BENGKULU, BE- Kepemilikian lahan di Pulau Dua di wilayah Pulau Enggano yang diduga dimiliki oleh Warga Negara Asing (WNA) asal Negara Australia berinisial BR melanggar aturan. Pengamat Hukum Agraria Bengkulu, Muspani SH mengatakan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, orang asing tidak boleh memiliki lahan di pulau-pulau kecil. Khususnya pulau yang berada di wilayah terluar Indonesia.
\"Kalau orang asing yang memilikinya itu patut dipertanyakan, dan tidak diperbolehkan itu,\" terang Muspani kepada BE, kemarin (13/9).Dijelaskannya, jika proses pembelian lahan hanya dengan surat jual beli atau di bawah tangan tidak melibatkan pemerintah, artinya lahan yang dibelinya tidak boleh digunakan untuk aktifitas apapun. Jikapun harus embangun, maka harus mendapatkan surat izin mendiri bangunan (IMB) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. \"Kalau mau bangun harus urus izin. Kalau kelola pribadi tidak bisa,\" ungkapnya. Jika memang telah mendirikan bangunan, menurut Muspani, tanpa ada izin apapun, maka jelas melanggar. Pemerintah harus tegas, dengan melakukan tindakan membongkar bangunan yang tidak memiliki izin tersebut.
\"Kalau tidak ada izin, bangunannya harus dibongkar,\" tambah Muspani.Meski demikian, Muspani mengatakan, jika dibeli dengan warna negara Indonesia (WNI), hal tersebut bisa saja dilakukan. Mengingat pulau terluar itu dimiliki oleh orang asli yang menghuni lama di lokasi tersebut. Orang asli tersebut bisa menjual dengan orang Indonesia lainnya. Hanya saja, untuk melakukan aktifitas harus tetap mengurus izin.
\"Selagi yang membeli itu WNI, itu sah. Kalau WNA itu tidak sah,\" jelas Muspani.Menurutnya, pembalian tanah itu tentu harus digunakan untuk usaha tertentu. Ketentuan penggunaan itu tentu diatur oleh pemerintah. Termasuk melarang aktifitas apapun itu diatur oleh pemerintah. Disetiap pulau menurut Muspani semua sudah ada yang memiliki, tentunya orang asli dipulau tersebut.
\"Pulau tidak perpenghuni itu bukan berarti tidak yang miliki, tapi yang memiliki masyarakat disitu itulah dan boleh dijual. Tapi kalau pulau itu dibeli dengan satu orang apalagi asing itu yang dipertanyakan. Untuk apa itu,\" tegasnya.Untuk itu, Muspani menegaskan, pemerintah harus lebih teliti dalam melakukan pengawasan pulau-pulau yang ada di Provinsi Bengkulu. Sehingga tidak jelas secara administrasinya. \"Silahkan diatur, jangan sampai pemerintah diam saja,\" ungkap Muspani. Bengkulu sendiri memiliki 10 pulau yang tersebar di luat Bengkulu. Pulau tersebut seperti Pulau Tikus, Mega, Tapakbalai, Tapakarifin, Bengkei, Pulau Dua, Pulau Dua kecil,Pulau Enggano, Pulau Merbau dan Pulau Satu. Sesuai dengan UU nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahaan daerah, memiliki kewenangan penuh terhadap pengelolahaan, perlindungan dan pengawasan pulau terluar. \"Pulau-pulau ini tetap kita awasi,\" terang Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Bengkulu, Sri Hartati. Dalam pengawasannya, menurut Sri dengan berkoordinasi dengan masyarakat setempat. Sebab, jika harus mendatangi setiap bulan, kondisi saat ini tidak memiliki anggaran cukup besar.
\"Ya paling kita panggil, kita tanya kondisinya, cuma itu,\" ujarnya.Dalam pengamanan pulau, Sri mengatakan, untuk Pulau Mega, saat ini Kementeriaan Kelautan dan Perikanan akan membuat sertifikat pulau tersebut. Tim kemeterian telah turun, dan dalam waktu tahun ini sudah bisa disertifikatkan. \"Kita tetap awasi semaksimal mungkin,\" tutup Sri. (127/151)