Psikolog Bengkulu, Dra Ani Suprapti Msi mengatakan, banyak faktor yang menyebabkan tidak jeranya seseorang melakukan tindakan sogok menyogok selama penerimaan CPNS. Salah satu faktornya adalah mental manusia yang sudah turun temurun dan dianggap menjadi sebuah budaya yang mengakar.
\"Itu sebenarnya mental yang turun-temurun sudah dalam tanda kutip terdidik, terkondisikan demikian ya. Sehingga orang tidak lagi melihat keanehan karena mereka ingin cepat jadi CPNS secara instant,\" ujar Ani, kemarin (20/9/2018).
Ia menjelaskan, dari sisi psikologi setiap individu selalu membandingkan dirinya dengan lingkungan sosial. Sehingga apakah perbuatan yang dilakukan baik atau buruk sifatnya sangat subjektif.
\"Jadi terlepas dari baik atau buruk itu kan sangat subjektif sekali, masalahnya ketika satu lingkungan memang melakukan hal seperti itu, jadi menjadi sesuatu yang dianggap normal. Bahwa toh semua melakukan,\" tutur Ani.
Terlebih, budaya di Indonesia dalam melancarkan berbagai urusan seringkali mengandalkan suap. Sehingga perbuatan sogok menyogok adalah hal biasa yang kerap dilakukan oleh oknum agar urusannya menjadi mudah.
\"Semua orang juga tahu kan kalau mau lancar jadi CPNS ya harus ngasih, jadi itu sebuah kebiaisaan yang tanpa sadar akhirnya secara psikologis kita turunkan secara turun temurun dari satu angkatan ke angkatan bawahnya, dari satu generasi ke generasi di bawahnya. Yang akhirnya jadi satu keharusan,\" ujar Ani.
Terkait gencarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menindak suap, sesungguhnya sudah menimbulkan sedikit rasa kapok dalam setiap individu dan para pejabat. Namun, bisa saja pejabat yang melakukan tindakan menerima suap atau melakukan suap memang sudah melakukannya sejak lama. Sehingga untuk mencegah hal tersebut dibutuhkan konsistensi pemerintah juga dibutuhkan untuk membuat efek jera.
\"Jangan ada pembiaran harus tetap selalu melakukan tindakan tegas. Karena dalam psikologis ada sisi belajarnya. berlaku ke pembentukan karakternya. Sehingga perilaku harus konsisten agar perilaku mengakar kuat,\" tutupnya.
Sementara itu, Ketua MUI Provinsi Bengkulu, Prof Rohimin mengaku, PNS merupakan profesi yang paling diidam-idamkan serta menebar wewangian oleh sebagian besar masyarakat. Hal itu didasarkan pada benak masyarakat menjadi PNS, kehidupan seseorang akan terjamin hingga masa tua.
\"Namun jika saja menjadi PNS harus melakukan segala cara, misalnya dengan sogok atau menyuap, tentu saja telah melanggar aturan. Selain melanggar aturan hukum positif, tindakan ini juga sangat diharamkan dalam hukum agama,\" tutur Rohimin.
Selain itu, banyak yang dirugikan jika budaya ‘suap’ terus berlanjut. Pertama, bagi sistem pemerintahan akan menjadi kotor-bad government, lantaran prilaku suap bagi calon PNS. Karena, calon PNS yang lolos dengan menyuap akan selalu berpikir untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan, jika kelak menjadi Aparatur Pemerintah.
\"Kedua, dalam pandangan Islam, pekerjaan yang diawali dengan suap akan selalu mendapatkan gaji haram lantaran diawali dengan suap. Ini dikarenakan ada keterkaitan sebab dan akibat antara risywah (suap) dan gaji,\" tegas Rohimin.
Beberapa dalil dijadikan landasan hukum ini, salah satunya ayat dalam QS. al-Baqarah: 188 yang artinya dan janganlah sebagian kamu memakan sebagian harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebahagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. Bahkan Nabi Muhamad SAW juga sudah menegaskan dalam hadisnya, “Orang yang menyogok dan orang yang disogok, masuk neraka. (HR Bukhari).” Meski sebagian ulama masih memperdebatkan posisi suap dalam meraih pekerjaan.
\"Namun bagi saya, bila sebuah pekerjaan diawali dengan niat buruk, maka akan menghasilkan hasil yang buruk pula,\" tutup Rohimin.(999/FIN)