Di Saat Ali Meninggal, Komedi Tidak Mati
MUHAMMAD Ali sudah pergi. Tapi, dia tidak pernah meninggal. Itulah kata penutup yang manis dari sambutan seorang komedian terkemuka Amerika Billy Crystal.
Dia bukan hanya pemegang 33 award di bidang komedi, tapi juga dianggap adik sendiri oleh almarhum Ali.
Jutaan orang menyaksikan secara live siaran tv acara besar di gedung basket utama Louisville, kota terbesar di Negara Bagian Kentucky, Jumat sore lalu itu.
Gedung basket megah itu hanya dua blok dari Muhammad Ali Center. Museum megah yang dibangun almarhum untuk mengabadikan kehebatan dirinya.
Sepanjang jalan dari gedung basket ke center itu penuh dengan manusia. Melepaskan jenazah Muhammad Ali menuju makam sekitar 10 km dari situ.
Pidato Crystal tentu yang paling menarik. Sekitar 15.000 orang yang hadir di gedung itu terbahak-bahak. Termasuk mantan Presiden Bill Clinton, pesepak bola terkemuka dari Inggris David Beckham, bintang film Spike Lee, Whoopi Goldberg, Arnold Schwarzenegger, olahragawan Ray Lewis, Jim Brown, Kareem Abdul-Jabbar, dan banyak lagi.
Sambutan komedian itu memang hanya 14 menit. Tapi, saya hitung berapa kali hadirin bertepuk tangan dan tertawa ngakak: 39 kali.
Inilah upacara melepaskan jenazah yang unik. Dibuka dengan bacaan Alquran oleh imam dari Memphis, kota besar di Negara Bagian Tennessee, acara itu ditutup dengan doa oleh empat imam dari empat agama: Islam, Kristen, Yahudi, dan aliran kepercayaan suku asli American Indian.
Di tengah-tengahnya banyak sambutan. Termasuk dari pelawak Billy Crystal tadi. Yang menilai Ali sejajar dengan pelukis Picasso yang baru akan lahir setiap seribu tahun satu.
Crystal kenal Ali untuk pertama kalinya saat karir lawaknya masih hijau. Saat itu Ali, juara dunia tinju tiga kali, dinobatkan majalah Time sebagai Man of the Year.
Di penobatan itulah Crystal mengisi acara dengan komedinya: menirukan gaya Ali di panggung. Sejak itu karir lawaknya melejit. Dia merasa dipromosikan berkali-kali oleh Ali.
Di resepsi itu dia bilang, Ali memang dikenal luas dengan kecepatannya mengayunkan tinju. Tidak ada yang menandingi. ”Hanya saya yang bisa mengalahkan kecepatannya,” ujar Crystal melucu.
”Saya buktikan ketika saya mau tidur. Saya matikan lampu. Saya sudah bisa tidur sebelum cahayanya menjadi gelap.”
Sejak malam penobatan itu Ali menganggap Crystal adiknya sendiri. Suatu saat Crystal diajak lari pagi berdua. Di sebuah lapangan golf yang aturannya ketat: tidak boleh dimasuki orang Yahudi.
”Ali,” kata Crystal, ”Anda kan tahu saya Yahudi.”
”Tenang saja. Saya kan Islam,” jawab Ali.
Setelah tepuk tangan gemuruh hadirin reda, Crystal berubah wajah menjadi haru. ”Sejak itu Ali tidak pernah lagi mau lari di lapangan golf tersebut,” katanya.
Ali juga bersedia diajak acara pengumpulan dana untuk perdamaian. Aktivisnya para tokoh kesenian, olahragawan, dan ilmuwan. Bahkan, Ali adalah bagian dari upaya perdamaian itu sendiri.
Dia menentang perang Vietnam dengan penuh risiko: gelarnya dicopot. Lalu ditambah pula hukumannya: empat tahun tidak boleh naik ring. Selama menjalani masa sulit itu, Ali terus keliling dunia. Ke universitas-universitas. Dari ceramah ke pidato. Untuk kampanye perdamaian.
Ali juga terus memperjuangkan hak-hak orang kulit hitam. Justru di saat posisi orang kulit hitam sangat sulit. Dia memanfaatkan ketenarannya untuk perjuangan menaikkan harkat warga kulit hitam. Yang begitu rendah diri.
”Saya hitam dan saya cantik.” Itulah kata-kata Ali yang amat terkenal. Dia tidak segan mengatakan, ”Saya ini orang kulit hitam.”
”Postur Ali,” ujar Crystal, ”memang gabungan antara keperkasaan dan kecantikan.”
Crystal lantas menampilkan gambar-gambar Ali di atas ring. Berbeda dengan bentuk tubuh umumnya petinju.
Ali itu, ucap Crystal, juga humoris. Suatu saat ”kakak-adik” ini menghadiri upacara pemakaman seorang selebriti yang dikenal sebagai MC terkemuka. Begitu terkenalnya, orang sudah langsung tahu siapa dia dari jenis suaranya. Tidak perlu lihat wajahnya.
Selebriti itu sebenarnya botak. Tapi, tidak ada yang tahu. Kecuali teman-teman dekatnya seperti Ali dan Crystal.
Sang MC selalu mengenakan rambut palsu yang amat sempurna. Konsisten. Publik tidak ada yang mengira kalau itu rambut palsu.
Di saat ”adik-kakak” ini melayat sang MC, duduknya berjajar di depan peti mayat.
Saat itulah, kata Crystal, Ali sempat-sempatnya bertanya kepadanya secara berbisik. ”Apakah mayatnya juga mengenakan rambut palsu,” tanya Ali.
”Saya kira tidak perlu,” jawab Crystal.
”Apakah Tuhan nanti kenal dia?”
”Begitu dia ngomong, Tuhan akan langsung tahu siapa dia.”
Crystal heran bagaimana pertanyaan yang dianggap dosa oleh gereja seperti itu sempat-sempatnya terpikir di saat yang suasananya mestinya begitu duka.
Kini, di depan jenazahnya sendiri, Ali tidak bisa lagi melucu.
Tapi, jutaan orang tertawa-tawa mendengar kisah kelucuannya.
Mungkin kalau Gus Dur meninggal di Amerika, Cak Lontong yang akan menggantikan Crystal. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: