Akhirnya Bung Karno Punya Keturunan Orang Bengkulu
Bengkulu Doelo dan Bengkulu Kini (4)
Oleh H Kaharuddin Thahrir, BSW. (Pengamat Sosial Politik dan Agama)
TIDAK banyak orang mengetahui bahwa begitu sibuknya Bung Karno keterlibatannya dalam memperjuangkan cita-cita dan idealismenya, khususnya dalam mewujudkan obsesinya bersama-sama kawan seperjuangan dalam mencapai Indonesia merdeka. Sampai-sampai menjelang usia 40 (empat puluh) tahun ternyata Bung Karno belum dikaruniai seorang keturunan baik putra atau putri seperti tertulis di bagian terdahulu yang penulis maksudkan dengan sub judul “Sekali Merengkuh Dua Tiga Pulau Terlampaui” yang pernah diutarakan ini adalah bagian yang tak terpisahkan. Maksudnya dalam pengasingan Bung karno di Bengkulu disamping beliau tetap secara konsekuen dan konsisten memperjuangkan obsesi dan idealisme, beliau dan kawan-kawan seperjuangan untuk menciptakan segera terwujudnya membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan Jepang dan Belanda serta sekutunya. Oleh Bapak M. Ali Chanafiah suami istri sekalipun serasa senasib sepenanggungan, perjuangan dan penderitaan batin Ibu Inggit Gunarsih sebagai istri setia Bung Karno namun secara setia kawan pula dilain pihak terhadap Bung Karno baik sebagai guru besar beliau khususnya dalam politik, dia tidak bisa menutup mata atas penderitaan sekaligus kerinduan beliau untuk mendapat keturunan. Di Bengkulu inilah ada peluang emas, dan kesempatan untuk mewujudkannya sekaligus. Untuk itu beliau suami istri bersedia menjadi perantara yang menghubungkan tali percintaan antara Bung Karno dengan calon pendamping hidup Bung Karno disamping istri pertama beliau Ibu Inggit Gunarsih. Dalam buku Bapak M. Ali Chanafiah berjudul Bung Karno (dalam pengasingan di Bengkulu) halaman 37 di bawah sub judul “Demi mendapat keturunan” secara lengkap berbunyi “yang tidak kami ketahui adalah bahwa di Bengkulu muncul satu faktor lagi bagi kami yang membuat ketidakserasian mereka (Bung Karno dan Ibu Inggit) menjadi bertambah gawat, yaitu bahwa Bung Karno melibatkan diri dalam permainan cinta dengan Fatma, putri Hasan Din, pemimpin Muhammadiyah Bengkulu yang banyak berhubungan dengan Bung Karno dalam organisasi tersebut. Pada suatu ketika Fatma diajak tinggal bersama keluarga Bung Karno untuk menjadi teman Ratna dan Sukarti. Selanjutnya dia diusahakan masuk sekolah Katholik Verschool dimana Ratna sedang belajar. Bung Karno jatuh cinta kepada “anak angkatnya” yang berumur 15 tahun itu. Samiah (istri M. Ali Chanafiah) dan saya baru mengetahui peristiwa jatuh cinta itu, setelah keadaan sudah mulai “panas”, payah kami mencari sebab mengapa terlambat mengetahuinya. Mungkin karena terlalu “menganalisahi” Soekarno dan menganggap hal semacam itu tidak mungkin terjadi padanya. Pendek cerita ketika ibu Inggit kembali dari Yogyakarta setelah mendaftarkan Ratna ke sekolah Guru Taman Siswa yang dipimpin langsung oleh Ki Hajar Dewantara, ketika Ibu Inggit menginjakkan kaki ke Bengkulu dan memasuki rumahnya di Jalan Anggut Atas itu, terasa olehnya ada sesuatu: semuanya berubah, letak perabot rumah, dan pembantu-pembantu yang berbisik-bisik tentang tingkah laku sang suami. M. Ali Chanafiah dalam bukunya di atas pada halaman 83 menjelaskan “pembicaraan semalam suntuk untuk mendapatkan penjelasan Bung Karno tentang cintanya terhadap Fatma yang sedang dihebohkan itu, dia minta pengertian kami (maksudnya M. Ali Chanafiah dan istri) dan berharap kepada kami dapat memahami keadaannya dan membelanya. Sebab ingin punya anak inilah yang diinginkan Bung Karno sebagai alasan utama, satu alasan yang mudah dipahami dan dibenarkan masyarakat. Umur hampir 40 tahun, kapan lagi punya anak. Benar-benar ampuh dan mudah dipahami serta dibenarkan alasan ingin punya anak itu sampai disini kami mengerti dan bersedia membela Bung Karno. Tetapi mengapa Fatma di tempat pengasingan ini? Dalam diri M. Chanafiah dan istri nampaknya kembali pada keberpihakannya ke Ibu Inggit. Begitu pun Ibu Inggit sudah bertekad pula tidak mau dimadu, namun tekad Bung Karno sudah bulat nampaknya, beliau tidak boleh dihalangi oleh siapa dan apapun. Lebih-lebih kini Fatma telah tumbuh menjadi gadis remaja yang rupawan dan ia menolak setiap lamaran yang datang padanya, ia menantikan Bung Karno yang sudah dicintainya sebagai lelaki. Dalam penantian itu, cintanya semakin bertambah, mengkristal dipupuk surat-surat dan bingkisan-bingkisan dari orang yang dinanti-nantikannya. Singkat cerita pertengahan tahun 1943, Fatma menerima lamaran resmi dari Bung Karno, umurnya sudah 20 tahun. Sama’un Bakri diutus Bung Karno ke Bengkulu untuk mengurus nikah wakilnya. Dalam pernikahan itu Bung Karno diwakili oleh Opster Sarjono, seorang kenalan baiknya di Bengkulu. Setelah mereka berangkat saya menerima telegram dari Zuz Inggit menanyakan apakah pernikahan Bung Karno-Fatma “sudah berlangsung dan Fatma sudah berangkat ke Jakarta”. Setelah menjadi istri Bung Karno nama Fatma diubah menjadi “Fatmawati”, tanggal 3 November 1948 melahirkan Guntur Soekarno Putra, maka terkabullah keinginan Bung Karno. (bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: