Medan Cahaya di Lokasi Medan Perang

Medan Cahaya di Lokasi Medan Perang

Oleh: Dahlan Iskan SAYA tidak pernah berhenti mengagumi Masjid Nabi di Madinah ini: perencanaannya, desainnya, arsitekturnya, penggunaan warna dan kombinasinya, kualitas materialnya, finishingnya, dalamnya, luarnya dan skala ukurannya. Gigantik. Termasuk toiletnya: dua susun di bawah tanah. Masing-masing lantai toilet terhubung dengan tempat parkir bawah tanah. Seluas sahara. Berkali-kali saya melihat video bagaimana masjid ini dibangun. Di acara mega struktur. Di Discovery Channel. Tapi saat saya ke masjid Nabi lagi tiga hari lalu, pikiran saya melayang jauh ke Spanyol. Ke kota Cordoba. Tepatnya ke masjid Cordoba. Yang kini jadi gereja. Atau tepatnya dulu gereja (600), lalu dipakai bersama paro-paro masjid dan gereja (600-900), lalu jadi masjid besar (900-1200) dan terakhir jadi gereja (1200-sekarang). Sejak kecil saya tahu: masjid Cordoba luar biasa indahnya. Dari buku pelajaran di madrasah. Terindah di dunia. Waktu itu. Simbol kejayaan pemerintahan Islam di Eropa. Keinginan ke Cordoba akhirnya terkabul. Tahun lalu. Bersama seluruh keluarga. Betul. Masjid Cordoba indah. Indah sekali. Ditambah dengan kekayaan seni interior gereja Katolik yang ditambahkan di dalam masjid itu. Tapi masjid Cordoba kenyataanya berbeda. Tidak seindah yang saya bayangkan waktu kecil. Mungkin bayangan seumur pelajar berbeda. Bayangan anak-anak. Tapi tidak. Bukan itu penyebabnya. Ini saya sadari tiga hari lalu. Saat saya memperhatikan masjid Nabawi lebih lama. Tepatnya menikmatinya lebih lama. Masjid Nabi (Nabawi) jauh lebih indah dari Cordoba. Jauh sekali. Berlipat ganda indahnya. Semula saya ragukan kesimpulan itu. Hari kedua saya nikmati lagi Masjid Nabawi. Lebih lama. Dalamnya. Luarnya. Mengelilingi dalamnya sama melelahkannya dengan meninjau luarnya. Saking besarnya. Imajinasi saya loncat-loncat: Madinah. Cordoba. Madinah. Cordoba. Yes! Madinah jauh lebih indah! Tiba-tiba muncul kesimpulan lain. Mengejutkan imaji saya. Berada di Madinah ini rasanya kok seperti berada di Cordoba. Ya. Ternyata ada kemiripan. Beberapa bagian arsitekturnya mirip. Sangat mirip. Lantas muncul pertanyaan. Untuk diri saya sendiri. Mungkinkah desain masjid Nabawi yang baru ini sengaja dimiripkan Cordoba? Untuk mengenang kejayaan Islam di Eropa itu? Sekaligus untuk mengalahkannya? Secara telak pula?  Agar tidak ada penyesalan yang terlalu dalam atas hilangnya kebanggaan masa lalu itu? Mungkin begitu. Mungkin tidak. Selera arsitektur Madinah modern memang beda dengan Makkah modern. Sama hebatnya tapi beda wujudnya. Secara keseluruhan. Madinah modern adalah kota yang ditata dengan elegant. Kalau di Amerika ada tipikal New York dan Washington, Madinah modern adalah Washingtonnya. Madinah di waktu malam lebih-lebih lagi. Anggaplah Anda naik mobil dari Jeddah atau Makkah menuju Madinah. Begitu tiba di Bir Ali (10 menit sebelum masuk pusat kota Madinah) siap-siaplah terpesona. Begitu Anda melintas di jalan Tariq Hijr ada pemandangan magis yang menakjubkan. Keindahan Masjid Nabawi. Lengkap dengan cahaya mirip siangnya. Cahaya dengan tata warna yang elegant. Ditambah menara-menaranya. Ditambah bangunan sekitarnya. Ditambah lagi yang terbaru ini: latar belakangnya yang misterius. Dulu tidak ada back ground itu. Hanya gelap. Kini ada yang baru: cahaya magis yang memantul ke hutan rimba. Apakah ada hutan baru di belakang masjid? Oh... Bukan. Bukan hutan. Itu seperti layar raksasa. Adakah dipasang layar raksasa sepanjang berkilo-kilo meter di belakang masjid? Oh.... Bukan. Bukan layar. Sekarang saya ingat. Di belakang masjid itu kan ada gunung. Terkenal dalam sejarah: Jabal Uhud. Sebuah bukit batu yang cukup tinggi yang memanjang di belakang masjid Nabawi. Di kejauhan. Ternyata di sekeliling gunung Uhud itu sekarang dipasangi lampu sorot dengan kukuatan besar. Tiap 50 meter. Sepanjang gunung. Berkilo-kilo meter. Sorotnya  mencapai gunung batu setinggi 1000 meter itu. Yang saya kira hutan rimba tadi. Pencahayaan itu menimbulkan imajinasi yang berbeda-beda. Maka dari arah Tariq Hijr ini masjid Nabawi selalu berganti back ground: siang gunung batu, malam gunung cahaya. Atau datanglah ke mall terbesar kedua di Madinah: Mall An Nur. Pesona Jabal Uhud di waktu malam ini juga bisa dinikmati dari mall modern itu. Maka kawasan gunung yang dulu dikenal sebagai medan perang itu (Perang Uhud) kini menjadi medan cahaya. Masih ada icon baru lain di Madinah: bandara baru dan stasiun kereta api yang baru. Bandaranya bagus sekali. Dengan sentuhan khas Arab. Pilar-pilarnya yang tinggi itu dibentuk dengan inspirasi pohon kurma. Modern menakjubkan. Demikian juga stasiun kereta apinya. Indah di waktu siang. Lebih indah lagi di waktu malam. Saya tergoda ingin masuk ke dalamnya. Tapi belum bisa. Masih tutup. Mungkin baru akan beroperasi satu tahun lagi. Itulah stasiun kereta super cepat Makkah-Madinah (450 km). Yang sedang dibangun oleh gabungan kekuatan Spanyol, Inggris dan Tiongkok. Tidak jauh dari situ ada juga proyek raksasa. Sedang dikerjakan. Seru-serunya. Lho saya ingat. Lokasi ini  kan terminal bus untuk jemaah haji. Yang luas itu. Dulu. Dulu sekali. Ternyata lokasi itu kini untuk proyek hotel-hotel bintang lima yang mewah. Itu akan istimewa. Dari lantai atas hotel itu nanti akan bisa melihat keindahan masjid Nabawi. Lengkap dengan back ground gunung cahaya Uhud. Di waktu malam. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: