BENGKULU, Bengkulu Ekspress - Politik uang untuk mendongkrak suara dalam pemilihan umum (pemilu) memang sudah menjadi isu penting. Terlebih masa pencoblosan 17 April mendatang tinggal menyisahkan sekitar 12 hari kedepan. Berbagai upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menangkal para peserta pemilu yaitu calon legislatif dan calon presidan (capres) terus dilakukan.
Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada juga telah diatur, baik pemberi maupun penerima \'uang politik\' sama-sama bisa kena jerat pidana berupa hukuman penjara maupun dicoret dari kepesertaan sebagai caleg. Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Puskaki) Provinsi Bengkulu, Melyan Sori mengatakan, politik uang harus turus dilakukan pencegahaan. Sebab, salah satu faktor rusaknya sistem demokrasi ialah dengan menggunakan politik uang untuk mencapai sesuatu.
\"Jelas politik dengan menggunakan uang itu merusak demokrasi kita di Indonesia,\" terang Melyan kepada Bengkulu Ekspress, kemarin (4/4).
Maka jika ada caleg maupun capres yang menggunakan uang untuk mendongkrak suara, maka peserta pemilu itu bisa disebut sebagai penjahat demokrasi. Tidak hanya caleg, masyarakat juga tidak perlu menerima uang sogokan yang diberikan oleh caleg untuk memilihnya.\"Politik uang adalah kejahatan demokrasi dan pelakunya adalah penjahat demokrasi,\" tambahnya.
Uang yang digunakan untuk politik uang juga sama halnya sebagai uang haram. Untuk itu masyarakat tidak perlu harus menerima uang haram tersebut. Tidak hanya itu, ketika caleg maupun capres menang dengan hasil politik uang, maka selama menjabat gaji yang diterimanya merupakan gaji haram.\"Kalau dia terpilih, gajinya juga haram karena dia nyogok,\" papar Melyan. Menurut Melyan, orang yang menggunakan politik uang sejatinya hanya orang lemah. Maka orang lemah tidak perlu dipilih untuk memjuangan aspirasi masyarakat. Jelas ketika jadi, tidak akan amanah dalam menerima jabatan. \"Tidak layak menjadi wakil rakyat karena pasti tidak amanah,\" ungkapnya.
Sementara itu, Caleg DPR RI Dapil Provinsi Bengkulu, Ananurlita Muchtar mengatakan, politik uang itu terjadi tidak hanya berasal dari calegnya, tapi juga dari tuntutan masyarakat sebagai pemilih. Sebab, jika tidak dikasih uang, maka masyarakat tidak mau memilih atau berangkat ke tempat pemungutan suara (TPS). \"Politi itu memang terus ada dan tidak pernah hilang. Karena masyarakatnya sendiri yang menginginkan itu,\" ujar Ana.
Sebenarnya, lanjut Ana, para caleg maunya gratis tidak mau mengeluarkan uang untuk mendapatkan suara. Karena jika harus menggunakan uang, maka jumlah uang itu bakal cukup besar. Ketika duduk atau jadi anggota dewan, maka caleg itu akan berfikir untuk mengembalikan modal setara saat kampanye, bukan malah aspirasi masyarakat yang diperjuangkan.
\"Itu kalau jadi, kalau tidak jadi bakal hilang saja uangnya. Ya sebenarnya caleg itu maunya gratis, tidak mau bayar karena berat,\" terangnya.
Setiap sosialisasi atau kampanye, bahwa menurut Ana, dirinya banyak dimintai terkait uang. Bahkan siap bayar berapa untuk satu suara. Namun dirinya mengklami menolak secara keras politik yang kepada masyarakat. \"Ada banyak seperti itu. Saya bilang, saya ini caleg RI tidak ada uang disitu. Saya tetap ikuti aturan bawaslu,\" beber Ana. Untuk itu, politik uang ini harus tetap dicegah.
Bawaslu dan KPU harus memperkuat edukasi kepada masyarakat. Agar masyarakat mau memilih dengan mempertimbangkan pengalaman caleg, visi misi nya dan lain-lainnya. \"Masyarakat diberikan pemahaman, memilih caleg mana yang bisa memperjuangkan dapilnya. Jangan asalan, kalaupun mau kasih jangan uang, tapi barang yang nilainya dibawah Rp 60 ribu dan disetujui oleh Bawaslu,\" tutupnya. (151)