Tiket Pesawat Mahal, PHRI Menjerit

Tiket Pesawat Mahal, PHRI Menjerit

KETUA Badan Pengurus Daerah (BPD) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Timur M.Sholeh menolak keras kebijakan untuk menaikkan tarif batas bawah pesawat terbang 40 persen dari batas atas , yang mulai berlaku pada awal Januari 2015 itu. Menurutnya, dampak dari aturan tersebut bisa sangat signifikan terhadap minat naik pesawat terbang, yang secara otomatis memicu lesunya gairah masyarakat untuk bepergian dan menginap di hotel. \"Dampaknya kepada kedatangan wisatawan dan tingkat hunian kamar bisa turun 10 persen. Apalagi sekarang banyak maskapai yang tidak diizinkan terbang,\" ungkapnya kepada Jawa Pos. Sebagaimana yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penumpang angkutan udara melalui Bandara Juanda Surabaya mencapai 6.343.000 penumpang selama periode Januari-November 2014. Angka kontribusi tersebut cukup signifikan yakni 11,8 persen dari total mencapai 53.449.800 penumpang. Jika dilihat dari tingkat kunjungan wisatawan asing (wisman), yang melalui Bandara Juanda Surabaya sebesar 198.109 kunjungan selama Januari-November 2014. Sedangkan apabila dilihat dari tingkat hunian rata-rata hotel berbintang di Jawa Timur mencapai 53,24 persen pada periode yang sama. Sholeh mengaku, untuk mampu mempertahankan bisnis di tengah iklim yang tak begitu medukung, industri kini tengah mengadakan efisiensi di masing-masing internal perusahaan. Sebab, apabila tidak menempuh langkah itu, pertumbuhan laba industri yang diharapkan mencapai double digit tak dapat diraih. \"Sekarang cost (biaya) naik, tapi profit cenderung turun. Melihat kondisi yang seperti ini, mungkin pada 2015, profit industri ini hanya bisa tumbuh di bawah 9 persen,\" ujarnya. Hingga saat ini memang banyak kalangan yang tidak setuju dengan revisi tarif batas bawah itu. Tapi Kementerian Perhubungan tidak bergeming. Bahkan Institusi yang dipimpin oleh Ignatius Jonan mengaku tarif batas bawah yang besarnya 40 persen dari batas atas itu sudah resmi berlaku 1 Januari 2015. Artinya kini maskapai tidak bisa lagi menawarkan tiket promo. Regulasi baru itu dibuat oleh Kemenhub pada akhir bulan Desember. Tepatnya setelah insiden jatuhnya AirAsia QZ8501 jurusan Surabaya-Singapura. Usai revisi, pada tanggal 30 Desember 2014, aturan itu langsung dikirim ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM). Saat itu juga, Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) langsung membubuhkan tanda tangan tanda persetujuan. Dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2015. Salah satu alasan yang revisi aturan itu adalah agar maskapai lebih meningkatkan aspek safety atau keselamatan penerbangan. Diubahnya tarif batas bawah itu terbilang tidak tepat sasaran. Seolah LCC menjadi penyebab utama jatuhnya maskapai asal Prancis itu. Padahal aspek keselamatan penerbangan tidak ada hubungannya dengan Low Cost Carrier (LCC) atau penerbangan murah. Sebab penerbangan murah merupakan penerbangan yang dirancang se-efisien mungkin namun tidak mengurangi aspek keselamatan penerbangan. Pertanyaan itu diamini oleh Kepala Pusat Komunikasi (Kapuskom) Kemenhub J A Barata. Saat dihubungi kemarin (10/1). Saat ditanya apakah ada kesalahan dari LCC? Barata mengaku tidak ada yang salah dengan penerbangan murah. \"Tidak ada yang salah. Semuanya berjalan sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan,\" ujarnya. Barata mengatakan, dia menolak anggapan bahwa insiden jatuhnya AirAsia QZ 8501 di Selat Karimata pada tanggal 28 Desember 2014 menjadi pemicu di revisinya aturan tarif batas bawah. Mantan juru bicara Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) itu menyampaikan bahwa perubahan itu sudah jauh-jauh hari direncanakan. \"Jadi bukan kami reaktif tidak,\" paparnya. Dalam konferensi pers yang dilakukan oleh JA Barata dan Direktur Angkutan Udara Kemenhub, Mohammad Alwi pada tanggal 8 Januari lalu, keduanya menyampaikan beberapa alasan mengapa tarif batas bawah penerbangan harus dinaikkan. Diantaranya kenaikan itu diharapkan bisa membuat maskapai mendapatkan pemasukan lebih dan pemasukan itu digunakan untuk keselamatan. Dalam hal ini Kemenhub menjustis bahwa airlines yang mempunyai LCC kurang memperhitungkan faktor keselamatan. Alasan yang lain yaitu tingginya nilai tukar US Dollar terhadap Rupiah. Sehingga, Kemenhub memprediksi jika tarif batas bawah tidak dinaikkan maka maskapai tidak bisa mencukupi kebutuhan seperti sewa pesawat udaram premi asuransi, gaji awak kabinm gaji teknisi, dan biaya BBM serta perawatan pesawat. Barata mengatakan maskapai sangat perlu menjaga maintenance. Menurut dia, sebagian besar komponen pesawat seperti mesin, service pesawat atau pemenuhan komponen lain pembeliannya menggunakan dollar bukan Rupiah. Selain itu, biaya operasional, seperti sewa pesawat juga menggunakan mata uang dollar. \"Langkah ini juga berfungsi menjaga kesehatan keuangan airlines,\" terangnya. Namun, perlu disadari bahwa kurs mata uang bisa turun dan naik. Tergantung kondisi ekonomi dunia. Seperti harga minyak dunia. Sehingga, bisa saja minggu depan nilai tukar Rupiah bisa kembali menguat. Menanggapi itu, Barata mengatakan jika Kurs Rupiah menguat, maka peraturan itu bisa ditinjau ulang secara proporsional. Artinya batasan tarif batas atas 40 persen itu bisa kembali direvisi. \"Bisa direvisi tergantung kurs,\" jelasnya. Banyak yang beranggapan bahwa penetapan kebijakan baru tersebut tanpa mempertimbangkan daya beli masyarakat Indonesia. Pasalnya sampai kini, masih banyak masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang mengandalkan tiket murah dan tiket promo untuk bepergian. Selain itu, alasan Kemenhub lain yang membuat publik geram yaitu mereka membandingkan pesawat dengan kereta api. Barata mengatakan bahwa sudah sewajarnya pesawat lebih malah. Dia mencontohkan penerbangan Jakarta-Surabaya yang ditempuh dengan waktu satu jam. Menurut dia tiket pesawat full service Jakarta-Surabaya Rp 1,5 juta. \"Kalau LCC kan cuma Rp 600 ribu. Artinya bersaing dengan kereta api. Hampir sama,\" jelasnya. Alasan Barata itu kurang tepat. Pasalnya seharusnya pemerintah memfasilitasi semua warganya untuk mampu naik pesawat terbang. Sebenarnya dengan naik pesawat terbang masyarakat sudah mengeluarkan uang transportasi tambahan. Pasalnya bandara selalu terletak di pinggir kota. Sehingga untuk sampai ke sana membutuhkan biaya. Berbeda dengan stasiun kereta api atau terminal bus yang ada di tengah kota. (gal/aph/wir)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: