Bergaji Rp 300 Ribu Sebulan, Martinus Bangga Jadi Kadus Pertama

Bergaji Rp 300 Ribu Sebulan, Martinus Bangga Jadi Kadus Pertama

Mengunjungi Kampung Orang-Orang Pigmi Rampasasa, Kabupaten Manggarai, NTT (2-Habis)

\"12140_10318_OKe-FOTO-BOKS-KEPALA-DUSUN-\" Meski terancam punah dan hidup miskin, masyarakat pigmi di Dusun Rampasasa, Desa Wae Mulu, Kecamatan Wae Rii, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), punya pemimpin sendiri. Dialah Martinus Mesar, orang pigmi (pendek) pertama dan satu-satunya yang saat ini menjabat kepala dusun.

*** MASIH muda, berbadangempal, berambut cepak, dan murah senyum. Itulah gambaran sekilas profil Kepala Dusun (Kadus) Rampasasa Martinus Mesar. Bagi masyarakat pigmi, tampilnya Martinus sebagai kepala dusun adalah prestasi yang layak dicatat dalam sejarah. Sebab, dialah orang pigmi pertama yang mendapat amanah menjadi kepala pemerintahan meski tingkat dusun.

Seperti halnya kebanyakan orang pigmi Rampasasa, postur tubuh Martinus juga pendek. Pria kelahiran 15 September 1979 tersebut memiliki tinggi badan sekitar 150 cm. Itulah postur tertinggi di kalangan masyarakat pigmi. Yang agak membedakan dengan orang-orang pigmi yang lain, tubuhnya gempal seperti tubuh orang nonpigmi.

Martinus diangkat sebagai Kadus Rampasasa pada 2009. Kebetulan, saat Jawa Pos berkunjung ke dusun itu pada 16 Januari lalu, masa jabatan Martinus tinggal sehari. Ya, pria yang hanya lulus sekolah menengah pertama di SMPN 3 Wei Reii tersebut harus menyerahkan jabatannya pada 17 Januari 2015. Namun, atas kebijakan pemerintah setempat, masa jabatan Martinus sebagai kepala dusun diperpanjang hingga Maret nanti. Sampai ada pengukuhan jajaran kepala desa baru.

Di Rampasasa kepala dusun merupakan jabatan politis. Yakni jabatan yang ditunjuk kepala desa terpilih dari pemilihan langsung. ”Saya jadi kepala dusun bukan melalui pemilihan. Saya ditunjuk kepala desa terpilih,” terang pria dari suku Tuke’i tersebut.

Saat itu kursi kepala Desa Wae Mulu dijabat Aldofus Macan. Aldofus-lah yang kemudian menunjuk Martinus menjadi salah satu perangkatnya yang bertugas di Dusun Rampasasa. Karena itu, masa jabatannya pun bergantung periode jabatan kepala desa yang menunjuk. Bila sang kepala desa lengser, bisa jadi kepala dusun yang ditunjuk ikut lengser.

Meski punya jabatan ”mentereng”, kehidupan ekonomi Martinus dan keluarganya tetap masih berada di bawah garis kemiskinan. Sebagai kepala dusun dia mendapat honor Rp 300 ribu per bulan, tapi pembayarannya dirapel tiga bulan sekali.

Karena itu, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Martinus bekerja serabutan. Antara lain menjadi kuli bangunan di desa sebelah atau di kota. Bayarannya lebih besar daripada honor kepala dusun. Bahkan, dari penghasilan kerja serabutan, Martinus bisa membangun rumah yang berbeda dari rumah warga pigmi pada umumnya yang kebanyakan berdinding kayu. Rumah Martinus berdinding semitembok.

Meskipun honor sebagai kepala dusun sangat kecil, tugas dan tanggung jawab Martinus cukup besar. Suami Maria Ervina Linda itu memiliki amanah untuk mengawal administrasi kependudukan warga Rampasasa. Dia juga harus bisa mengayomi seluruh warganya.

Total jumlah warga Dusun Rampasasa sekitar 500 jiwa dari 103 kepala keluarga (KK). Kebanyakan warga pigmi. Tapi, ada juga warga nonpigmi alias berpostur tubuh normal. ”Karena ini amanah, ya harus saya laksanakan,” tutur tokoh muda pigmi tersebut.

Di antara program kerja yang mampu direalisasikan Martinus, yang cukup ”fenomenal” adalah mengupayakan jatah bedah rumah dari Pemerintah Kabupaten Manggarai Tengah. Lebih dari sepuluh unit rumah warga Rampasasa yang tidak layak huni akhirnya dibedah dan diperbaiki hingga pantas ditempati.

Martinus mengakui selama lima tahun masa jabatannya belum bisa menyejahterakan masyarakat Rampasasa. Salah satunya pengadaan SD negeri di dusun itu. Sekolah negeri terdekat ada di Desa Bare yang berjarak sekitar 3 km dari Rampasasa.

Selain itu, Martinus berharap ada layanan kesehatan yang memadai di dusunnya. Selama ini akses kesehatan untuk warga hanya ada satu dan terletak di pusat Desa Wae Mulu, yang cukup jauh dari Rampasasa. Layanan kesehatan itu pun hanya digawangi seorang bidan dan seorang perawat. Dokter yang bertugas hanya sesekali kelihatan. Sebulan terhitung hanya dua kali melakukan visite. ”Permukiman warga di sini juga belum dialiri listrik,” kata ayah Andrear Egor, Viktoria Felisa, dan Proforius Crisan Caus tersebut. Martinus berharap PLN mau memberikan fasilitas listrik bertenaga surya. Listrik bertenaga surya memang banyak dipakai rumah-rumah di pegunungan Kabupaten Manggarai. Hampir setiap rumah memiliki panel untuk menangkap energi matahari.

Tarif langganan listrik tenaga surya di Manggarai Rp 35 ribu per bulan. Listrik yang dihasilkan hanya cukup untuk menyalakan beberapa buah lampu saat malam. Sedangkan saat siang listrik mati karena panelnya dipakai untuk menyerap energi dari matahari.

Setelah tidak menjabat kepala dusun lagi, Martinus berencana lebih giat bekerja sebagai kuli bangunan. Bahkan, bila selama ini tak bisa jauh dari dusunnya, nanti dia mengembangkan wilayah kerjanya hingga luar kota. Misalnya menggarap proyek di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, yang jaraknya sekitar enam jam perjalanan darat. Selama menjadi kepala dusun yang terletak di lereng pegunungan itu, Martinus mengaku sangat berhati-hati. Terutama dalam pengelolaan dana bantuan dari pemerintah. Dia tidak ingin mencederai kepercayaan kepala desa yang telah menunjuknya dulu dan masyarakat yang diayominya. ”Saya tidak berani macam-macam dengan uang rakyat itu,” tegasnya, ”nanti saya membohongi rakyat dan korupsi.”

Menurut Martinus, masyarakat akan patuh bila pemimpinnya memberi contoh yang benar dan tegas. ”Kalau salah, ya saya katakan salah. Begitu juga sebaliknya, yang benar ya harus dikatakan benar,” tutur dia. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: