Ritual Tabot 6 dan 7 Muharam, Kenang Perjalanan Al-Husen Melalui Ritual Menjara

Ritual Tabot 6 dan 7 Muharam, Kenang Perjalanan Al-Husen Melalui Ritual Menjara

Memasuki 6 Muharram, Keluarga Kerukunan Tabut (KKT) mulai melakukan ritual menjara. Kegiatan yang dilakukan di depan Gerga Imam Kelurahan Berkas dengan arak-arakan dol, bendera dan panji-panji kebesaran ini diibaratkan ketika perjalanan panjang Al-Husein Bin Ali Bin Abi Thalib, salah seorang cucu Nabi Muhammad SAW dari Madinah menuju Padang Karbala. MEDI KHARYA SAPUTRA - Kota Bengkulu

Genderang peperangan kembali dibunyikan di malam yang dingin yang dilengkapi dengan rintikan hujan, bahkan tumpukan daun kelapa kering dibakar agar menciptakan kobaran api yang besar. Ritual ini mengambarkan semangat peperangan antara Husein dan Kaum Yazid.

Ritual menjara atau dengan kata lain saling menyerang ini dilakukan di lapangan terbuka dengan diiringi bunyian Dol, Tassa dan seruling bambu yang bertalu-talu pada malam hari mulai pukul 20.00 hingga 24.00 WIB, Kamis malam (6/10).

Tak heran, jika suasana menjadi sangat meriah karena tak hanya alunan musik tradisional, tetapi juga diikuti dengan hentakan dan teriakan para penabuh dol seraya melakukan lompatan-lompatan kecil.

\"Sebenarnya makna menjara ini mengenang terjadi perang di Karbala,\" kata Ketua KKT Bencoolen, Ir Syiafril Syahbuddin.

Dalam upacara menjara ini dilakukan dibeberapa titik yang digelar selama 2 hari berturut-turut. Pada tanggal 6 Muharram kelompok Tabot Bangsal mendatangi kelompok Tabot Berkas, kemudian pada tanggal 7 Muharram, kelompok Tabot Berkas mendatangi kelompok Tabot Bangsal.

\"Malam ini dari Kampung Bali ke Bajak, Tengah Padang, kemudian menuju Kebun Ros, lalu ke Benteng Malborought, kemudian arah Malabero melewati Penurunan sampai ke Lempuing. Jadi mereka yang datang nanti sambil membawa dol dan jari-jari,\" terangnya.

Saat melakukan pawai, di setiap mereka saling menyambut dan jika dalam perjalanan ada kelompok lain yang menyalakan api, itu menandakan untuk berhenti dan bergabung menjadi satu.

\"Saat kita jalan, kalau mereka minta berhenti maka mereka harus panggang daun kelapa kering. Berarti minta supaya berenti,\" ungkapnya.

Adapun makna lain dari ritual menjara ini, menurut Syiafril, merupakan ajang silaturahmi antar keluarga besar tabot. Karena di dalam perjalanannya setiap kelompok nantinya akan saling bertemu dan menyatu dalam pawai besar yang dilakukan hingga batas waktu yang ditentukan.

Usai melakukan ritual menjara, pada 8 Muharram nanti para keluarga tabot ini akan menggelar ritual meradai atau pemberitahuan Imam Husein (cucu Rasulullah) gugur di medan tempur.

Adapun jenis irama Dol yang digunakan yakni suvena atau musik dol irama berduka cita. Meradai bukanlah prosesi minta sumbangan seperti pmahaman saat ini, tetapi masa duka cita dimana kepala Imam Husein terpenggal dan terpisah-pisah bagian tubuhnya karena kekejian Yazid Bin Ummayah di Padang Karbala Irak kala itu.

Suvena juga dipakai pada prosesi pada Arak Penja, Arak Seroban, Arak Gedang dan Tabot Tebuang.

Disisi lain, pihaknya juga mengharapkan keberhasilan festival tabot 2016 dengan mendapatkan dukungan dan partisipasi berbagai pihak, baik itu masyarakat Bengkulu, pihak swasta dan instansi terkait serta dunia usaha. Melalui kebersamaan, rasa ikut memiliki dan kemauan untuk berperan serta dalam melestarikan kebudayaan daerah diharapkan Festival Tabot ini akan dapat berjalan dengan sukses dan dapat menjadi magnet daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Bengkulu. (***)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: