Bengkulu, Bengkuluekspress.com - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men-PAN RB) dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) meneken Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait pemecatan pegawai negeri sipil (PNS) yang berstatus koruptor beberapa waktu lalu. SKB ini tindak lanjut dari pembahasan yang dilakukan antara Mendagri, Menpan RB, dan Kepala BKN di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Gubernur Bengkulu Dr. H. Rohidin Mersyah, mengaku dilema dengan SKB tersebut, sebab secara umum mengatur pemberhentian tidak hormat para PNS yang terlibat korupsi.\"Ini dilematis. Saya sebagai kepala daerah memang tidak ringan mengambil keputusan seperti ini,\" ungkap Gubernur Bengkulu kepada Bengkuluekspress.com, Jumat (26/4).
Dikatakan Rohidin, menindak lanjuti keputusan SKB tuga menteri tersebut diminta diselesaikan paling lambat 31 April. Bukan berarti Pemprov Bengkulu menunggu hasil Yudisial Riview. Akan tetapi memang masih ada beberapa yang belum didapatkan.\"Jadi bukan kita tidak memiliki nilai kemanusian, tetapi ini keputusan bersama dan berlaku secara nasional,\" terangnya.
Apalagi saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) telah menguatkan keputusan tersebut. Maka untuk itu kedepan perlu kehati-hatian bagi ASN dalam bekerja.Sebelumnya, para PNS terpidana korupsi melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar bisa bebas dari pemecatan, namun kandas. Dalam putusannya, MK menegaskan jika pasal dalam Undang-undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dijadikan dasar pemerintah memecat PNS korupsi konstitusional.
Pasal yang digugat Pasal 87 ayat (4) huruf b. Pasal itu berbunyi bahwa “pegawai negeri sipil (PNS) diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah beralasan, jika seorang PNS diberhentikan karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan sebagai hal yang wajar. Sebab, dengan melakukan kejahatan atau tindak pidana demikian, seorang PNS telah menyalahgunakan dan mengkhianati jabatan yang dipercayakan sebagai ASN.
Seharusnya itu menjadi acuan utama bagi seorang PNS sebagai ASN dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, ataupun tugas pembangunan.Hanya saja, MK melihat adanya permasalahan konstitusional dalam frasa ‘dan atau pidana umum’ dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b itu.
Sebab, frasa tersebut bertentangan dengan Pasal 87 ayat (2). Pasal 87 ayat (2) berbunyi“PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana. (HBN)