Paling Penting Awal dan Ending

Paling Penting Awal dan Ending

\"Catatan-Aza\" Bagaimana cara menulis yang bagus? Wadow. Susah juga menjawabnya. Karena mungkin sangat, sangat gampang, sekaligus agak, agak sulit. Oleh: AZRUL ANANDA Entah berapa kali saya ditanya orang: Mas (kadang Pak, kadang Om), bagaimana cara menulis yang bagus? Sepertinya itu pertanyaan yang gampang. Apalagi kalau ditujukan ke orang yang bekerjanya di industri media dan setiap hari Rabu punya kolom yang isinya menulis sesukanya. Setiap kali ditanya begitu, saya biasa pause sesaat, atau dua saat, atau kadang agak lama, sebelum bisa menjawab. Jawabannya kadang bisa beda-beda. Tergantung berapa banyak waktu yang saya punya, mood saat itu, atau mungkin pas sedang ada jawaban baru yang belum pernah saya sampaikan. Jawaban-jawaban itu bisa sangat gampang. Sesuatu yang bisa dijawab siapa saja. Walau mungkin yang menjawab itu juga tidak bisa menulis, atau mungkin hanya merasa dia bisa menulis. Rasanya banyak yang seperti itu bukan? Jawaban gampang itu adalah: Banyak membaca. Kebetulan, sejak kecil saya suka membaca (klise ya?). Atau mungkin sebenarnya bukan suka membaca, melainkan sudah dicekokin bacaan sejak kecil! Ayah saya suka membelikan saya buku. Dan kelas satu SD saya sudah tamat baca seluruh seri Trio Detektif, Lima Sekawan, dan lain-lain. Kelas dua SD sudah mulai dibelikan karya-karya Agatha Christie (Hercule Poirot salah satu tokoh yang saya sukai). Saya juga paling suka buku-buku karya Dwianto Setyawan... Waktu SD itu juga, saya sering diberi uang Rp 10 ribu, lalu disuruh beli sebanyak-banyaknya bacaan di kawasan penjual buku bekas di Surabaya, di Jalan Semarang. Sampai sekarang, Layar Terkembang dan buku-buku pujangga lama Indonesia rasanya masih ada tersimpan di rumah lama keluarga kami. Belum lagi komik-komik Gundala, Godam, Asterix, Tin Tin, dan lain sebagainya. Sejak kecil, orang-orang di Jawa Pos juga sering membelikan saya buku, atau mengantarkan saya membeli buku. Termasuk di antaranya almarhum Mas Djoko Susilo, yang meninggal dunia Selasa kemarin (26 Januari). Saya masih ingat dibelikan beliau sebuah buku tentang pesawat-pesawat tempur terhebat waktu saya masih SD. Sampai sekarang pun saya selalu membaca kalau posisi setengah menganggur. Misalnya, waktu makan sendiri, duduk di pesawat (kalau tidak ketiduran), dan yang paling memungkinkan: Waktu duduk di toilet. Ini sangat klise, but true: Banyak membaca, banyak referensi, banyak gaya menulis tertancap di kepala… *** Jawaban yang lebih panjang atau lebih teknis, mungkin juga tidak sesuai dengan buku teks atau pelajaran yang mungkin Anda dapatkan di jalur formal yang Anda jalani. Dan saya termasuk orang yang jalan hidupnya tidak jauh dari menulis. Malah mungkin garis hidup saya memang sudah ditentukan tidak jauh dari menulis. Ayah saya penulis, entah dulu belajarnya bagaimana. Ketika dijauhkan dari industri media ke Amerika sejak lulus SMP, eh, ternyata saya malah ditampung oleh keluarga angkat yang juga pengelola media (dan penulis!). Seperti anak pemain bulu tangkis yang juga jago bulu tangkis, ya mungkin pelajaran menulis saya memang ’’diturunkan’’ lewat DNA. Plus, kemudian diserahkan ke orang yang membantu memberikan panduan bagaimana menulis. Ya, keluarga saya menulis pakai bahasa Indonesia, sedangkan keluarga angkat saya di Amerika pakai bahasa Inggris. Tapi, sebenarnya apa pun bahasanya, cara menulis itu kurang lebih sama kok. Yang beda hanya bahasanya. Kalau dari ayah saya, pelajaran yang pernah saya dapat seumur hidup hanya satu: Lead harus bagus, ending harus bagus (ini satu atau dua? Wkwkwkwk…). Tengah-tengahnya seperti apa, terserah. Pokoknya lead harus bagus, ending harus bagus. Kalau dari ayah angkat saya, John R. Mohn, pelajarannya lebih terstruktur. Waktu SMA di Kansas, saya diajari bagaimana menulis format esai secara terstruktur. Yaitu, lead memang harus menarik perhatian. Lalu, kalimat terakhir di paragraf pertama adalah tema utama yang ingin disampaikan. Paragraf kedua menjelaskan satu bagian/argumen dari tema utama. Paragraf ketiga bagian/argumen selanjutnya. Begitu terus sampai semua poin yang ingin disampaikan tertulis. Lalu, paragraf terakhir mengingatkan lagi tema utama yang ingin disampaikan, merangkum poin-poinnya, lalu menutupnya dengan manis. Berkali-kali saya dipaksa menulis secara terstruktur itu. Ketika ingin freestyling atau ngabstrak di tengah, saya disuruh menggantinya lagi ke struktur yang benar. Karena ada waktunya nanti boleh menulis dengan style yang lebih kompleks dan ’’menari-nari’’, tapi sebelum itu harus tahu betul bagaimana menjaga struktur alias kerangka utamanya. Kalau belajar sepak bola mungkin itu setara dengan ini: Jangan langsung sesukanya menggocek bola di lapangan. Sebelumnya harus sadar betul dengan teknik-teknik menendang, mengumpan, dan hal-hal fundamental lain, serta menguasainya dengan baik. Kalau teknik dasar sudah pas, baru silakan berkreasi lebih jauh. Di kelas-kelas English Writing saat kuliah, bagaimana menulis terstruktur ini juga kembali ditekankan. Yang seru ketika diajari untuk menulis melawan isi hati dan perasaan. Apa itu? Menulis dalam struktur yang benar, tema yang sebenarnya bertentangan dengan isi hati kita, lalu menampilkan argumen-argumen yang sebenarnya juga bertentangan dengan perasaan kita. Misalnya, menulis dengan tema bergabung dengan kelompok rasis. Lalu harus menemukan argumen-argumen mengapa rasis itu penting, mengapa ras lain layak dihujat atau dibenci. Ini bukan untuk mengajari kita jadi rasis. Melainkan bagian dari pelajaran critical thinking. Untuk mencoba membayangkan bagaimana rasanya berada di sisi yang tidak kita sukai. Karena dengan begitu kita bisa menghadapinya dengan lebih baik, melawannya dengan argumen yang lebih baik pula. Seru ya?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: