Jual Sepeda Onthel untuk Biayai TV dan Radio Jawa
Orang-Orang yang Mengabdi untuk Pelestarian Kebudayaan Jawa di Suriname Tidak banyak orang keturunan Jawa di Suriname yang punya kepedulian ekstra terhadap upaya pelestarian kebudayaan nenek moyangnya. Di antara yang sedikit itu, nama pengusaha Tommy T. Radji layak dikedepankan. Berikut catatan wartawan Jawa Pos ARIEF SANTOSA yang baru pulang dari negara di Amerika Latin itu. Postur tubuhnya kecil. Tidak terlihat ’’warna’’ Suriname dalam guratan wajahnya. Bahkan, saat berbicara, bahasa Jawa yang dipakainya masih mlipis. ’’Monggo Pak pinarak teng kamar kerjo kulo kemawon (Mari Pak masuk di ruang kerja saya saja),’’ ujar Tommy T. Radji saat menerima saya yang bertamu di toko sepedanya, De Tweewieler, kawasan Verlengde Mahonylaan 41-43 Paramaribo, Kamis (13/8). Ruang kerja Radji –panggilan akrab pria 62 tahun itu– tidak begitu besar. Hanya berukuran 3 x 3 meter. Terkesan sumpek. Sebab, selain meja kerja yang dipenuhi dokumen, ruangan itu diisi dua lemari besar, dihiasi pipa-pipa instalasi listrik di tembok, serta layar televisi LED 32 inci yang menempel di dinding depan meja kerja. ’’Yo ngene iki kamar kerjoku. Njaluk ngapuro nek awut-awutan (Ya begini ruang kerja saya. Maaf kalau berantakan),’’ tambah Radji sambil mempersilakan saya duduk. Dalam pembicaraan awal, dia masih menggunakan bahasa Jawa halus (kromo). Namun, begitu tampak kikuk, dia lalu meminta agar menggunakan bahasa Jawa kasar (ngoko) saja. ’’Biar bebas ngomongnya. Tidak berlepotan,’’ katanya. Di Suriname, Tommy Radji dikenal sebagai salah seorang pengusaha Jawa yang sukses. Usahanya di bidang perdagangan sepeda pancal (onthel) masih tergolong langka. Karena itu, tokonya yang cukup besar di Paramaribo menjadi jujukan konsumen yang membutuhkan alat transportasi tersebut. Padahal, jenis sepeda yang dijual di tokonya juga tidak banyak. Yaitu, sepeda untuk orang dewasa dan sepeda untuk anak-anak saja. Mereknya pun terbatas hanya beberapa. Dia tidak menjual sepeda balap. ’’Ning kene pit ngebut ora payu. Wong-wong ora wani numpak pit karo ngebut. Iso ketendang mobil (Di sini sepeda balap tidak laku. Orang-orang tidak berani naik sepeda dengan ngebut. Bisa ditabrak mobil),’’ papar suami Florine M. Radji itu. Memang tidak banyak jalan di Suriname yang dilengkapi lampu lalu lintas. Polisi juga jarang terlihat turun ke jalan untuk mengatur keruwetan laju kendaraan. Semua diserahkan kepada kesabaran dan toleransi para sopir di jalan. Karena itu, tak jarang terjadi kesemrawutan di simpul-simpul tertentu, kemacetan panjang, atau bahkan tabrakan mobil karena saling serobot. Orang di sana menyebut tabrakan dengan tendang-tendangan. Meski hanya berjualan sepeda dengan item tertentu, Radji mengaku bisa menangguk banyak keuntungan. Bahkan, dari keuntungan berjualan sepeda itulah dia bisa menghidupi stasiun televisi dan radio ’’Jawa’’. Ya, Radji memiliki sebuah stasiun televisi dan radio yang mengkhususkan diri pada upaya melestarikan bahasa serta kebudayaan Jawa. Namanya radio dan TV Garuda. Radji menyebut dua usaha ’’sampingan’’ itu sebagai cara untuk tetap bisa mempertahankan kebudayaan Jawa di Suriname yang makin global. Dia merasa miris melihat kondisi kebudayaan Jawa yang mulai ditinggalkan masyarakatnya sendiri. ’’Ini cara saya agar kebudayaan Jawa tetap dipegang orang-orang Jawa di sini. Sebab, makin lama makin sedikit orang Jawa yang tahu kebudayaan yang diwariskan nenek moyang itu,’’ tuturnya. Karena itu, sejak usaha jualan sepedanya maju, Radji berinisiatif menyisihkan sebagian keuntungan untuk membiayai pengoperasian radio dan televisi Garuda. Radio Garuda mulai mengudara pada 1996, sedangkan Televisi Garuda mulai tayang pada 2000. Radio dan TV Garuda memiliki konten acara yang sebagian besar terkait dengan masyarakat Jawa. Misalnya, acara Wartos Kasripahan (berita kematian) atau pilpen Kotak Lawas (pilihan pendengar lagu-lagu lama). Radio Garuda siaran 24 jam dengan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi utamanya. ’’Tak kiro ning Indonesia wae ora ono radio sing siaran pat likur jam nganggo basa Jawa. Tapi, Radio Garuda duweni iku (Saya kira di Indonesia saja tidak ada yang siaran 24 jam dalam bahasa Jawa. Tetapi, Radio Garuda melakukannya),’’ papar Radji yang sudah 13 kali ke Indonesia untuk urusan bisnis dan menemui karibnya, para artis Jawa seperti Didi Kempot, Ira Herlina, Indah Oni, Edy Nuansyah, dan Grup Lare Jawi dari Solo. Saking semangatnya agar bahasa dan kebudayaan Jawa tetap eksis di Suriname, Radji tidak segan-segan mengeluarkan biaya besar untuk mendatangkan artis-artis dari Indonesia tersebut. Mereka ditanggap Radji untuk dipertontonkan kepada masyarakat Jawa di negara penghasil tambang minyak, bauksit, emas, dan kayu itu. Artis yang paling sering ditampilkan Radji adalah Didi Kempot. Adik almarhum pelawak Mamiek Prakoso itu sudah 11 kali manggung di gedung-gedung pertunjukan Suriname. ’’Ben iso dadi tulodo kanggo bocah-bocah enom ning kene. Soale, sinau basa Jawa nganggo lagu-lagu luwih gampang lan ora boseni (Biar bisa jadi contoh untuk anak-anak muda di sini. Sebab, belajar bahasa Jawa dengan lagu-lagu itu lebih mudah dan tidak membosankan),’’ tutur keturunan Jawa yang punya nenek moyang dari ibu Malang dan bapak Jogja itu. Radji bahkan berani mengklaim, ketenaran Didi Kempot saat ini berkat seringnya dia tampil di Suriname. Setelah ngetop di negara ’’cuwilan Jawa ning pucuk donya’’ itu, kata dia, Didi Kempot baru dikenal luas di Indonesia. Memang, penyanyi asal Solo tersebut sangat terkenal di Suriname. Setiap show-nya selalu disaksikan ribuan orang. Dia bahkan pernah ’’kena semprit’’ dan dicekal KPU Suriname karena salah satu lagunya dijadikan lagu kampanye D-Selikur (Demokrasi Abad 21), salah satu partai orang Jawa di Suriname, dalam Pemilu 2005. Lagu berjudul Bitingan (coblosan) itu mengajak masyarakat keturunan Jawa untuk memilih calon-calon dari Partai D-21. ’’Waktu Pak Jokowi dilantik jadi presiden tahun lalu, saya pas di Solo. Oleh Mas Didi Kempot, saya diajak ke rumah ibu Pak Jokowi untuk melihat pelantikan itu di televisi. Jadi, hubungan saya dengan Mas Didi Kempot memang sudah seperti saudara kandung saja.’’ Tidak hanya di radio, Radji juga habis-habisan di TV Garuda. Dia tetap ’’ngotot’’ mempertahankan acara-acara berbahasa Jawa agar kebudayaan leluhur itu tidak hilang di negaranya yang multietnis. Memang terkesan ndeso. Sebab, pada era modern seperti saat ini, masih ada televisi yang menyiarkan acara yang menampilkan jaran kepang, ande-ande lumut, wayang kulit, lagu pop Jawa, atau ludruk di negara yang jauh dari akar budaya itu. Atau, berita berbahasa Jawa dengan presenter lansia, berkepala plontos, dan sangat Njawani, Salimin Ardjooetomo alias Captain Does. ’’Tidak apa-apa dianggap ndeso. Sebab, hanya dengan cara ini saya bisa berkontribusi ikut melestarikan bahasa dan kebudayaan Jawa. Biar Jawa tetap dipegang anak-anak muda zaman sekarang,’’ ujar ayah Cindy S. Radji dan Dewi Gracella Radji itu. Dia mengaku tidak bisa mencari penghasilan dari siaran TV Garuda tersebut. Iklannya kecil. Satu iklan berdurasi satu menit, misalnya, hanya berharga ratusan SRD (Suriname dollar) atau tidak lebih dari Rp 5 juta. Itu pun diputar berulang-ulang. Bandingkan dengan iklan di televisi Indonesia yang harganya ratusan juta sampai miliaran rupiah. ’’Jadi, TV saya ini tidak untuk komersial. Benar-benar untuk mengabdi pada kebudayaan Jawa. Karena itu, mau tidak mau saya biayai dari usaha yang lain, yaitu dari toko sepeda ini,’’ katanya. Kini Radji sedang pusing. Sebab, pemerintah Suriname mengeluarkan peraturan baru soal program siaran televisi. Menurut ketentuan anyar tersebut, mulai awal 2016, seluruh stasiun televisi di Suriname wajib berpindah format menjadi TV digital. Padahal, untuk ganti format dari TV analog ke digital itu, dia mesti menyiapkan uang hingga USD 200 ribu atau sekitar Rp 2.760.000.000 (kurs USD 1 = Rp 13.800). Uang sebanyak itu digunakan untuk menyiapkan perangkat keras serta lunak dari Amerika dan Italia. Radji juga harus mengeluarkan dana untuk mendidik 35 karyawan yang semua adalah orang keturunan Jawa itu. Sebab, alih format tersebut membuat semua harus berubah. ’’Nek dipikir ya ngelu ndasku. Tapi, kepiye maneh nek kuwi sing digariske karo pemerintah. Aku ora wani bantah (Kalau dipikir, ya pusing kepala saya. Tapi, bagaimana lagi kalau itu yang digariskan pemerintah. Saya tidak berani menolak),’’ tandas pensiunan pegawai Telesur (Telkom Suriname, Red) itu. (*/c5)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: