusi, topik seminar, dialog dsb. Sebab Negara tidak bisa melarang orang berpikir atau berpendapat.
Namun ketika gagasan khilafah atau Negara Islam ingin diwujudkan dalam perjuangan secara kelembagaan baik Ormas atau Parpol, itu yang dilarang karena bertentangan dengan dasar Negara Indonesia yang berdiri bukan di atas satu agama saja, tapi ada di atas beberapa agama. Kebebasan memeluk agama itu diatur dalam konstitusi (pasal 29). Begitu juga partai komunis secara kelembagaan statusnya terlarang.
Pada kerangka sistem kenegaraan, Indonesia sudah final. Indonesia bukan Negara komunis dan bukan pula Negara Agama (Islam). Indonesia merupakan Negara Pancasila yang merupakan jalan tengah pertemuan kelompok Nasionalis dan Agama.
SALAM PERSATUAN
Penulis adalah wartawan senior yang juga Ketua PWI Provinsi Bengkulu